Rabu, 16 Juli 2008

bilangan Fu dan kearifan LOkal

Bilangan Fu. Inilah novel terbaru karya
Ayu Utami yang diluncurkan sejak 22 Juni lalu. Pernah menggebrak kesusasteraan
tanah air lewat hadirnya Saman (1998). Saya mengenal Ayu pertama kali ketika
Saman menjadi topik pilihan menarik untuk dibahas dalam pelajaran sastra di SMU
saya. Waktu itu tahun 2004. Kali ini Ayu hadir dengan nafas baru. Ia
menyebutnya ‘Spiritualisme Kritis’. Merupakan upaya Ayu dalam mewacanakan
spiritual-keagamaan -kebatinan- mistis dengan ‘laku-kritis’ dan hormat tanpa
terjebak dalam dakwah hitam putih. Bilangan Fu hadir disaat Bangsa ini sedang
mengalami krisis atau polemik panjang
tak terkecuali dimensi spiritualisme- agama. Ayu denga jeli merekam sisi kelam
yang terjadi pada akhir ORBA (sang Jenderal
lengser keprabon) hingga era roformasi itu bergulir. Ia melengkapi kisah nyata
temannya dengan sejumlah ‘kliping’ fakta-fakta menarik terkait
spiritualisme- keagamaan- kebatinan- mistis. Mulai kisah dari kitab Babad tanah
Jawa-kerajaaan Mataram Kuna-Nyai Rara Kidul hingga sejumlah kejadian nyata lain
dan misterius, semisal kontroversial manusia kate homo floriensis, kasus anjing
rabies dan biskuit beracun yang melibatkan ‘petrus-petrus’ (pembunuh misterius) terlatih yang hingga kini
tetaplah misterius. Konon mereka (bahkan ada yang bersorban putih-putih, Anda
tahu siap mereka bukan?) dilatih ala militer dan diberi persenjataan lengkap
untuk ‘melindungi’ pemerintahan yang beruasa itu.



Bilangan
Fu terangkai dalam tiga tema besar yakni MODERNISME, MONOTEISME dan
MILITERISME. 3M yang yang melekat dengan ORBA juga Reformasi sekarang ini. Settingnya
adalah bukit kapur (karst atau gamping) di pantai utara Jawa. Pantai utara Jawa
yang sarat dengan spiritualisme- keagamaan- kebatinan- mistis. Karena dari sana
awal mula kerajaan Padjajaran kuno dan Mataram kuno berawal. Konon legenda Nyai
Rara Kidul bermula dari pegunungan kapur tersebut. Sehingga masyarakat sekitar
sangat erat sekali dengan ‘laku-mistis- spiritualisme’ Jawa kuno itu. Menarik
bagi saya bahwa kisah di Bilangan Fu (pegunungan kapur Sewugunung-Watugunu ng)
hampir sama dengan yang juga terjadi di pegunungan Mollo. Hanya saja pegunungan
Mollo sudah sedikit lebih maju, telah berevolusi menjadi MARMER yang
menggiurkan itu ketimbang sebagian Sewugunung yang hanya masih berupa
perbukitan kapur. Bagi ahli geologi Mollo maupun Sewugunung dulunya adalah
karang-karang raksasa di dasar samudera.

Mollo
dan Sewugunung kuno punya cerita mistis dan filosofis tersendiri namun
sama-sama membentuk kerangka spiritualisme- kebatinan- mistik yang sama,
penghormatan terhadap sang pencipta dan ‘penjaga’. Menjadi sebuah bangunan
bernama KEARIFAN LOKAL. Yang terakhir ini boleh jadi mulai tergerus habis oleh
3M tadi, Modernisme-Monoteis me-Militerisme. Bukan saja Ayu, sayapun yakin itu. Sewugunung berlatar kisah inses
Prabu Watugunung dan Dewi Sinta, mirip kisah Sangkuriang. Juga tak terlepas
dari sosok Nyai Rara Kidul yang dalam Babad tanah Jawa adalah seorang pertapa
di bukit tersebut, yang menyelamatkan dan melindungi (juga bersuamikan) pendiri
kerajaan Majapahit, raja-raja Jawa kuno hingga kini. Hingga kini tradisi
Sesajenan masih berlaku disana meski sejak lama coba digerus habis oleh 3 M
tadi, Modernisme-Monoteis me-Militerisme! Itu mitos orang Jawa. Sedangkan di
MOLLO filosofi ‘UIM BUBU’ (ume=rumah) dengan amnesat (dasar) berupa oekanaf
(air) dan penyangganya berupa fatukanaf (batu) dan haukanaf (kayu. Nij (tiang)
diibaratkan sebagai afu(tanah) yang merupakan tempat bertanam, beternak dan
mendirikan rumah. Tefi berarti atap. Diibaratkan sebagai pena nok ane (jerih
payah) yang diperoleh dari pemanfaatan oekanaf, fatukanaf, haukanaf dan afu
(Jurnal Perempuan no.57 tahun 2008). Semua harus dimanfaatkan secara bijaksana,
adil dan selaras. Jika tidak maka bencana akan menghadang.

Saya
akan merangkumnya menjadi beberapa persamaan dan perbedaan menarik dari
keduanya:

Bahwa kedua
tempat ini punya ritual tertentu sebagai bentuk pemujaan dan rasa syukur lewat
persembahan hasil bumi (sesajen) dan doa-doa tertentu pada meja alat entah
dibawah pohon, di hutan rimba. Dekat mataair dan kaki bukit.

Hal lain seperti
yang sudah saya ungkapkan tadi, tiga hal utama yang dianggap Ayu
bertanggungjawab atas sejumlah masalah di tanah air ini. Sekali lagi Ayu
mencoba ber’laku-kritis’ dalam novel ini dan mengharapkan pembacanya juga untuk
ber’laku-kritis’ demikian halnya dia. ‘Tanpa
terjebak dalam DAKWAH hitam putih’.



1. MODERNISME



Menurut Ayu
penguasa (sebagian lewat media) memainkan dongeng hantu-hantu cekik ( dan kolor
ijo, ninja pencabut nyawa, kuntilanak dll) untuk membuat ketakutan dan
kebingungan dalam massa-rakyat, agar massa-rakyat mudah terpecah belah dan
gampang untuk dikuasai. Saya melihat akhir-akhir ini dalam tayangan sinetron
TV, cerita-cerita hidayah ramai sekali. Saya sedih dengan tanyangan seorang
penari Ronggeng (tarian khas Jawa, sarat mistis-spiritual- kebatinan) yang
digambarkan hanya karena lakunya ia dikutuk oleh ‘tuhan’ (tentunya punya kaum
monoteisme!) mati dengan belatung di sekujur tubuh atau dalam tayangan lain
mereka mati dengan kubur terbakar, sebagai bentuk penyiksaan api neraka). Dengan demikian, kekuasaan mereka (penguasa/
mayoritas) dilanggengkan. Bagi Ayu, kesadaran modern yang awalnya bertujuan
untuk pembebasan manusia dari nilai-nilai tradisional (yang takhyul / mistis)
malah hanya menjadi alat untuk kepentingan individu atau golongan. Pun ketika
ORBA ‘membajukan’ penduduk Papua (dulu Irian Jaya) dari koteka, sebagai upaya
bahwa alam kebinatangan manusia harus dikandangkan! (hal. 477). Mengapa
kemudian ‘tahkayul’ kian subur di negeri ini? Bagi ayu itu karena masih banyak
rakyat yang tidak mendapat keuntungan akan pembebasan oleh kesadaran modern.
Masyarakat di pegunungan Mollo mungkin tahu bahwa harga MARMER di pasaran
tinggi, misalnya 1 juta rupiah di pasar Surabaya (saya tidak tahu harga pasti
he-he) tidak membuat mereka bahagia. Belum tentu harga MARMER mereka dihargai
sama(1 juta rupiah). Kalaupun dihargai, belum tentu lebih dari Rp. 100.000,-
Bukankah ini sama saja dengan tahkayul? Pengusahan takhayul, PEMDA takhayul.
Lantas apa yang salah dengan takhayul? Jika masyarakat Mollo (sebagain saja,
karena yang lainnya saya yakin sudah terbius duit oleh laku takhayul, janji
palsu PENGUSAHA dan PEMDA) tetap berteguh dengan takhayul, lantas apa yang
salah? Toh dengan menganggap HUTAN dan Bukit bertuah, punya kekuatan dan roh
tertentu, puting susu nenek moyang, dll malah membantu menjaga keselarasan dan
kelestarian makhluk hidup tak terkecuali para Pejabat PEMDA. Mollo bisa bebas
banjir, tanah longsor, kekeringan-krisis air bersih dan efek pemanasan global
secara keseluruhan. Perlu diingat bahwa bukit Karst-Marmer itu ibarat spons
yang mampu menyerap air dan menampungnya dalam kantung-kantung di dasar bukit.



2. MONOTEISME



Nusantara kaya
akan aliran kepercayaan asli, aneka macam bentukan asimisme dan dinamisme yang
patut dilestarikan sebagai identitas diri
Nasional. Di NTT yang saya tahu ada di masyarakat suku BOTI (KAB.TTS)
dan Marapu di Sumba. Di Jawa ada Kejawen. Masih banyak sekali. Namun sejak
agama monoteisme (Islam dan Kristen) masuk keadaan berubah. Upaya pengrepresian
digalakkan. Menurut Ayu, mereka yang anti Sinkretisme. Berbeda dengan Agama
Timur, seperti Hindu, Tao, Budha, Konghucu, Shinto,dll yang justru berciri sama
dengan agama asli Nusantara. Mereka serangkai. Contoh pengrepresian itu antara
lain dengan hanya ‘menyediakan’ 5 agama saja yang diakui dan tercantum di kolom KTP (waktu itu belum termasuk
Konghucu). Ada aturan (yang berkuasa-mayoritas berhak menentukan aturan mainnya
sendiri, itu menurut Foucault) bahwa sebuah agama harus punya kitab suci, nabi,
dan ‘tuhan’ yang jelas. Otomatis agama-agama lokal berguguran. Dan dicatat di
departemen Kebudayaan bukan di Departemen Agama (Jurnal Perempuan no. 57 hal
91). Tidak tahu apa isi kolom agama dalam KTP para minoritas itu (mereka juga
WNI kan?). Jangan bilang tertulis ‘Islam, Kristen, Hindu atau Budha.
Keterlaluan! Lantas kemana isi UUD ’45 tentang kebebasan beragama dan
berkeyakinan?

Lihat saja,
tayangan ‘hidayah-hidayahan’ di TV. Agama monoteisme berperan dalam pencitraan atau
stigmatisasi kaum minoritas. Saya kira ini bentuk pengrepresian demi ‘tuhan’
yang SATU itu. Ayu menangkap ada perbedaan antara agama monoteisme dan agama Timur. Menarik ia bermain dengan
angka. Bahwa monoteisme sejak perjanjian lama menggambar dan memaknai tuhan
sebagai SATU (1), kemungkinana karena waktu itu angka nol (0) belum ditemukan.
Sedangkan agama Timur memaknai tuhan dengan nol (0), shunya, fu. Masalahnya
kini, agama monoteisme menolak tuhan yang lain. Bahwa hanya ada SATU tuhan.
Maka citra atau wujud tuhan lain yang diakui agama lain serta merta akan tolak.
Mereka sulit untuk toleran, bahkan kerap dengan kekerasan (Ayu mencontohkan
sikap represif terhadap Ahmadiyah, yang ternyata sudah lama bergulir).

Sudah pasti hal
diatas berlaku pula pada Mama Aleta Baun dan segenap masyarakat Mollo yang
kontra terhadap penambagan MARMER. Saya ras sudah dan akan terus dicap sebagai
berlaku mistik, tahkayul, penyembah berhala dan tidak rasional. Dan mereka yang
kontra sekaligus beragama Monoteisme sudah pasti akan mendapat cap demikian.
Pada ptitik ini Modernisme (Kapitalis) akan diuntungkan, karena monoteisme akan
diperalat /ditunggangi demi usaha mengeruk kekayaan alam sebanyak mungkin.
Titik lain, Ayu dan saya sepakat dalam melihat bahwa kini ada sekian usaha dari
segelintir orang dari yang mayoritas
untuk MENYERAGAMKAN NKRI, sebab tuhan mereka SATU. Yang berbeda adalah kafir!



3. MILITERISME



Militerisme di
Indonesia sejak ORBA erat kaitannya dengan kekerasan karena adanya indikasi
kearah sana. Keterlibatan militer (yang ditungangi oleh penguasa) dalam
berbagai bentuk kekerasan selama masa ORBA hingga sekarang. Percayalah bahwa
sisa-sisa itu masih melekat pada pemerintahan saat ini. Toh, pemimpin bangsa
sekarang ini juga adalah mantan ‘anak buah’ penguasa dulu. Ayu mencontohkan
sekian aksi penjarahan alam di seputar Sewugunung, kekerasan dengan latar SARA
di sejumlah daerah di tanah air melibatkan militer (hal. 478). Operasi yang
terencana apik, ada pasokan senjata, pembentukan Daerah Operasi Militer (DOM), kasus
Mei ’98, Semanggi, dll melibatkan aktor-aktor militer. Yang sipil pun tak mau
kalah berlagak militer. Terbukti dengan lahirnya laska-laskaran / front-frontan
sebelum hingga sesudah ORBA tumbang. Kabarnya mereka dibiayai oleh penguasa
zaman itu hingga zaman sekarang demi kelanggengan kekuasaan. Saya sudah menduga
itu sebelum saya membaca Bilangan Fu, ketika ada serangkaian aksi terjadi pasca
naiknya BBM yang melibatkan laskar-laskaran itu. Soal Militerisme terhadap
alam, belakangan kan sudah terbukti ada bekingan polisi atau TNI dibalik
illegal-loging di sejumlah tempat. Hal yang sama juga yang terjadi di MOLLO.
Militerisme terhadap alam dan manusia sekaligus. Jurnal Permpuan No 57. tahun
2008 mencatat ‘curhat’ Mama Aleta Baun yang terpaksa mengungsi dan bersembunyi
di tempat keluarga, suaminya tidak bekerja, anaknya tidak bersekolah, hanya
karena ada aksi militerisme oleh sesama warga sipil yang diduga preman-preman
suapan para oknum PEMDA dan pengusaha. Karena merasa usaha mereka
dihalang-halangi mama Aleta,dkk. Para preman pasar itu berulah sok
laskar-laskar berjubah putih yang sering nongol di TV, seolah nasib orang lain
ada ditangannya, bukan ditangan Tuhan ( Tuhan yang nol bukan yang satu). Tapi
bagi mereka yang berTuhan yang SATU, Kapitalisme yang SATU.



3M bagi Ayu
ditulis sebagai musuh dunai Postmodern. Agama dikritisi telah digunakan sebagai
alat untuk menjaga kepentingan di luar agama, kapitalis. Hanya karena keduanya
merasa sama-sama punya tujuan tertentu, namun dihadapkan pada ‘musuh’ yang sama
kearifan lokal-laku mistis-spiritualis- kebatinan khas agama Timur. Agama yang
menerapkan sinkretisme, agama ‘bumi’, yang kerap melakukan ritual tertentu,
justru dianggap laku takhayul, penyembahan berhala. Agama yang meyakini tuhan
yang nol, shunya,fu bukan SATU, tuhan yang sada di pohon, hutan-hutan, Laut
selatan, perbukitan karst, dimana-mana. Ayu telah mengangkat kejadian nyata
dengan ‘laku-kritis’ meramunya dalam cerita yang hebat ini. Tinggal pembacanya
yang seturut harapan Ayu, bisa ber’laku-kritis’ juga. Tanpa terjebak dalam
dakwah hitam putih, paling benar-paling salah, rasional yang terbaik bukan
irrasional, yang berbeda itu haram, kafir. Mayoritaslah yang mengkonstruksikan
sesuatu baik-buruk, moral-amoral, porno –tidak porno, tak terkecuali 3M tadi. Sekali
lagi pendapat Foucault ada benarnya juga (chr.senda).

(Bulaksumur- Yogyakarta,
14 Juli 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...