Rabu, 22 Juli 2015

Dongeng dari Mollo dan Seroara


Waktu SD pelajaran yang paling saya tunggu-tunggu adalah Agama Katolik. Guru saya sangat piawai mendongeng, ya ia menceritakan ulang kisah Alkitab dengan gaya mendongeng. Sebelum saya masuk sekolah, kebiasaan bercerita sudah menjadi tradisi keluarga. Kakek saya punya segudang pengalaman semasa bertugas sebagai tentara KNIL dari Aceh hingga Semarang kerap diceritakan dengan bangga untuk saya. Bapak dan Ibu saya juga pencerita ulung. Sembari orang tua dan guru saya bercerita, ruang imajinasi saya pun berkembang pesat dengan sendirinya. Saya punya ruang pribadi yang tak diketahui siapa pun kecuali saya sendiri, ruang rahasia di kepala saya. Untuk masuk ke dalam ruangan itu, saya biasanya menggunakan buku harian sekadar untuk mengekspresikannya dalam beragam bentuk.
Saya mengenal dunia luar ketika saya yang anak rumahan dari pedalaman Mollo pergi merantau ke kota Ende di Flores untuk melanjutkan studi di Syuradikara. Di Asrama maupun di Sekolah, saya menemukan dunia yang lebih luas. Saya menemukan lebih banyak dongeng dari para pembina, doa dan buku-buku bacaan. Saya mulai keranjingan menulis puisi dan cerpen di buku harian yang saya simpan rapat-rapat di lemari. Cinta dan persahabatan kala itu memberikan efek kejut yang luar biasa. Saya mulai membuka diri.
Barangkali saya masih kurang banyak membaca buku, tetapi saya terlalu suka mendengar dan mengamati. Cerita-cerita yang saya tulis di sini adalah proses yang panjang dari mendengar, mengamati dan berimajinasi atas peristiwa yang terjadi di sekitar saya, dalam keluarga dan apa yang sedang terjadi di kampung saya. Saya adalah orang Mollo juga orang Seroara, keduanya sama-sama berbicara tentang orang gunung yang saya anggap sebagai penjaga kehidupan dan kematian. Di Mollo ada hutan belantara dan berjuta kubik batu marmer yang menyimpan dan mengalirkan air untuk sebagian besar pulau Timor. Di Mollo ada gunung megah―Mutis―yang dipercaya jadi tempat arwah orang-orang mati berkumpul. Surga. Di Seroara, dongeng dipelihara sebagai sebuah misteri. Seroara adalah kampung tempat bapak saya lahir, terletak di perbukitan perbatasan Ende dan Sikka.
Di Mollo, hampir seluruh hidup saya diisi dengan begitu banyak dongeng dari para bijak. Mollo memberikan energi tersendiri bagi kekuatan ruang imajinasi saya. Sementara bapak sesekali masih setia memberi nutrisi ke alam imajinasi saya tentang Seroara. Dan untuk Mollo juga Seroara, saya berani menuliskan semua dongeng ini.
Saya berterima kasih kepada para penutur (saya sebut mafefa) yang berhasil saya temui, Mateos Anin, salah satu juru kunci Gunung Mutis yang tinggal di Fatumnasi. Kepada keluarga saya, buku hidup saya: Bapatua, Mamatua, Opa Soleman Kamlasi, Oma Aminah Rajimin alias Yohana Kamlasi dan keenam kakak saya. Kepada keluarga besar Kamlasi di Mollo dan Amanatun, klan Ana Sonda di Flores. Kepada Agi Malagina dengan tulisan Keunikan Tradisi Imlek Dalam Tradisi Timor-nya. Kepada Romo Patris Neonub, Pr yang banyak menulis artikel tentang Suku Dawan telah membantu saya dalam penyusunan alur di beberapa cerpen. Inspirasi yang memenangkan imaji. Kepada Januario Gonzaga, AN Wibisana dan Armin Bell yang sudah bersedia membaca naskah ini dan memberi beberapa masukan penting. Kepada Allen Fernandez dan Ge Itammati Idea dua sahabat, sesama alumni Syuradikara yang ikut memperindah sampul buku ini (sketsa dari Allen adalah interpretasi bebas cerpen Hari Terakhir Pahtuaf). Kepada Valentino Luis untuk diskusi dan petualangan singkat (yang tanpa sadar) ikut memperluas ruang imaji tentang Mollo, termasuk memberi masukan untuk beberapa cerpen di buku ini. Beta tunggu foto-fotomu untuk ilustrasi buku berikutnya, ka’e!
Kepada para sahabat yang selalu menginspirasi, saudara saya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang, #MudaersNTT Menulis, Kupang Bagarak, Forum SoE Peduli, Solidaritas Giovanni Paolo II, Alumni Syuradikara angkatan 49 dan Gerakan Mari Berbagi.
Untuk kalian semua yang telah membaca dongeng-dongeng ini, terima kasih. O ya, jika berniat ke Mollo, kabari saya. Mampirlah ke rumah. Ada kopi Mollo racikan ibu dan satu lagi―bapak ibu saya senang jika diajak ‘mendongeng’. Kita bisa menyusun rencana ekspedisi Mollo sehabis mendongeng. Percayalah.



Bagi yang berminat beli buku saya ini silakan ikut preorder (via whatsapp 081338037075 atau email: dickysenda@gmail.com). Buruan sebelum kehabisan karena saya cetak terbatas (maklum masih bermain di jalur indie).

Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi
© Christian Senda
Editor: Mario F Lawi
Peneliti Aksara: AN Wibisana
Ilustrasi Sampul: Allen Fernandez
Desain Sampul: Ge Itammati Idea
Penerbit: Indie Book Corner Jogjakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...