Dalam
hutan yang rapat, bunyi hu angin berkelindan dengan pekatnya malam. Bulan telah
mati beberapa hari yang lalu. Sesungguhnya tempat itu terlalu ramai dalam
kebisuan. Tak kasat memang.
Tiga
mobil Fiat melaju dengan kencang memecah kesunyian hutan. Secara tiba-tiba
sebongkah tanah pecah. Sebatang tangan terpancak dengan rosario berkarat di
genggaman.
Jam
setengah sembilan malam. Di dalam hutan, dua belas kilometer dari kota yang
mesti berselimut kabut.
Sosok
itu terbangun. Memuntahkan tanah dan bau anyir. Ia sesungguhnya lelaki berusia
seperempat abad, telanjang tanpa lidah dan alat kelamin. Rosario berkarat masih
digenggam erat. Ia melangkah gontai lalu terjatuh dan pingsan. Dan kini ia
melayang. Dan tersesat dalam angan-angan semesta yang telah lama menimbunnya
dalam ketidakpastian.
Menunggu untuk menjadi kunang-kunang.
***
Wisma
Embun Mollo nyaris lenyap ditelan kabut. Wisma itu paling besar di kota kecil
ini. Dibangun lima tahun setelah kemerdekaan Indonesia oleh Sea A Ging, seorang
Abener (semacam teknisi bangunan) Cina totok yang sangat berpengaruh di Kapan.
Ia membangun kantor polisi dan istana raja. Kediamannya di Kampung Cina adalah
rumah batu paling mentereng di seantero Mollo pada masanya.
Sedangkan
keluarga Naatonis adalah pensiunan tentara KNIL yang baru saja pulang dari
Semarang,
dipercayai oleh raja Mollo menjadi pengelola wisma. Beberapa tamu penting dari
Jawa, Kupang atau SoE kerap
mengadakan pertemuan, melaksanakan pesta atau sekedar menginap
di wisma yang menawarkan ketenangan alam pegunungan. Pelayanan prima ditawarkan
keluarga Naatonis kepada setiap tamu. Teristimewa Mama Naatonis, sosok luar
biasa dibalik kesuksesan wisma Embun Mollo. Istri Naatonis ini berdarah Jawa
murni dan handal dalam memasak. Ia punya banyak resep masakan Eropa
ataupun Cina peranakan. Tentu saja karena ia isteri seorang tentara KNIL,
berasal dari Ambarawa dan pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluarga
asal Belanda.
Putri
tunggal mereka, Noorlientje, sudah belasan tahun menjadi
begitu dingin dan tertutup bagi banyak orang. Nor, begitu ia disapa, setia mengabdi pada kedua
orangtuanya dan demi Daniel putra semata wayangnya. Nor menyimpan sedihnya
sendiri, tetapi waktu punya asalan untuk menunjukkan kerapuhannya. Sesungguhnya
ia terlalu menghabiskan energi dan memikul sendiri stigma yang dialamatkan
padanya, janda muda dari seorang PKI! Suaminya menghilang secara misterius
dalam peristiwa ‘bersih-bersih’ di zaman Orde Baru beberapa bulan setelah peristiwa
Lubang Buaya di Jakarta.
Ia
menciptakan kerapuhan yang tak wajar pada cerminnya. Nor mewarisi kecantikan
yang sederhana,
paduan Timor dan Jawa. Dan hal itu terlukis satir dengan peristiwa kehilangan
suami di usia dua tahun pernikahan. Ia memasak dan mengurus wisma sehebat
mamanya,
sembari mengunci mulut rapat
dan memelihara sakit hatinya karena dicap istri seorang PKI. Ia takut keluar rumah, sebab mata dan mulut tetangga
sontak akan menikam tubuhnya. Ia menghempas semua dendamnya pada
dapur nan luas
yang kerap beraroma gurih aneka tumisan dan wewangian roti bakar. Ia adalah
kertas koyak yang sesekali dijamah disembuhkan oleh resep kuliner yang tertera.
Yang ia tulis sendiri bersama catatan harian lainnya. Bersama sejumlah pertanyaan, kenapa harus suaminya? Di
mana jasad suaminya? Lalu air matanya akan jatuh membasahi foto suaminya.
Nasib
Noorlientje telah mewariskan kegalauan
terselubung yang berkelindan di antara rasa sakit dan harum makan malam di atas
meja prasmanan tamu. Di antara
diam mematikan dan pesta yang tak pernah absen pada akhir pekan.
“Nor,
bawakan kue lemonade ke teras depan. Pak Nas meminta makanan penutup yang
spesial.”
“Tapi,
Ma...”
“Ah,
sudah pergi sana. Ojo lali esem yo, Nduk...”1
“Ma,
beta malu!”
“Malu
apanya? Ada yang nanyain kamu lho...”
Nor
mengangkat nampan
berisi kue dengan sigap dan agak kesal melewati koridor wisma yang panjang.
Di
teras depan sana, sang Jenderal dan isterinya sedang mengobrol didampingi papa
raja dan beberapa tamu dari Kupang.
“Sini
saya bantu,
Gadis Manis.”
Hampir
saja Nor menumpahkan isi nampan karena
terlalu kaget.
Seseorang menyelinap dari balik pintu ruang tengah, menyodorkan tangan sembari
menawarkan senyum terbaiknya.
“Oh,
maaf,
Nona Manis. Saya Adam. Asisten pribadi Pak Nas.”
Matanya
nyalang
seperti bintang, dengan sedikit unsur tak bernama yang tiba-tiba merasuk.
“Ah,
terima kasih. Permisi...” Ah, apakah ia
hantu?
Nor
berlalu meninggalkan pemuda ganteng berbadan tegap yang termengap-mengap
menyaksikan dirinya pergi.
***
Di
wisma Embun Mollo, kabut adalah penjaga setia bagi setiap penghuninya. Sebab ia
memberi sejuta alasan jelas tentang rasa damai bagai siapapun yang singgah. Ia juga
bergantung musim yang lewat. Kapan ia membekukan suasana dan kapan ia hanya
menyegarkan sekaligus
memberi gairah bagi tetamu saat menyeruput kopi Mollo atau menyantap apapun
yang disuguhkan tuan rumah.
Di
Wisma Embun Mollo, para tamu datang dan pergi begitu saja. Meninggalkan kesan
yang sudah dianggap terlalu umum bagi keluarga Naatonis. Tapi rupanya berbeda
dengan tamu kali ini. Pak Nas dan rombongannya. Jenderal besar yang
kedatangannya tak diketahui warga kota kecil ini. Memang disengaja. Konon
katanya, ia mampir hanya karena penasaran dengan apel amtasa dan kopi Mollo yang digilai para Meneer
dan Mevrouw Belanda.
Di
ruang tamu wisma, dua jam sebelum kepulangan rombongan Jenderal ke Kupang, suasana
begitu hening. Tak ada kesibukan apapun di dapur. Energi besar rupanya sedang
tersedot di ruang bercat oranye itu.
“Adam
ini asisten kebanggan saya. Masih perjaka. Keturunan Ambon-Jawa...” Jenderal itu membuka
pembicaraan dengan suara berat dan ramah. Ia nampak menghargai keluarga kecil
di depannya.
“Pagi-pagi
benar ketika saya memintanya untuk berkemas, ia membisikan niat luhurnya ke telinga
saya. Saya tertawa lebar. Saya bilang, ya sudah kalau memang kamu yakin sama
pilihanmu. Silakan.”
Nor
merunduk malu diapit ibu dan bapaknya. Di depannya, Adam dengan wajah sumringah
terus mencuri-curi senyum malu dari perempuan yang kian merundukkan kepalanya.
Tiba-tiba
perut pemuda itu disikut sang Jenderal, “Hei, kamu senyum-senyum saja. Yakin ingin
mempersunting Noorlien-tje?”
“Siap,
yakin, Pak!”
“Kami
sudah mendengar tentang masa lalu Dik Nor. Adam juga. Dan, tentang masa lalu
itu,
tak ada masalah lagi bagi kami, dengan melihat ketulusan keluarga Pak Naatonis
menjamu kami dua hari di sini.”
Jenderal
itu berbicara dengan tegas dan menekan suaranya pada kata-kata ‘masa lalu itu’.
***
Terlalu
cepat embun pagi ini menguap oleh cahaya matahari. Juga keputusan keluarga
Naatonis melepaskan Nor untuk dibawa Adam ke Jakarta. Sungguh cinta yang kilat.
Kepada keluarga yang berkumpul, Adam menyatakan ketertarikannya pada
kesederhanaan Nor. Rupanya dalam waktu sempit itu, Adam telah menggunakan
sebaik-baiknya. “Kue lemonade buatan Nor enak. Selembut dan semanis dirinya,”
puji Adam yang sontak menuai derai tawa seisi ruangan.
Nor
yang pandai menyimpan ceritanya sendiri selama ini, entahlah. Ia akhirnya dengan cepat
luluh pada lamaran Adam.
Atau karena ia ingin meninggalkan kemuakannya sendiri akibat dihina selama ini
sebagai janda PKI! Ia ingat Daniel yang tak bisa bersekolah karena ‘status’
yang disandang suaminya. Mungkin juga kerapuhan yang
dicerminkannya telah menarik simpati pemuda hitam manis yang usianya sepuluh
tahun lebih muda darinya.
Tepat
pukul 3 sore, prosesi adat pun dilakukan. Pesta dansa dadakan pun dilakukan
hingga pukul delapan malam. Rombongan yang menumpang tiga mobil Fiat meninggalkan Wisma
Embun Mollo, membawa serta Noorlientje dan putra semata wayangnya Daniel
menuju Kupang lalu bertolak ke Jakarta esok paginya.
Pak
Naatonis dan istrinya menangis. Wisma ini bakal menjadi lebih sepi lagi tanpa
hadirnya Nor dan Daniel. Dalam angan Naatonis, ada jawaban atas doanya selama
ini. Kata-kata sinis ‘janda PKI’ yang hidup belasan tahun itu akan usai. Ah, belum
seutuhnya usai. Sebab masih ada yang tersesat dalam angan semesta. Menunggu
untuk menjadi kunang-kunang seperti korban-korban politik yang lain. Di hutan
Netmetan yang hitam.
Pasir
Panjang, 2013
Keterangan:
Ojo
lali esem
yo,
Nduk...:
Jangan lupa tersenyum ya, Nak...
Meneer: tuan, Mevrouw: nyonya (bahasa Belanda)
Cerpen
ini pernah dimuat di Koran Timor Ekspress,
Minggu 4 Agustus 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...