Seorang teman bertanya kepada saya, berapa waktu tempuh ke Fatumnasi. Teman saya ini akan mengajak karyawan dari tempatnya bekerja untuk outing. Dia bekerja di bagian HRD. Saya lantas berbagi informasi sedikit mengenai kondisi jalan ke Fatumnasi dan waktu tempuh. Diakhir pembicaraan saya bilang, jangan lupa mampir ke rumah Bapa Mateos sang tua adat di sana. Ya sekedar minta izin karena nanti akan masuk ke hutan lindung atau hutan adat. Teman saya kaget. Sedikit keberatan. Kok harus minta izin? Teman-teman saya sudah pernah ke sana bebas-bebas saja, kilahnya. Saya bilang apa susahnya sih cuma mampir 5 menit, memberi tahu maksud dan tujuan, lalu selesai.
Saya jelaskan lagi maksudnya ‘meminta izin’ dan bagaimana nanti akan berkaitan dengan kesadaran sosial dan komitmen kita. Tapi dalam tulisan ini saya mau mencoba menjabarkan lebih jelas. Bapa Anin adalah tua adat di Fatumnasi, generasi kesekian dari klan Fuka – Anin , warga asli Fatumnasi. Bapa Anin pernah berkisah kepada saya, “Nenek moyang kami awalnya bermukim di batu yang disebut Fatumnasi, artinya Batu Tua. Mereka tidur di gua, bergelantungan di pohon seperti kera makan buah dan tai kerbau!” Beliau kemudian menjadi kepala desa Fatumnasi di tahun 70-80an kemudian dipercaya oleh Pemkab TTS untuk mengelola pariwisata di Fatumnasi. Segala informasi tentang Fatumnasi berpusat di kediamannya. Jelas saja di depan rumahnya, ada tulisan "Homestay Lopo Mutis, pusat informasi - tamu harap lapor". Beliau juga salah satu juru kunci Gunung Mutis, gunung tertinggi di Timor yang masuk dalam wilayah Kecamatan Fatumnasi. Itu sebab Bapa Anin punya tanggungjawab terhadap wilayah adat (termasuk hutan, gunung dan mataair) di Fatumnasi. Dengan fakta ini masihkah kita menafikkan keberadaan dan peran penting beliau selama ini?
Atau barangkali saya yang terlalu khawatir dengan Fatumnasi? Tidak juga. Sebagai anak Mollo, saya merasa ikut bertanggungjawab untuk menyebarkan informasi yang tepat. Lalu apa pentingnya minta izin.
1. Menguntungkan karena kita akan dapat banyak sekali informasi tentang sejarah orang Fatumnasi. Kehidupan mereka dan cara mereka merawat alam. Merawat dan membuatnya lestari adalah tugas kita juga bukan tugas orang Fatumnasi saja. Apa yang dirasakan Bapa Anin dan masyarakat Fatumnasi saat ini adalah usaha tanpa akhir yang sudah dilakukan turun temurun sejak dulu. Beliau akan membagi kisah secara cuma-cuma dan mengajari kita tentang kearifan lokal. Hanya orang bebal saja yang tidak pedulian dengan hal-hal seperti ini.
2. Ada pesan penting yang biasanya beliau selipkan. Sebuah harapan kepada para tamu, menghormati dan ikut serta dalam upaya pelestarian alam. Biasanya beliau akan menitipkan beberapa nasehat tentang perilaku kita selama di hutan atau di gunung. Beliau itu orang yang sangat rendah hati dan berwawasan luas. Semua yang mampir ke rumah dianggap anak sendiri. Sangat terbuka.
3. Sebagaimana tamu yang terhormat, masuk rumah orang kan harus ketuk pintu dulu. Tuan rumah terhormat juga tidak curiga dan mengusir begitu saja. Ada senyuman, jabatan tangan bahkan pelukan hangat lalu mempersilahkan duduk. Tamu yang baik juga tidak asal menyerobot masuk ke dapur , ke kamar tidur, obrak-abrik lemari kan? Apalagi kemudian pulang dengan meninggalkan banyak sampah juga coretan di tembok. Tapi kalau mengetuk pintu dan menjalani proses seperti poin 1 dan 2, biasanya akan pulang bawa banyak kesan. Orang yang telah diberi hormat tidak mungkin akan berlaku bebal dan merusak. Ia akan cepat sadar untuk menempatkan diri.
Nah sekarang bayangkan orang yang tidak melewati tiga proses di atas. Sudah pasti tidak punya komitmen/ikatan moral apa pun dengan tempat yang ia kunjungi. Dan itu memudahkan dia untuk berlaku seenaknya. Salah satu ya nyampah sembarangan, ya corat-coret bebatuan. Tidak sensitif.
Saya senang akhirnya saran saya diterima si teman (toh pengalaman di atas akan jadi pelajaran berharga karyawannya). Dan saya kira ini tidak berlaku saja di Fatumnasi tapi di semua tempat di muka bumi ini. Kepedulian sosial saat ini memang merosot. Orang-orang terlalu egois dan merasa tidak perlu untuk peduli dengan keberadaan orang lain. Akibatnya? Lihat Fatuleu yang kabarnya mulai kotor dan penuh coretan. Lihat pantai dan public space di kota kita. Orang hanya memikirkan dirinya: misalnya, lapar lalu makan. Sementara sisa makanan yang sudah menjadi sampah bukan lagi urusan dirinya. Bahkan untuk melangkah satu dua ke tempat sampah!
Saya menulis dan berharap ini akan jadi gerakan moral seluruh kaum muda. Yuk, kita sama-sama saling mengingatkan. Kalau kita mau kelak anak cucu kita masih bisa merasakan hal yang sama seperti kita rasakan saat ini: Taman Nostalgia yang bersih, pantai Koepan yang bebas sampah, Fatuleu yang hijau permai atau Fatumnasi yang alami. Semuanya dimanapun.
Supaya kita jadi anak gaul (cieeh) yang peduli dan punya komitmen. Jangan lagi dianggap anak gaul yang tidak boleh dikasih tau tempat indah, karena nanti kita nyampah sembarangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...