Sabtu, 20 Desember 2008

3 Doa 3 Cinta, Melihat Islam Dengan Cara Lain








Menonton 3 Doa 3 Cinta (3D3C) adalah melihat Islam dalam sisi lain, islam yang Indonesia sekali, Islam yang cinta damai, anti kekerasan! Kira-kira ini hal yang hendak disampaikan 3D3C. Menarik memang film ini. Saya menonton saat hari kedua film ini diputar, saat dimana bioskop masih saja sepi meski di akhir pekan, dugaan saya adalah bahwa film ini mungkin tidak terlalu laris secara komersial, film ini salah satu yang bukan seperti film-film belakangan yang terkenal secara komersial karena kebetulan bukunya juga sudah begitu laris manis duluan, misalnya Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi atau yang terbaru Twilight.
Awal mula niat saya menonton film ini, pertama karena ada dua tokoh penting perfilman Indonesia yang muda dan berbakat siapa lagi kalau bukan Nicolas Saputra dan Dian Sastro. Dulu ketika kehadiran mereka di AADC sudah begitu melekat di hati anak muda seantero Nusantara, kali ini mereka dipertemukan kembali meski Dian bukanlah tokoh sentral di 3D3C ini. Kedua, saya adalah penikmat film-film Indonesia yang memang dibuat tidak ‘pasaran’ artinya memang dibuat tidak semata-mata demi komersialisasi, dan memang sudah terbukti bahwa film-film yang berani melawan arus pasar biasanya memang kurang laris secara komersil namun banyak ‘dilirik’ dalam festival-festival dalam maupun luar negeri. Saya kira demi majunya perfilman tanah air kita harus cerdas memilih tontonan, tidak serta merta hanya terbuai oleh tren pasar yang belum tentu berbobot. Alasan ketiga, soal teman Islam. Keempat, beberapa waktu lalu film ini juga sudah sempat diikutkan dalam beberapa festival film, yang saya tahu di Pusan Korea dan di FFI 2008 yang berhasil membawa salah satu pemain pendukungnya Yogi meraih piala Citra sebagai best supporting actor. Maka saya kira film ini layak untuk diapresiasi.
Film yang disutradarai oleh Nurman Hakim yang katanya juga mantan santri, dengan mengambil lokasi syuting di Jogjakarta (Bantul, RS Mata Dr. Yap, pasar malam alun-alaun dan stasiun Lempuyangan dan Jakarta (stasiun senen, dsb). Musiknya digarap Djaduk Ferianto (wah soal Kuaetnikanya Djaduk saya termasuk penggemarnya juga).
Film ini diawali dengan doa yang memekik keras…ya habib salam mualaika…dengan rancaknya rebana, sekelumit kehidupan di Pondok Pesantren Al Hakim pun dimulai. Alkisah ada tiga orang santri yang bersahabat masing-masing datang dari latar belakang keluarga yang berbeda tapi sama-sama mencintai ibu dan ayah mereka masing-masing. Huda (Nicolas) yang begitu cinta dengan ibunya meski sudah lama berpisah dan menjadi santri kesayangan Romo Kiai, Rian(Yoga Pratama) adalah anak yang sedikit nyeleneh, aktif dan bercita-cita membuka usaha video shooting serta datang dari keluarga yang sedikit lebih berada ketimbang dua temannya, dan si miskin nan alim Syahid (Yoga Bagus) yang pandai membaca ayat-ayat suci Al Quran tapi ternyata secara diam-diam bergabung dalam kelompok ‘garis keras’ yang anti Amerika dan Yahudi serta berniat melakukan mati syahid yang dianggap akan masuk surga. Hari-hari mereka dilalui dengan sholat dan melafalkan beragam doa, selain aktif sebagai anak-anak SMA. Huda dan Rian lumayan bandel karena selalu keluyuran malam ke pasar malam alun-alun untuk menonton layar tancap atau melihat aksi goyang heboh penyanyi dangfut bernama Dona Satelit (Dian Sastro), sedangkan si alim lebih memilih di kamar mereka yang sangat-sangat sederhana itu dengan membaca doa-doa. Atau karena ketiduranlah ketika sedang sholat subuh, dll. Mereka juga punya kebiasaan ngumpul di gudang untuk berkelakar atau sekedar merokok sambil mengintip anak gadis Romo Kiai lewat lubang di tembok yang tampaknya sengaja dibuat. Yah, gitu deh anak-anak remaja-muda yang lagi bergelora jiwanya he-he. Lucunya ketika hendak keluyuran malam-malam lewat samping rumah tepatnya kamar Romo Kiai yang selalu dan lagi-lagi bertepatan dengan aksi Romo Kiai dan istri yang sedang bersiap-siap melaksanakan ‘kewajiban’ mereka demi medapatkan anak laki-laki sebagai penerus pesantren kelak, dan dalam aksi tersebut mereka selalu menggagalkan usaha sang Kiai karena Nicolas sering menabrak benda-benda disamping rumah yang memicu keributan. Padahal sang Kiai sudah mulai pasang ‘aksi’ dengan menyuruh sang istri menaruh bantal di pantat yang saya duga demi mendapatkan anak laki-laki.
‘Masalah’ dimulai ketika Rian mendapat kiriman handy cam yang secara sembunyi sembunyi ternyata dipakai ‘si alim’ untuk merekam aksinya juga aksi teman-temannya yang bergabung dalam kelompok ‘garis keras’ yang selalu berlatih beladiri memakai topeng mirip video-video lansiran pelatihan jaringan teroris di Filipina atau di Afganistan yang selama ini beredar di TV. Si alim juga merekam dirinya sendiri yang sedang berpidato seolah ingin perang dan mati syahid. Meski akhirnya rekaman tersebut di ketahui kepolisian dan mereka dihukum.
Juga soal Syahid yang miskin dan ayahnya yang masuk rumah sakit. Dia yang begitu gigih belajar agama sekaligus membenci Amerika dan Yahudi. Apalagi ketika butuh biaya berobat sang ayah ia menjual sawah secara murah kepada pengusaha bule (yang sepintas mirip actor Hollywood Cevin Costner he-he swear mirip!), lagi-lagi menambah amarahnya terhadap Amerika yang dicapnya penjajah dan perusak moral sehingga harus di lawan. Namun semua berubah ketika si alim tahu bahwa yang membantu biaya pengobatan ayahnya yang datang sebagai no name itu adalah si bule. Dan dalam tayangan TV di warung ternyata ada breaking news liputan 6 SCTV soal teroris yang meruntuhkan menara kembar WTC kemudia merubah jalan pikiran si alim. Inilah intinya film 3D3C bahwa kebaikan harus dibalas dengan kebaikan, namun kekerasan tidak boleh dilawan dengan kekerasan. Bahwa islam sejatinya bukanlah agama yang pro kekerasan.
Berikut beberapa kometar saya:
1.Cukup baik dan komedinya pun pas. Menggambarkan lingkungan pesanteren ala Jawa yang khas dan unik. Saya kaget juga dengan kamar para santri yang sangat-sangat sederhana. Saya juga tahu oh init oh kegiatan harian para santri. Saya jadi ingat masa SMA saya yang kebetulan tinggal 3 tahun di asrama yang notabene mirip pesantren juga. Belajar iya, kegiatan rohani pasti! Patuh iya, keluyuran malam selalu! He-he.
2.Dian Sastro sebagai Dona Satelit cukup menghebohkan. Wuih, Dian bohai abis deh pas goyang dangdut di pasar malam. Juga adegan ketika disyuting Nico menggunakan kamera Yogi sebagai bahan untuk profile rekaman, keren Dian!. Atau gaya berpose saat hendak difoto, agak merapat ke batu, Dia memakai rok mini blue jeans ketat, wah, genit, seksi, montok ala penyanyi-penyanyi dangdut ‘karbitan’ Indonesia lainnya yang selalu nyeleneh, lucu, katrok dan norak! Namanya pun sangat stereotip penyanyi dangdut Indonesia, ‘Dona Satelit’ sama dengan ‘Persik’, ‘Daratista’ ‘ngebor’, ‘ngecor’, dll, coba saja anda sekali-kali lihat nama-nama artis dangdut lokal yang sering ngamen di Purawisata Jogja, yah gitu deh bohai, norak, lebai, dan namanya juga aneh-aneh. Dibandingkan Titi Kamal di Mendut, soal goyang dan aksi Dian lebih total dan tipikal/stereotip penyanyi dangdut deh, noraknya itu yang buat film ini lebih hidup. Tapi soal keseluruhan acting sih masih lebih bagus Titi di Mendut, lagian tidak fair juga membandingkan Dian yang hanya supporting di film ini dengan Titi yang menyadi pemeran utama di Mendut.
3.Saya kira film ini bisa sebagai wacana baru buat kita dalam melihat agama Islam atau orang Islam melihat kembali agamanya. Saya kira benar juga bahwa melawan sesuatu yang dianggap perusak tidak selalu hanya dengan kekerasan. Dan bahwa ketika kita bilang Amerika jahat, Amerika penjajah kita cenderung menggeneralisir, padahal tidak semua orang Amerika atau Yahudi itu jahat!
4.Yoga memang layak menerima penghargaan best supporting actor, malah di film ini dia kelihatan lebih menonjol dan berkarakter ketimbang Nicolas.
5.Kalau Nico sih lumayan baik. Sebagai seorang santri sederhana Nico cukuplah. Disini Nico kelihatan gemukan. Lucunya saat Nico keluar dari penjara dan sudah kumisan kemudian menikah dengan anak gadis romo kiai, he-he lucu. Awalnya sih biasa, tapi ketika sudah di akhir film Nico keren. Seperti Dian, Nico juga salah satu aktor Indonesia yang sangat selektif dan itu justru membuat mereka semakin ‘berkelas’ dan bukan ecek-ecek, saya menaruh besar harapan buat mereka yang adalah penerus industri showbiz tanah air.
6.Film ini berlatar peristiwa 11 September 2001, hingga tragedi bom bali dua 2005 (ketika Nico sudah keluar dari penjara, kemudian menikah dan menjadi kiai di pesantren itu). Sehingga ‘atribut’ pendukung semacam uang kertas jaman itu dan stasiun TV SCTV dengan liputan 6 dan tag line ‘Ngetop’nya terlihat.
7.Hal-hal unik yang baru saya ketahui misalnya kebiasaan Nico yang keluar masjid paling duluan, lantas membalikan posisi sandal romo kiai sebelum Nico sendiri memakai sandalnya. Ini unik dan mungkin sudah menjadi tradisi di pesantren-pesantren Indonesia, selain mencium tangan, dsb.
8.Musiknya keren. Yah, sangat Djaduk, sangat Kua Etnika.
9.Isu menyukai sesama jenis yang memang rentan terjadi di asrama khusus jenis kelamin yang sama juga yang terjadi di pesantren. Soal yang terakhir ini saya pernah mendengar pengakuan salah satu dosen saya ketika dalam kelas ‘Konseling Keluarga dan Perkawinan’ entah mengapa dalam diskusi ternyata sampai pada tema ini, kemudian dosen saya menceritakan pengalamanya ketika menjadi salah satu orang yang kebetulan ada di tempat kejadian, bagian dari sebuah pondok pesantren wanita di Malang. Terjadi hubungan sesama jenis kelamin. Dalam film ini ternyata guru Qasidahan (dipanggil Akang) menyukai salah satu santri yang kebetulan pendiam, dua kali digambarkan sang guru menyusup ke kamar sang santri. Meski akhirnya rasa marah itu tak terbendung lagi, ia jujur ke Nico,dkk maka terjadilah insiden pemukulan di kamar makan dan sang guru pun dipecat.
10.Isu poligami pun sedikit disnggung. Bahwa keinginan romo kiai untuk mendapatkan anak laki-laki ternyata seolah mendapat saran dari teman kiai lain yang sedang membuat hajatan pernikahannya dengan istri keempat. Menarik bahwa saran itu ditentang istri romo kiai dengan mengatakan ‘apa karena alasan ingin medapatkan anak laki-laki lantas dengan mudah menikah lagi?’, sontak sang kiai pun mengurungkan niatnya.
11.Dari awal ceritanya cukup baik mengalirnya dengan sedikit humornya dibeberapa bagian, hanya saja ketika di akhir kok kurang ‘menyentuh’.
12.Saya menduga si alim mungkin sengaja di cast dari orang yang memang dari lingkungan pesantren, karena saya melihat untuk aktifitas santri kok dibandingkan Nico dan Yoga Pratama memang dia yang paling kelihatan ‘alami’, baik baca-baca doa, dari (sori) tampang, aksen,dll memang mungkin dia asli santri. Ini dugaan saya sebelum saya melihat referensi lain. Danternyata memang…
13.Kiai Romo juga bagus mainnya. Sosok yang tidak kaku, lucu.
14.Melihat film ini saya justru makin tidak yakin kalau nantinya banyak orang masuk bioskop seperti orang-orang demam Ayat-ayat cinta, karena ini ada hubungannya dengan fundamental teologi umat muslim dalam hal melihat konsep ‘mati syahid’ dan pasti ada pro dan kontranya dan film ini juga lebih berani memaparkan Islam yang positif dan sekeliling kehidupan /realitas yang suka atau tidak suka ada, karena ini bukan saja soal poligami atau cinta yang tulus mirip Fahri dan Aisyah, bukan di Arab melainkan di Indonesia dengan segala kompleksitasnya, keberagamannya. Inilah unik film 3D3C, film yang memang lahir bukan demi tujuan komersil semata. Dan sebagaimana film lainnya yang berani keluar dari rel kemorsial, rata-rata secara pasar mereka joblok, tapi kualitas nanti dulu. Misalnya saja film Kala yang keren tapi bertahan beberapa hari saja di bioskop, atau Fiksi yang hanya menggaet penonton sekian saja namun laris manis dalam beberapa Festival film. Namun saya percaya semakin hari orang Indonesia makin cerdas dan bisa mengapresiasikan dgn baik sebuah karya anak negeri sendiri.
15.Terakhir mengutip isi film ini: agama bukan tempat untuk memelihara kebencian. Hormati orang yang menghormati kita, maafkan orang yang menyakiti kita. Film ini juga sudah sedikit membantu orang Non muslim menilai orang Muslim atau juga bagaimana orang Muslim melihat dirinya dan muslimnya itu. Dan jangan sampai menilai jelek orang hingga ke agamanya kemudian menggeneralisir sesuatu menjadi semua, itu salah. Jelek yang memang orang itu jelek bukan karena agamanya juga jelek!Nurman Hakim keren kok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...