Tahun 1997. Usia saya baru 11 tahun.
Sebulan setelah kematian Kakek, saya bangun tidur dan mendapati diri saya
terjebak dalam sebuah pertanyaan, kenapa pohon beringin menjadi penting. Kenapa
ada beringin di halaman Gereja, halaman rumah raja, di depan kantor camat, di
gerbang menuju lapangan kampung atau di tengah pekuburan umum. Anggap saja ini
refleksi sederhana masa kanak saya yang selalu beranggapan tak ada satupun dalam hidup yang tak bermakna dan sia-sia. Saya
adalah anak kampung yang besar di sebuah kecamatan di wilayah Mollo yang keseringan
berkelambu kabut dan mendapati itu seperti sebuah lembaran buku misteri yang
harus saya cari tahu sendiri.
Di depan Gereja dekat rumah saya, ada
sebatang pohon beringin bertangan sembilan. Di bawah kakinya ditakhtakan sebuah patung Maria. Maria
Immaculata. Menurut Ayah, persis di depan beringin itu dulunya berdiri Gereja
Katolik perdana di tanah Mollo. Di sampingnya dibangun sekolah dasar Katolik,
juga yang pertama di Mollo. Seorang Klerek
yang baru saja pulang merantau dari Maumere membawa dan menyatakan kabar
baik dariNya kepada Mollo.
Pada sembilan tangannya, saya dan
teman-teman terbiasa bergelantungan sambil berkelakar ria. Diam-diam saya
merasakan adanya relasi misterius antara saya dengan pohon beringin yang
semakin hari semakin kelihatan rupanya, sesosok pria sekaligus wanita renta
bersorot mata kuning langit senja. Pancaran kebijaksanaan.
Saya anggap relasi itu anugerah atas
pertanyaan yang datangnya seperti pencuri.
Sebab dengan demikian saya mungkin bisa mendapat jawaban yang paling
berbeda yang sudah saya dapatkan dari Ayah saya. Bahkan ini terjadi karena saya
bukanlah tipe orang yang mudah percaya.
Ia bahkan telah menjadi sahabat karib
saya. Ia ada di mata saya, berbagi kisah dalam buku harian saya. Ia bahkan
kerap berganti rupa dalam sketsa di buku gambar saya. Ia hadir melampaui sekat-sekat ruang dan waktu. Kepada seorang
sahabat pena saya di Jayapura, saya membagi kisah misterius ini. Yustin Menanti
namanya.
Kepada Yustin saya menulis,
“Kawan, kau mungkin tidak percaya jika
saya bisa berbicara dengan pohon beringin. Ia datang seperti pencuri.”
Pada suatu hari yang penuh hujan, saya
pulang sekolah sendirian. Berbekal daun pisang saya menembus kebun kopi yang
daunnya riuh diterpa hujan. Masa kanak saya tak mengenal payung apalagi jas
hujan. Bergerombol di kala hujan dengan daun pisang atau daun keladi memberikan
keseruan yang maha dahsyat. (Beberapa teman saya menggunakan daun lontar yang
telah dikeringkan sebagai
pengganti payung).
Ketika melewat beringin bertangan
sembilan, saya mendengar panggilannya, katanya, “Mari sini, berteduh dulu...,” Tubuhnya basah dan murung. Tanpa
ba-bi-bu saya langsung menuju ke bawah
kakinya, tempat Maria berdiri dulu (patungnya telah dipindahkan ke celah
jantung bikit Napi) yang kering tak tersentuh lidah-lidah hujan. Kami mengobrol
lama dan saya menangkap
wajah Ayah membayangi wajah pria sekaligus wanita renta.
Sebulan kemudian surat balasan dari
Yustin tiba di rumah.
Sudah saya duga bahwa ia menulis tertawaanya dalam sederet ‘hahahahaha’
panjang. Tapi sejurus kemudian, ia menyampaikan perspektifnya yang notabene tak
jauh beda dengan apa yang sedang saya alami ini. Ia punya pertanyaan yang sama
dengan yang saya miliki.
Hidup ini seumpama rollercoaster yang bergerak naik turun, menukik dan berbelok pada
jalurnya sendiri. Seperti darah dalam alirannya akan dipompa jantung ke semua
tempat yang harus ditujunya. Pada jalur atau pun alirannya,
segala kisah dinyatakan dan diimpikan. Diberi atau diambil kembali. Pada
selanya, kisah-kisah misterius dicucupkan Ayah-Ibumu. Dan saya melihat sendiri
bahwa perjalanan rollercoaster saya
menjadi bermakna karena berlapis-lapis kisah misterius pemberian Ayah-Ibu saya.
Semua perjalanan punya tujuan masing-masing. Seperti pada saat ketika secara
tiba-tiba rollercoaster itu berhenti.
Ketika saya mengalami mimpi basah pertama,
wajah yang saya akrabi
itu perlahan pudar dari mata, buku gambar dan catatan harian saya. Ini mungkin
karena saya yang sedang dijebak fase pubertas itu mulai tergila-gila pada gadis
keturunan Tionghoa,
cinta pertama saya, teman bernyanyi Cinci
Boncu di masa kanak saya.
Cinci boncu
Boncu laka boncu
Tanam sayur, pancing
kea
Malu-malu udang de’
Ah
saya malu.
Ia secara sadar dan samar mulai
membiarkan ruang baru tercipta dalam jiwa saya. Dalam nyata dan mimpi saya, gadis dari Avilla itu. Benar saja,
saya lupa
dan melupakannya mengendap dalam ruang bawah tanah rumah jiwa saya.
Tahun 2011, usia saya sudah 25 tahun. Dalam
sebuah toko buku megah di kota Kupang, secara tak sengaja, saya menemukan
sesosok yang pernah saya akrabi dulu: teman berbagi mimpi. Karena misteri yang
ada hanya mampu dipecahkan alam mimpi, bukan di alam nyata. Namanya bahkan baru
saya ketahui. Kanuku Leon. Sang raja tua renta dengan sorot mata ‘molfa mate―yang amat menguning,’
pancaran kebijaksanaan dan keadilan hidup. Sungguh, ini pertemuan kedua yang
membawa saya pada proses pemaknaan yang lebih dalam.
Ketika kembali ke rumah, saya mendapati
ada nafas dan aroma tubuh ‘Kanuku Leon’
dalam file-file puisi dan cerpen yang pernah saya tulis. Bahkan di masa-masa
krisis cinta saya ketika ditinggalkan si gadis dari Avilla, saya malah begitu
produktif menulis. Adakah ia sudah menyatu dalam nafas dan aroma tubuh saya?
Apakah hal yang sama juga dialami warga Polinesia dan Melanesia yang
menempatkan pohon beringin dan mimpi pada tempat yang spesial?
Buku ini saya persembahkan kepada
Bapatua dan Mamatua. Merekalah yang sudah ‘meracuni’ jiwa saya dengan
kisah-kisah gemilang tanah Mollo di masa silam. Di meja makan kami terbiasa
mendongeng, bertiga atau berenam dengan kakak-kakak saya. Sudah saya bilang,
pada selanya, kisah-kisah misterius akan dicucupkan Ayah-Ibumu ke mulut dan
pengetahuanmu. Merekalah ‘biang kerok’
suburnya pohon imajinasi saya.
Kepada tanah Mollo, sumber dari segala
sumber kebijaksanaan hidup. Kepada sebaris gunung―Mollo, Naususu, Fatumnasi
hingga Mutis yang kerap mempertontonkan
segenap misteri dan keangkuhannya (saya baca itu dari senja kuning di ketinggian Bolaplelo,
kilometer duabelas menuju Kapan). Merekalah struktur dari semua mimpi-mimpi
saya selama ini.
Kepada Mama Aleta Baun, pejuang adat dan
lingkungan asal Mollo yang menjadi inspirasi menulis saya. Kepada para atoni meto Mollo yang sejak pulau Timor
ada, telah dipercayakan untuk menjaga dan memelihara hutan dan gunung. Sebab
dari sanalah susu, madu dan air dialirkan ke sebagian besar pulau Timor.
Terima
kasih kepada para donatur yang turut mendukung crowd-funding #KanukuLeon: Jonatan Lassa, Elcid Li, Chandra Dethan,
Okke Sepatu Merah, Danny Wetangterah, dan Yanuar Awaludin. Syukurlah lewat
Kanuku Leon, kita bisa membeli banyak lagi buku-buku sastra karya penulis NTT
untuk didonasikan ke perpustakaan sekolah dan taman-taman baca yang ada di NTT.
Misi saya, agar semakin banyak karya anak NTT yang dikenal dan diapresiasi di kampung
sendiri.
Kepada saudara sehati-sejiwa, Mario F
Lawi, Sandra Olivia Frans, Prim Nakfatu, Pion Ratulolly, Djho Izmail, Tuteh Pharmantara,
Amanche Franck Oe Ninu, Arky Manek, Fransiska Eka, Patris Allegro, Abdul M Djou, Maria Pankratia Mete
Seda, Doddy Nai Botha, Voltaire Talo, Josua Natanael Sriadi, Umbu Nababan, Fauwzya Dean, Yustina Liarian Eto
dan Gerald Louis Fori. Dua
manusia keren, Arystha Pello dan Rara Watupelit. Terima kasih. Komunitas
Sastra Dusun Flobamora, rumah sastra saya. Komunitas Blogger NTT dan
MudaersNTT, rumah menulis saya. Forum Soe Peduli, kumpulannya orang muda TTS
yang punya mimpi besar untuk kabupatennya agar lebih baik. Siswa-siswi saya di
SMPK St.
Theresia Kupang, rumah tempat saya belajar sabar dan kreativitas. Terima kasih
sudah membuat saya awet muda, ha-ha-ha.
Inilah
rollercoaster saya. Linimasa saya. Mari
bermimpi.
Christian Dicky
Senda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...