Minggu, 30 November 2008

Belajar Kekerasan Gratis Lewat Media

Sebulan lalu kasus mutilasi yang terjadi di Jakarta, dimana potongan tubuh korban yang ditemukan di atas sebuah busa kota, terkuak sudah. Pelakunya tak lain adalah isteri korban. Lucunya waktu itu pihak kepolisian kita sempat dibuat pusing karena ‘kecerdasan’ pembunuh, yakni dengan menghilangkan anggota tubuh penting sebagai identitas semisal kepala, tangan (dan sidik jari). Meski pelaku memberikan sedikit ‘klu’ yakni potongan lengan yang istimewa karena bertato macan. Entah kebetulan atau tidak hanya tato macan itulah yang kemudian menjadi satu-satunya alat bantu mencari identitas sesungguhnya dari korban. Dan kemudian ketika pelaku tertangkap, yang membuat saya kaget adalah bahwa niat membunuh karena ‘belajar’ dari media yang kebetulan setahun ini banyak menyiarkan berita seputar kasus pembunuhan terutama dengan cara memutilasi.
Tampaknya menjadi tren metode pembunuhan tahun ini. Ah, memutilasi kok tren. Bisa saja mengingat berita di media soal suatu kasus pembunuhan yang di tayangkan secara gamblang secara tulisan maupun gambar (diam dan bergerak), juga soal proses rekontruksi/reka ulang yang terlihat jelas bisa jadi sebagai sebuah ‘inspirasi’ atau pembelajaran bagi yang memang sudah berencana membunuh atau ide itu (metode membunuh,dsb) akan muncul ketika secara tiba-tiba seseorang tergerak untuk membunuh. Seperti pengakuan pelaku bahwa ia melihat bagaimana kehebohan kasus mutilasi dan pembunuhan berantai oleh Ryan, tanyangan-tayangan media yang begitu detailnya mengungkapkan awal hingga akhir kejadian, ternyata menimbulkan kesan yang mendalam bagi pelaku yang juga secara kebetulan dalam kondisi emosi yang tidak stabil karena sering diperlakukan kasar oleh si korban itu (suaminya).
Dugaan saya sebelumnya begitu. Saya bukanlah ahli kriminolog sekondang bung Adrianus Meliala, namun jika serentetan peristiwa belakangan ini terjadi secara nyata dilakukan dengan metode yang secara garis besar sama, membunuh, memotong-motong bagian tubuh, memasukannya ke kopor atau plastik kresek kemudian membuangnya ke hutan, pinggir kali, bus kota,dsb. Ini berarti ada proses belajar atau minimal perhatian seseorang secara mendalam dipersepsi dengan baik kemudian tersimpan rapi dalam memori atau terbawa dalam pengalaman bawah sadar apalagi jika stimulus informasi itu begitu kuatnya untuk menarik perhatian kita. Nah, ketika seseorang dalam posisi mental yang tidak stabil, ketika terencana atau tidak terlibat dalam sebuah pembunuhan maka informasi-informasi seperti diataslah yang paling tidak akan banyak muncul, seolah bisa memberi jawaban apa tidakan selanjutnya, dimulai dari membunuh mungkin, oh pakai linggis, dipukul ditenguk,dsb…dsb..oh di mutilasi, bla..bla..oh di masukan ke kopor, dll. Apalagi jika dalam keadaan kalut.
Lantas benarkah media kini begitu ‘vulgar’nya menayangkan berita/informasi yang saking terbukanya bisa mendatangkan inspirasi dan niat seseorang untuk terlibat dalam kekekrasan,dll? Bahkan ada sebagian orang menyebutnya dengan kekerasan virtual. Saya teringat ketika suatu malam bersama teman-teman di kost menonton acata TV ‘Empat Mata’ yang kali itu bertamukan Sumanto. Kami tertawa bercampur rasa aneh dengan tingkah ‘banyak gak nyambungnya’ Sumanto juga lelucon Tukul. Sampailah pada munculnya sosok tamu berikutnya yang tak kalah hebohnya dari Sumanto. Dalams ebuah toples ada beberapa ekor katak hidup, si wanita kemudian mengambil katak tersebut dan diluar dugaan saya dan teman-teman ‘haaapph…’ wanita itu begitu menikmati aksinya. Sontak saja TV kami matikan lantas pergi tidur. Menjijikan. Esoknya barulah saya dengan acara tersebut sudah dicabut izin siarnya oleh KPI. Sudah saya duga, katak dan wanita misterius itu. Ini adalah sedikit dari banyak hal berbau kekerasan yang dipaparkan media saban hari. Anak yang tewas di Semarang karena meniru kembali salah satu adegan favoritnya di film animasi kesanyangannya ‘Naruto’, heboh tayangan ‘smack down’ yang membangitkan sisi agresifitas anak-anak hingga terjadinya tindakan pengeroyokan.
Banyak hal berbau kekerasan seolah mejadi biasa dalam tayangan media. KPI dalam Kompas (23/11/2008) pun mengakui kekurangannya yang dengan personel Cuma 15 orang hanya mampu memantau 10 stasiun TV Nasional selama tiga jam sehari. Padahal, stasiun TV nasional rata-rata sehari siaran 22 jam. Maka tak heran KPI pun mengakui sering kecolongan. Maka filter yang terakhir dan terampuh adalah peran orang tua (khusus bagi anak-anak) dan diri masing-masing bagi yang sudah dewasa dan mampu memilih yang terbaik baginya.
Ketika kini kasus Ryan mulai mereda entah akan ada apa lagi yang terjadi esok, kita tidak tahu fenomena-fenomena sosial nantinya. Sambil terus berharap pihak media cetak, radio, internet dan TV untuk lebih bijak dalam memberikan beritanya. Saya kira tak ada lagi alasan persaingan usaha dan ekslusifisme yang mendorong pihak-pihak media berlomba-lomba menarik pemirsa/pembaca dengan harapan ratting akan bagus, lantas mengesampingkan batasan-batasan yang nilai-nilai moral/sosial yang positif. Kondisi Bangsa kita yang terpuruk ini telah menjadikan mental sebagian besar masyarakat (terutama yang miskin) menjadi rentan. Tak perlulah misalnya berita ‘kronologis’ dan ‘reka ulang’ di visualisasikan atau ditulis dengan gamblang.

Jogjakarta, 29/11/2008
01.05 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...