bersama Fauzan. Di Perjelanana Pemalang - Tegal |
Dalam tantangan di GMB Youth Adventure 2015 saya sekelompok dengan Fauzan asal Padang dan Ani asal Lampung yang sedang kuliah di Kalimantan. Di lokasi acara pembukaan YA di Bandungan Jawa Tengah, kami berkenalan. Sebelumnya saya sudah mengenal Ani, rekan dalam satu tim ketika kami diberi tantangan untuk berbelanja bahan makanan dalam waktu yang amat singkat. Ani dalam kesan pertama saya adalah sosok yang tenang dan sedikit pendiam. Sedangkan Fauzan, terlihat sudah sangat akrab dengan kebanyakan peserta yang sebenarnya sudah diawali dari Seleksi Nasional di Jakarta sebulan sebelum YA & YLF. Saya dan Ani yang hanya melewati tahap wawancara via telepon hanya banyak diam dan berusaha keras untuk menyesuaikan diri. Beruntunglah kalian yang sudah saling kenal ketika Seknas.
Fauzan sudah bekerja seperti saya. Ia lulusan komunikasi dan kini memiliki pekerjaan yang cukup bagus di Indosat Bandung. Sedangkan Ani masih mahasiswa di jurusan pendidikan keguruan Fisika. Untungnya kami cepat akrab. Ketika panitia melepas kami di terminal bus luar kota Semarang kami menyempatkan diri untuk duduk sejenak di terminal. Mencoba untuk cooling down, menyusun strategi perdana kami; bagaimana caranya agar malam itu juga bisa mencapai Batang, gratis ataupun bayar tapi sebisa mungkin dengan harga miring. Total kami bertiga punya modal 300 ribu untuk bisa ke Jakarta. Itu sudah termasuk biaya transportasi dan makan. Hemat atau tekor itu akan jadi kemungkinan nasib kami. Butuh hingga 45 menit untuk duduk berdiskusi dan mulai memelihara kegalauan. Fauzan mengambil ponsel dan memasangnya ke tongsis. Kami mulai merekam video perdana kami, video berisi curhat kebingungan dan kegelisahan kami, bagaimana caranya bergerak menuju ke Batang. Kami mengeluarkan 9 pcs kaos alay untuk dijual, kalau laku, keuntungannya bisa jadi modal perjalanan ke Batang atau paling tidak bisa buat beli makan malam. Makan malam. Yap, saya mulai lapar.
Nyali kami mungkin terlalu kecil. Nyali untuk menawarkan dagangan ke orang-orang di sekitar terminal yang kebanyakan sedang tergesa-gesa untuk pulang ke rumah. Hari memang sudah petang. Kaos tak jadi kami jual dan kami masukan ke dalam kantong. Oke, kami putuskan untuk pergi ke Batang dengan bus ekonomi, kalau bisa menawar serendahnya ke kondektur. Uang 300ribu di tangan kami akan segera berkurang. Benar saja, ada kondektur yang bersedia jika biaya perjalanan kami dari Semarang ke Batang 45ribu dari seharusnya 75ribu.
Di perjalanan, hujan turun dengan sangat deras. Kami mulai mengobrol tentang pengalaman adventure ini. Fauzan berkata seperti ia sendiri tak percaya bisa ikut dalam kegiatan ini. Ia berkali-kali menyebut ATM dan kartu kredit di dompetnya. Kami tertawa lagi tapi juga enggan untuk berbuat curang. Bisa saja sih kami memakai uang sendiri, makan sepuasnya, menyewa losmen supaya tidur enak. Toh gak ada panitia yang akan membuntuti. Kami benar-benar dilepas berjalan sendirian. Untuk kemudahan mengontrol kami hanya diwajibkan mengirim SMS laporan posisi terakhir kami dan kondisi para personil di jam tertentu saja. So, sekali lagi kami bisa saja bermain curang, Tapi itu tak seru. Dengan sendirinya niat itu kami buang jauh. Dalam kondisi tertekan ini, Ani memang yang paling sabar plus polos dan lucu sih. Banyak hal akhirnya kami bawa ke dalam canda tawa yang tak habis. Saya dan Fauzan sebenarnya sudah tak punya nyali untuk menjual baju kaos yang dititipkan panitia sebagai modal kami untuk survive. Ani yang berkali-kali mengingatkan itu, “Ayo dong kita harus jual kaos ini... eh kita harus ngapain lagi... itu ada kantor polisi yuk kita jualan ke sana sekalian minta bantuan... bla bla bla...”
Ada momen ketika kami kehabisan akal di Pemalang. Kami sebenarnya dua kali ditipu angkutan umum dari Pekalongan ke Pemalang. Rutenya tidak langsung tapi pendek-pendek sehingga kami dua kali harus diturunkan di tengah perjalananan. Untunglah ada 4 nasi bungkus khas Batang yang diberikan istrinya pak Bram. Tiga bungkusnya kami makan ketika mampir istirahat siang di masjid di kota Pemalang. Fauzan membeli Aqua sebotol seharga 5 ribu dan modal kami berkurang lagi. Rasa lapar lenyap sudah, emosi menjadi lebih stabil. Tapi kendala belum usai. Di kota ini kami sedikit berdebat untuk bagaimana caranya agar bisa menuju ke terminal. Kami masih punya satu tugas yang diberikan panitia di Pemalang yakni memberikan kembali apapun yang kami punya kecuali uang untuk orang-orang di sekitar. Ketika di Batang kami sudah melewati ziarah diri tangan di bawah, merasakan hidup terkatung-katung tapi toh selalu ditolong banyak orang. Nah di Pemalang ini kami harus berbuat sesuatu untuk menolong orang lain. Di saat yang sama kami juga harus memikirkan caranya untuk bisa bergerak terus ke Jakarta, dengan yang yang terbatas ini.
Kami berjalan kaki di tengah kota Pemalang dan mulai rasa capek. Tibalah kami di depan kantor Polres Pemalang. Saya menanyakan letak terminal ke salah satu kios terdekat. Fauzan mendadak jadi pendiam. Ani yang lebih aktif untuk memotivasi kami. Tidak. Memotivasi saya dan Fauzan yang jalan pikirannya sudah agak membuntu. Nada bicara Ani kian meninggi ketika ide-idenya tidak digubris dua laki-laki di hadapannya. Saya melihat kekecewaanya, Fauzan tetap saja diam dan ego saya mulai kelihatan. Saya menawarkan untuk naik saja angkot meski harus dua kali ganti tapi Ani bersikeras kita masuk saja ke kantor polisi dan menjual baju kaos kita sekaligus meminta bantuan pak polisi untuk mengantar kami ke terminal. Akhirnya Fauzan dan Ani bergerak masuk ke gerbang Polres, saya mengikuti saja dari belakang. Kami tiba di pos penjagaan, dengan 3 polisi tua dan seorang polisi muda sedang duduk. TV menyalak dengan volume amat besar. Kami memperkenalkan diri dan si bapak yang menerima kami mulai berbicara dengan nada yang tidak bersahabat. Saya menangkap sinyal bahwa ada salah paham di sini. Sebab keluarlah kalimat, “harusnya kalian ke sini pas hari kerja sehingga kami bisa menghubungkan ke dinas sosial bla bla... kalau mau minta bantuan harus ada proposal yang diajukan dan di hari dan jam kerja bla bla...” mereka jelas sangsi dengan kondisi kami yang sehat bugar, berpakaian rapi dan punya tas ransel besar tapi kok masih minta bantuan. Kami perjelas lagi kondisi kami yang diberi tantangan dengan uang minimal, dsb kami hanya butuh ditolong antar ke terminal terdekat. Akhirnya mereka paham dan bersedia mengeluarkan mobil patroli untuk mengantar kami ke terminal. Suasana jadi cair kembali. Di atas mobil patroli kami serasa menjadi tahanan dan menjadi obyek tontonan masyarakat sepanjang perjalanan. Kami malah asyik sendiri, Fauzan mengeluarkan ponselnya dan kami mulai memvideokan pengalaman seru itu. Kami tiba di terminal dan kami sadar bahwa hari makin sore dan sepanjang waktu di Pemalang kami belum menunaikan tugas berderma kami. Dinamikan baru akan muncul batin saya. Ini menariknya perjalanan dalam kelompok, ketika ada tantangan, masing-masing akan berganti peran sesuai dengan kemampuan dan resistensinya. Antara saya, Ani dan Fauzan, dalam setengah perjalanan ini, kami bisa saling memahami pribadi satu sama lain. Kami belajar untuk menahan diri, menahan egoisme kami masing-masing.
Selamat datang di Pemalang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...