Kamis, 16 April 2015

Linimasa


 
Tahun 1997. Usia saya baru 11 tahun. Sebulan setelah kematian Kakek, saya bangun tidur dan mendapati diri saya terjebak dalam sebuah pertanyaan, kenapa pohon beringin menjadi penting. Kenapa ada beringin di halaman Gereja, halaman rumah raja, di depan kantor camat, di gerbang menuju lapangan kampung atau di tengah pekuburan umum. Anggap saja ini refleksi sederhana masa kanak saya yang selalu beranggapan tak ada satupun  dalam hidup yang tak bermakna dan sia-sia. Saya adalah anak kampung yang besar di sebuah kecamatan di wilayah Mollo yang keseringan berkelambu kabut dan mendapati itu seperti sebuah lembaran buku misteri yang harus saya cari tahu sendiri.
Di depan Gereja dekat rumah saya, ada sebatang pohon beringin bertangan sembilan. Di bawah kakinya ditakhtakan sebuah patung Maria. Maria Immaculata. Menurut Ayah, persis di depan beringin itu dulunya berdiri Gereja Katolik perdana di tanah Mollo. Di sampingnya dibangun sekolah dasar Katolik, juga yang pertama di Mollo. Seorang Klerek yang baru saja pulang merantau dari Maumere membawa dan menyatakan kabar baik dariNya kepada Mollo.
Pada sembilan tangannya, saya dan teman-teman terbiasa bergelantungan sambil berkelakar ria. Diam-diam saya merasakan adanya relasi misterius antara saya dengan pohon beringin yang semakin hari semakin kelihatan rupanya, sesosok pria sekaligus wanita renta bersorot mata kuning langit senja. Pancaran kebijaksanaan.
Saya anggap relasi itu anugerah atas pertanyaan yang datangnya seperti pencuri.  Sebab dengan demikian saya mungkin bisa mendapat jawaban yang paling berbeda yang sudah saya dapatkan dari Ayah saya. Bahkan ini terjadi karena saya bukanlah tipe orang yang mudah percaya.
Ia bahkan telah menjadi sahabat karib saya. Ia ada di mata saya, berbagi kisah dalam buku harian saya. Ia bahkan kerap berganti rupa dalam sketsa di buku gambar saya. Ia hadir melampaui  sekat-sekat ruang dan waktu. Kepada seorang sahabat pena saya di Jayapura, saya membagi kisah misterius ini. Yustin Menanti namanya.
Kepada Yustin saya menulis,
“Kawan, kau mungkin tidak percaya jika saya bisa berbicara dengan pohon beringin. Ia datang seperti pencuri.”
Pada suatu hari yang penuh hujan, saya pulang sekolah sendirian. Berbekal daun pisang saya menembus kebun kopi yang daunnya riuh diterpa hujan. Masa kanak saya tak mengenal payung apalagi jas hujan. Bergerombol di kala hujan dengan daun pisang atau daun keladi memberikan keseruan yang maha dahsyat. (Beberapa teman saya menggunakan daun lontar yang telah dikeringkan sebagai pengganti payung).
Ketika melewat beringin bertangan sembilan, saya mendengar panggilannya, katanya, “Mari sini, berteduh dulu...,” Tubuhnya basah dan murung. Tanpa ba-bi-bu saya langsung menuju ke bawah kakinya, tempat Maria berdiri dulu (patungnya telah dipindahkan ke celah jantung bikit Napi) yang kering tak tersentuh lidah-lidah hujan. Kami mengobrol lama dan saya menangkap wajah Ayah membayangi wajah pria sekaligus wanita renta.
Sebulan kemudian surat balasan dari Yustin tiba di rumah. Sudah saya duga bahwa ia menulis tertawaanya dalam sederet ‘hahahahaha’ panjang. Tapi sejurus kemudian, ia menyampaikan perspektifnya yang notabene tak jauh beda dengan apa yang sedang saya alami ini. Ia punya pertanyaan yang sama dengan yang saya miliki.
Hidup ini seumpama rollercoaster yang bergerak naik turun, menukik dan berbelok pada jalurnya sendiri. Seperti darah dalam alirannya akan dipompa jantung ke semua tempat yang harus ditujunya. Pada jalur atau pun alirannya, segala kisah dinyatakan dan diimpikan. Diberi atau diambil kembali. Pada selanya, kisah-kisah misterius dicucupkan Ayah-Ibumu. Dan saya melihat sendiri bahwa perjalanan rollercoaster saya menjadi bermakna karena berlapis-lapis kisah misterius pemberian Ayah-Ibu saya. Semua perjalanan punya tujuan masing-masing. Seperti pada saat ketika secara tiba-tiba rollercoaster itu berhenti.
Ketika saya mengalami mimpi basah pertama, wajah yang saya akrabi itu perlahan pudar dari mata, buku gambar dan catatan harian saya. Ini mungkin karena saya yang sedang dijebak fase pubertas itu mulai tergila-gila pada gadis keturunan Tionghoa, cinta pertama saya, teman bernyanyi Cinci Boncu di masa kanak saya.

Cinci boncu
Boncu laka boncu
Tanam sayur, pancing kea
Malu-malu udang de’

Ah saya malu.
Ia secara sadar dan samar mulai membiarkan ruang baru tercipta dalam jiwa saya. Dalam nyata dan mimpi saya, gadis dari Avilla itu. Benar saja, saya lupa dan melupakannya mengendap dalam ruang bawah tanah rumah jiwa saya.
Tahun 2011, usia saya sudah 25 tahun. Dalam sebuah toko buku megah di kota Kupang, secara tak sengaja, saya menemukan sesosok yang pernah saya akrabi dulu: teman berbagi mimpi. Karena misteri yang ada hanya mampu dipecahkan alam mimpi, bukan di alam nyata. Namanya bahkan baru saya ketahui. Kanuku Leon. Sang raja tua renta dengan sorot mata ‘molfa mate―yang amat menguning,’ pancaran kebijaksanaan dan keadilan hidup. Sungguh, ini pertemuan kedua yang membawa saya pada proses pemaknaan yang lebih dalam.
Ketika kembali ke rumah, saya mendapati ada nafas dan aroma tubuh ‘Kanuku  Leon’ dalam file-file puisi dan cerpen yang pernah saya tulis. Bahkan di masa-masa krisis cinta saya ketika ditinggalkan si gadis dari Avilla, saya malah begitu produktif menulis. Adakah ia sudah menyatu dalam nafas dan aroma tubuh saya? Apakah hal yang sama juga dialami warga Polinesia dan Melanesia yang menempatkan pohon beringin dan mimpi pada tempat yang spesial?


Buku ini saya persembahkan kepada Bapatua dan Mamatua. Merekalah yang sudah ‘meracuni’ jiwa saya dengan kisah-kisah gemilang tanah Mollo di masa silam. Di meja makan kami terbiasa mendongeng, bertiga atau berenam dengan kakak-kakak saya. Sudah saya bilang, pada selanya, kisah-kisah misterius akan dicucupkan Ayah-Ibumu ke mulut dan pengetahuanmu.  Merekalah ‘biang kerok’ suburnya pohon imajinasi saya.
Kepada tanah Mollo, sumber dari segala sumber kebijaksanaan hidup. Kepada sebaris gunung―Mollo, Naususu, Fatumnasi hingga Mutis yang kerap mempertontonkan segenap misteri dan keangkuhannya (saya baca itu dari senja kuning di ketinggian Bolaplelo, kilometer duabelas menuju Kapan). Merekalah struktur dari semua mimpi-mimpi saya selama ini.
Kepada Mama Aleta Baun, pejuang adat dan lingkungan asal Mollo yang menjadi inspirasi menulis saya. Kepada para atoni meto Mollo yang sejak pulau Timor ada, telah dipercayakan untuk menjaga dan memelihara hutan dan gunung. Sebab dari sanalah susu, madu dan air dialirkan ke sebagian besar pulau Timor.
Terima kasih kepada para donatur yang turut mendukung crowd-funding #KanukuLeon: Jonatan Lassa, Elcid Li, Chandra Dethan, Okke Sepatu Merah, Danny Wetangterah, dan Yanuar Awaludin. Syukurlah lewat Kanuku Leon, kita bisa membeli banyak lagi buku-buku sastra karya penulis NTT untuk didonasikan ke perpustakaan sekolah dan taman-taman baca yang ada di NTT. Misi saya, agar semakin banyak karya anak NTT yang dikenal dan diapresiasi di kampung sendiri.
Kepada saudara sehati-sejiwa, Mario F Lawi, Sandra Olivia Frans, Prim Nakfatu, Pion Ratulolly, Djho Izmail, Tuteh Pharmantara, Amanche Franck Oe Ninu, Arky Manek, Fransiska Eka, Patris Allegro, Abdul M Djou, Maria Pankratia Mete Seda, Doddy Nai Botha, Voltaire Talo, Josua Natanael Sriadi, Umbu Nababan, Fauwzya Dean, Yustina Liarian Eto dan Gerald Louis Fori. Dua manusia keren, Arystha Pello dan Rara Watupelit. Terima kasih. Komunitas Sastra Dusun Flobamora, rumah sastra saya. Komunitas Blogger NTT dan MudaersNTT, rumah menulis saya. Forum Soe Peduli, kumpulannya orang muda TTS yang punya mimpi besar untuk kabupatennya agar lebih baik. Siswa-siswi saya di SMPK St. Theresia Kupang, rumah tempat saya belajar sabar dan kreativitas. Terima kasih sudah membuat saya awet muda, ha-ha-ha.  
Inilah rollercoaster saya. Linimasa saya. Mari bermimpi.

Christian Dicky Senda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...