Rabu, 11 Maret 2015

Noorlientje


Dalam hutan yang rapat, bunyi hu angin berkelindan dengan pekatnya malam. Bulan telah mati beberapa hari yang lalu. Sesungguhnya tempat itu terlalu ramai dalam kebisuan. Tak kasat memang.
Tiga mobil Fiat melaju dengan kencang memecah kesunyian hutan. Secara tiba-tiba sebongkah tanah pecah. Sebatang tangan terpancak dengan rosario berkarat di genggaman.
Jam setengah sembilan malam. Di dalam hutan, dua belas kilometer dari kota yang mesti berselimut kabut.
Sosok itu terbangun. Memuntahkan tanah dan bau anyir. Ia sesungguhnya lelaki berusia seperempat abad, telanjang tanpa lidah dan alat kelamin. Rosario berkarat masih digenggam erat. Ia melangkah gontai lalu terjatuh dan pingsan. Dan kini ia melayang. Dan tersesat dalam angan-angan semesta yang telah lama menimbunnya dalam ketidakpastian. Menunggu untuk menjadi kunang-kunang.
  
***

Wisma Embun Mollo nyaris lenyap ditelan kabut. Wisma itu paling besar di kota kecil ini. Dibangun lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia oleh Sea A Ging, seorang Abener (semacam teknisi bangunan) Cina totok yang sangat berpengaruh di Kapan. Ia membangun kantor polisi dan istana raja. Kediamannya di Kampung Cina adalah rumah batu paling mentereng di seantero Mollo pada masanya.
Sedangkan keluarga Naatonis adalah pensiunan tentara KNIL yang baru saja pulang dari Semarang, dipercayai oleh raja Mollo menjadi pengelola wisma. Beberapa tamu penting dari Jawa, Kupang atau SoE kerap mengadakan pertemuan, melaksanakan pesta atau sekedar menginap di wisma yang menawarkan ketenangan alam pegunungan. Pelayanan prima ditawarkan keluarga Naatonis kepada setiap tamu. Teristimewa Mama Naatonis, sosok luar biasa dibalik kesuksesan wisma Embun Mollo. Istri Naatonis ini berdarah Jawa murni dan handal dalam memasak. Ia punya banyak resep masakan Eropa ataupun Cina peranakan. Tentu saja karena ia isteri seorang tentara KNIL, berasal dari Ambarawa dan pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga asal Belanda.
Putri tunggal mereka, Noorlientje, sudah belasan tahun menjadi begitu dingin dan tertutup bagi banyak orang. Nor, begitu ia disapa, setia mengabdi pada kedua orangtuanya dan demi Daniel putra semata wayangnya. Nor menyimpan sedihnya sendiri, tetapi waktu punya asalan untuk menunjukkan kerapuhannya. Sesungguhnya ia terlalu menghabiskan energi dan memikul sendiri stigma yang dialamatkan padanya, janda muda dari seorang PKI! Suaminya menghilang secara misterius dalam peristiwa ‘bersih-bersih’ di zaman Orde Baru beberapa bulan setelah peristiwa Lubang Buaya di Jakarta.
Ia menciptakan kerapuhan yang tak wajar pada cerminnya. Nor mewarisi kecantikan yang sederhana, paduan Timor dan Jawa. Dan hal itu terlukis satir dengan peristiwa kehilangan suami di usia dua tahun pernikahan. Ia memasak dan mengurus wisma sehebat mamanya, sembari mengunci mulut rapat dan memelihara sakit hatinya karena dicap istri seorang PKI. Ia takut keluar rumah, sebab mata dan mulut tetangga sontak akan menikam tubuhnya. Ia menghempas semua dendamnya pada dapur nan luas yang kerap beraroma gurih aneka tumisan dan wewangian roti bakar. Ia adalah kertas koyak yang sesekali dijamah disembuhkan oleh resep kuliner yang tertera. Yang ia tulis sendiri bersama catatan harian lainnya. Bersama sejumlah pertanyaan, kenapa harus suaminya? Di mana jasad suaminya? Lalu air matanya akan jatuh membasahi foto suaminya.
Nasib Noorlientje telah mewariskan kegalauan terselubung yang berkelindan di antara rasa sakit dan harum makan malam di atas meja prasmanan tamu. Di antara diam mematikan dan pesta yang tak pernah absen pada akhir pekan.
“Nor, bawakan kue lemonade ke teras depan. Pak Nas meminta makanan penutup yang spesial.”
“Tapi, Ma...”
“Ah, sudah pergi sana. Ojo lali esem yo, Nduk...”1
“Ma, beta malu!”
“Malu apanya? Ada yang nanyain kamu lho...”
Nor mengangkat nampan berisi kue dengan sigap dan agak kesal melewati koridor wisma yang panjang.
Di teras depan sana, sang Jenderal dan isterinya sedang mengobrol didampingi papa raja dan beberapa tamu dari Kupang.
“Sini saya bantu, Gadis Manis.”
Hampir saja Nor menumpahkan isi nampan karena terlalu kaget. Seseorang menyelinap dari balik pintu ruang tengah, menyodorkan tangan sembari menawarkan senyum terbaiknya.
“Oh, maaf, Nona Manis. Saya Adam. Asisten pribadi Pak Nas.”
Matanya nyalang seperti bintang, dengan sedikit unsur tak bernama yang tiba-tiba merasuk.
“Ah, terima kasih. Permisi...” Ah, apakah ia hantu?
Nor berlalu meninggalkan pemuda ganteng berbadan tegap yang termengap-mengap menyaksikan dirinya pergi.
***
Di wisma Embun Mollo, kabut adalah penjaga setia bagi setiap penghuninya. Sebab ia memberi  sejuta alasan jelas tentang rasa damai bagai siapapun yang singgah. Ia juga bergantung musim yang lewat. Kapan ia membekukan suasana dan kapan ia hanya menyegarkan sekaligus memberi gairah bagi tetamu saat menyeruput kopi Mollo atau menyantap apapun yang disuguhkan tuan rumah.
Di Wisma Embun Mollo, para tamu datang dan pergi begitu saja. Meninggalkan kesan yang sudah dianggap terlalu umum bagi keluarga Naatonis. Tapi rupanya berbeda dengan tamu kali ini. Pak Nas dan rombongannya. Jenderal besar yang kedatangannya tak diketahui warga kota kecil ini. Memang disengaja. Konon katanya, ia mampir hanya karena penasaran dengan apel amtasa dan kopi Mollo yang digilai para Meneer dan Mevrouw Belanda.
Di ruang tamu wisma, dua jam sebelum kepulangan rombongan Jenderal ke Kupang, suasana begitu hening. Tak ada kesibukan apapun di dapur. Energi besar rupanya sedang tersedot di ruang bercat oranye itu.
“Adam ini asisten kebanggan saya. Masih perjaka. Keturunan Ambon-Jawa...” Jenderal itu membuka pembicaraan dengan suara berat dan ramah. Ia nampak menghargai keluarga kecil di depannya.
“Pagi-pagi benar ketika saya memintanya untuk berkemas, ia membisikan niat luhurnya ke telinga saya. Saya tertawa lebar. Saya bilang, ya sudah kalau memang kamu yakin sama pilihanmu. Silakan.”
Nor merunduk malu diapit ibu dan bapaknya. Di depannya, Adam dengan wajah sumringah terus mencuri-curi senyum malu dari perempuan yang kian merundukkan kepalanya.
Tiba-tiba perut pemuda itu disikut sang Jenderal, “Hei, kamu senyum-senyum saja. Yakin ingin mempersunting Noorlien-tje?”
“Siap, yakin, Pak!”
“Kami sudah mendengar tentang masa lalu Dik Nor. Adam juga. Dan, tentang masa lalu itu, tak ada masalah lagi bagi kami, dengan melihat ketulusan keluarga Pak Naatonis menjamu kami dua hari di sini.”
Jenderal itu berbicara dengan tegas dan menekan suaranya pada kata-kata ‘masa lalu itu’.
***
Terlalu cepat embun pagi ini menguap oleh cahaya matahari. Juga keputusan keluarga Naatonis melepaskan Nor untuk dibawa Adam ke Jakarta. Sungguh cinta yang kilat. Kepada keluarga yang berkumpul, Adam menyatakan ketertarikannya pada kesederhanaan Nor. Rupanya dalam waktu sempit itu, Adam telah menggunakan sebaik-baiknya. “Kue lemonade buatan Nor enak. Selembut dan semanis dirinya,” puji Adam yang sontak menuai derai tawa seisi ruangan.
Nor yang pandai menyimpan ceritanya sendiri selama ini, entahlah. Ia akhirnya dengan cepat luluh pada lamaran Adam. Atau karena ia ingin meninggalkan kemuakannya sendiri akibat dihina selama ini sebagai janda PKI! Ia ingat Daniel yang tak bisa bersekolah karena ‘status’ yang disandang suaminya. Mungkin juga kerapuhan yang dicerminkannya telah menarik simpati pemuda hitam manis yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
Tepat pukul 3 sore, prosesi adat pun dilakukan. Pesta dansa dadakan pun dilakukan hingga pukul delapan malam. Rombongan yang menumpang tiga mobil Fiat meninggalkan Wisma Embun Mollo, membawa serta Noorlientje dan putra semata wayangnya Daniel menuju Kupang lalu bertolak ke Jakarta esok paginya. 
Pak Naatonis dan istrinya menangis. Wisma ini bakal menjadi lebih sepi lagi tanpa hadirnya Nor dan Daniel. Dalam angan Naatonis, ada jawaban atas doanya selama ini. Kata-kata sinis ‘janda PKI’ yang hidup belasan tahun itu akan usai. Ah, belum seutuhnya usai. Sebab masih ada yang tersesat dalam angan semesta. Menunggu untuk menjadi kunang-kunang seperti korban-korban politik yang lain. Di hutan Netmetan yang hitam.

Pasir Panjang, 2013
Keterangan:
Ojo lali esem yo, Nduk...: Jangan lupa tersenyum ya, Nak...
Meneer: tuan, Mevrouw: nyonya (bahasa Belanda)
Cerpen ini pernah dimuat di Koran Timor Ekspress, Minggu 4 Agustus 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...