“Beta liat Maria datang kasih bangun beta. Dia bilang, bangun sudah Joseph, Isa ada tunggu lu di kapela. Beta bangun terus pi kapela. Di sana beta liat dong pung pakaian bercahaya, dan beta percaya, akhirnya beta sembuh.”
“Diam gila! Lu mati sa,” teriak sebagian besar umat.
“Dia bersaksi palsu, Romo!”
ilustrasi Rara Watupelit dan Ayu Pello |
***
Kapela St. Theresia dari Avilla Usapi Sonbai.
Adven tiba, pohon sepe berbunga indah dan pemuda seperempat abad itu nampak sedang galau. Misa mingguan baru saja usai. Pastor tamu yang biasanya datang melayani telah kembali ke Sikumana. Umat jauh lebih gegas untuk pulang ke rumah masing-masing meninggalkan tembok kokoh kapela berwarna putih yang kini dijaga bunga segar sepe dan wajah sendu sang koster. Kontras.
Matahari nampaknya masih terlalu garang untuk Desember kali ini. Lidah-lidahnya bercahaya tajam menembus duabelas kaca patri di atas pintu sisi depan kapela dan belakang altar. Rupa Roh Kudus yang terpatri tinggi kini bergerak menukik ke arah lantai setelah tubunya ditembusi spektrum matahari yang bergerak disilih awan gemawan. Begitu juga wajah kudus Maria dan Kristus Putra Terkasihnya. Hati mereka nampak lebih merah dengan desir nadi yang juga digerakkan matahari. Kontras.
Di depan sana, sinar yang yang terpancar dari kaca-kaca patri bergerak lebih harmonis dan cenderung lamban. Tiada lidah matahari yang terlalu angkuh untuk menjilat sisi Selatan di mana pintu gerbang kapela berada. Namun dalam kesamaran cahaya, kaca-kaca itu justru sedang bercerita. Menyentuh lengan satu sama lain dalam kesunyian yang dalam, berbagi kisah tentang penciptaan mahamulia.
Ulah kaca-kaca patri itu bahkan mulai menarik perhatian pria muda seperempat abad yang tertelut galau di pojok bangku panjang coklat. Dengan peluh dan air mata yang merembes di wajah, ia mungkin sedang mengadu pada Tuhan. Ataukah novena sedang ia daraskan secara taat. Ditatapnya nanar tahta tabernakel coklat berbentuk ume kbubu, seolah sedang menunggu sebuah jawaban yang akan keluar dari rumah tabernakel itu.
****
Dua tahun sudah Maria meninggalkanku tanpa pamit dan restuku. Meninggalkan Usapi Sonbai permai, aku dan segala kisah manis kami. Maria diam-diam pergi ke Malaysia menjadi TKW.
“Lu harus jemput lu pung mimpi, Maria!” sebuah bujukan pamungkas keluar dari mulut Omnya, sang perekrut TKI (ilegal!).
Lanjutnya berapi-api, “Lu pung mimpi ada di Malaysia. Bukan di Usapi Sonbai sini. Apalai deng itu koster yang dia pung masa depan sonde jelas. Lu mau makan ta’i deng itu anak yatim piatu, ko?!”
Terlalu banyak contoh sukses para TKI di kampung ini yang membuat perkataan Omnya terlalu di atas angin. Meski sebenarnya tak jarang juga yang pulang dengan berbagai kisah pilu, bahkan pulang sebagai jenazah penuh luka memar! Ah, mungkin saja orang Timor yang terlalu silau dengan harta benda yang dibawa pulang para TKI atau memang karena mereka terlalu berani untuk mengadu nasib dengan nyawa yang ditukar dengan ilegalitas.
Malaysia memang memberikan banyak silau bagi Maria (dan orang-orang Usapi Sonbai), tapi tidak dengan cintaku, statusku sebagai koster dan petani sederhana.
“Lu liat Joseph to?! Berdoa tiap hari, urus Tuhan pung rumah dan hidup melarat begitu saja, mau apa lai?!”
Kata-kata pedas itu toh akhirnya sampai juga ke telingaku, meski tak ada gunanya. Maria sudah bahagia di Malaysia.
Ia mungkin juga sudah lupa dengan kebiasaan kami membersihkan kapela bersama dan berkebun. Dan ketika masa adven tiba, pohon-pohon sepe di samping kapela mulai berbunga, kami bisa menghabiskan banyak waktu duduk berdua di bawah pohon sepe.
Aku ingat momen pertemuan terakhir kami lima tahun silam. Di bawah pohon sepe yang sama, aku mengutarakan niatku untuk menikahinya. Aku bercerita, bahwa pastor Agustinus berniat meminjamkan modal usaha bagiku. Sudah kubayangkan usaha peternakan babi dan kios kelontong kecil berada di dalam kepalaku. Ia mendengar dengan mata yang berkaca-kaca. Sama sekali tak kulihat ada setitik pun dusta di bola matanya. Tapi mungkinkah hasutan pamannya jauh lebih mujarab? Atau ia hanya pergi karena dipaksa keluarganya? Waktu bergulir begitu cepat. Rasanya seperti baru kemarin, tetapi efeknya terasa berkepanjangan dan membatu. Berat rasanya.
Lima kali sudah sepe-sepe ini berbunga dan tak pernah ada kabar berita darinya.
Secara samar aku merasa Tuhan tak adil padaku.
***
Empat minggu masa Adven lewat sudah. Hari Natal tiba. Umat bergegas ke kapela dengan pakaian terbaik mereka. Anak-anak bahagia karena kantong kemeja dan rok penuh gula-gula dengan kembang api bertengger di tangan. Binar mata akan naik berkali-kali lipat ketika misa usai, semua pintu rumah tangga terbuka bagi siapapun. Istaroop dan kukis kering kiloan bakal laris manis di meja tamu. Natal milik semua yang mencintai sukacita. Tapi untuk tahun ini, kebahagiaan itu tak berlaku bagi Joseph.
Pada saat Natal atau Paskah, seorang koster sepertinya akan bekerja ekstra. Dan biasanya ia melakukan semua hal dengan senyum lebar. Tapi tidak untuk tahun ini, tahun kedua sepe berbunga tanpa ada Maria di sisinya.
Pagi-pagi, ia bangun dalam keadaan gelisah. Sebuah mimpi buruk baru saja terjadi, pikirnya. Tapi kemudian pikirannya buntu. Mengendap bersama keringat di bantal. Tak ada bekas cerita yang terserak di memorinya. Ia menebak-nebak dalam gelisah.
Kemudian ia sarapan diiringi gelisah, ke hutan pun bersama gelisah. Ia akan mengambil cemara hutan, sekarung rumput dan tanaman menjalar yang akan dipakai sebagai dekorasi kandang Natal kapela kali ini.
Hari ini, menjelang misa malam Natal, ia lalui dengan keadaan gelisah yang makin akut. Hingga misa usai, Joseph hanyalah robot berwajah murung yang sengaja diatur untuk hilir-mudik di ruang sakristi mungil seperti setrika rusak.
Baru saja pastor Agustinus memberikan berkat penutupnya, hapenya berdering tanda SMS masuk. Sontak bunyi itu merobohkan tembok gelisahnya untuk membangun berlapis-lapis tembok gelisah baru yang campur-aduk. Praakk!! Hape tuanya terjatuh. Dengan tangan gemetar ia meraih baterai yang terpisah dengan badan hape, memasang dengan cepat dan menekan tombol aktif. Ia melakukan dengan gemuruh di dada yang aneh. Semakin aneh, bisu dan... lututnya terjatuh menikam lantai secara tiba-tiba.
“Ose, katong dapat kabar dari teman-teman di Kupang. Dong bilang Maria su mati di Malaysia. Kena perkosa abis itu orang bunuh. Coba lu hubungi dia pung orang tua. Kuat e, Ose?! GBU! (Melky).”
Kelompok koor menyanyikan lagu penutup ‘Joy to the World’ dengan gegap gempita. Namun di telinga Joseph, lagu itu terdengar mengalir pelan dan suram. Lenyap hingga gelap menyergap.
Tuhan tak adil padaku. Novenaku sia-sia!
***
Setelah kematian Maria, perangai Joseph berubah total. Ia menjadi pemurung dan mulai menciptakan jarak dengan kapela tercintanya. Sebulan setelah Natal, Joseph benar-benar mengajukan permohonan pengunduran diri dari tugasnya sebagai koster. Namun hati kecil pastor Agustinus berkata lain. Sebagai pastor di paroki induk, ia tak boleh melepaskan koster terbaik di kapelanya terhimpit dalam keputusasaan. Ia mencari koster pengganti dan meminta Joseph tetap tinggal di kapela, mengurus kebun dengan waktu istirahat yang longgar.
“Terima kasih, Romo. Biar sa beta tinggal di pondok di kebun. Beta rasa bosan tinggal di kapela ini.”
Tuhan tak adil padaku.
Pastor Agustinus membolehkan. Namun diam-diam, ia meminta Guido—koster pengganti—untuk mengontrol kondisi Joseph di kebun. Sebab sebagai pastor di paroki induk di Sikumana, ia hanya punya waktu sebulan sekali untuk mengunjungi Usapi Sonbai.
Seminggu kemudian, tersiarlah kabar di telinga umat hingga ke telingan pastor Agustinus bahwa Joseph sudah gila! Ia dikabarkan tidur-tiduran sambil meracau tak karuan di bawah pohon sepe dekat kapela. Kadang ia terpergoki sedang memeluk pohon sepe sambil mengobrol seperti sedang berbicara dengan seseorang. Sungguh, ia sudah dianggap gila oleh umat.
Lebih naas lagi, akhir-akhir ini ia makin menjadi-jadi. Ia kedapatan menangis meraung-raung sambil memeluk pohon sepe yang mulai rontok bunga-bunganya. “Jangan jalan lai... jangaaan!” Teriaknya.
Ia berteriak hingga tertidur pulas.
Dari ujung tembok, tempat cahaya matahari biasanya jatuh menembus kaca patri, datanglah seberkas cahaya membentuk tubuh manusia menuju ke arah pohon sepe. Perempuan cantik yang murni hatinya. Katanya pada lelaki muda yang tertidur pulas,
“Bangunlah Joseph, Isa menunggumu di dalam....”
Ia pergi meninggalkan sepe yang mulai berguguran.
Kupang, 12-12-12
Ketrangan:
1. Ume kbubu: rumah tradisional suku Dawan, Timor, dengan atap alang-alang yang menjuntai hingga menyentuh tanah. Secara harafiah, ume kbubu berarti ‘rumah bulat’.
2. Istaroop: sirup rasa frambozen.
3. Pohon sepe: pohon flamboyan (Delonix regia).
Cerpen ini pernah dimuat di antologi cerpen Temu 1 Sastrawan NTT, Kematian Sasando.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...