Senin, 16 Maret 2015

Mencari Jejak Saudara Angkat Mamatua

Mama saya sedang di Kupang. Ia selalu menjadwalkan untuk turun ke Kupang, menjenguk keempat anak dan 6 cucunya. Sudah dua hari ini saya menawarkan diri untuk mengajaknya jalan-jalan. Sudah lama saya tidak mentraktir beliau makan. Sebenarnya ada beberapa hal yang perlu saya obrolkan dengan beliau. Beberapa waktu lalu saya dikasih tahu kakak romo saya bahwa sebenarnya beliau (termausk bapak saya) diam-diam mengkhawatirkan saya. Entah apa yang ada di pikiran mereka. Ah begitulah orang tua, melihat anaknya di umur segini, pastilah punya harapan ini itu. Saya pikir ini momen yang pas untuk mengajak mama makan sambil kita bisa mengobrol berdua secara santai dan panjang lebar. Singkatnya kami makan bersama dan saya mengeluarkan isi hati, temasuk beliau juga. Ada titik temu dalam pembicaraan kami. Ah rupanya mama tak terlalu khawatir, bapak saya yang diam-diam mengkhawatirkan anak lelaki bungsunya ini. Berarti saya harus menjadwalkan obrolan khusus dengan bapak jika nanti beliau ke Kupang. 

di hari kedua, tiba-tiba saya terpikirkan untuk mengajak mama mengunjungi beberapa saudara angkatnya. Saudara angkat? Entah apa istilah yang tepat. Mama saya anak tunggal dari seorang pensiunan tentara KNIL asal Timor dan seorang mantan pembantu rumah tangga di Semarang yang kemudian beralih profesi menjadi dukun beranak, tukang masak yang juga pandai meracik jamu ketika mereka pindah dari Semarang ke Timor tahun 1950an.

 Di Kapan, nenek saya cukup populer. Tangan beliau disebut-sebut sangat 'dingin' sehingga dianggap membawa kebaikan bagi ibu hamil yang hendak melahirkan, balita yang sakit-sakitan, selain bahwa ia pernah punya warung makan di Kapan dan ia memang pandai memasak. Ah pokoknya nenek saya itu hebat, menurut saya. 

Karena itulah ia kemudian banyak merawat anak-anak yang sakit. Pijatannya menyembuhkan, racikan jamu herbal tradisional cocok bagi tubuh anak-anak. Ada kepercayaan jika ada anak yang sakit-sakitan sejak kecil maka ia harus 'dijual' ke orang lain. Dijual maksudnya di sini adalah dititipkan sementara untuk dirawat oleh orang lain, mengganti nama, dsb. 'Dijual' pun sebenarnya tak butuh banyak uang, cukup orang tua menerima uang 50 rupiah dari 'sang pembeli' yang akan merawat anaknya, semua selesai. Beres. Berapa lama anaknya 'dijual', itu relatif. Bisa tiga hari, bisa seminggu, bisa sebulan bahkan bertahun-tahun. Ya bisa bertahun-tahun. Barangkali karena sudah panggilan jiwa, nenek akan sangat telaten mengurusi bayi-bayi orang yang sakit. Ia merawat seperti merawat anaknya sendiri. Ia padahal hanya punya seorang anak perempuan, ibu saya. Ceritanya demikian, di rumah nenek lantas menjadi ramai sekali. Ia jadi punya banyak anak angkat di rumahnya. Serunya lagi tak ada batasan suku dan agama. Ada orang Cina, ada orang Bugis, orang Jawa, orang Timor semua dirawat nenek dengan metode dan kasih sayang yang setara. 

Ketika saya mengobrol dengan mama, saya teringat saudara-saudara mama di Kupang yang dulunya pernah tinggal bersama di rumah nenek. Saya pun kenal baik karena kemudian, dengan anak-anak mereka sudah seperti saudara sepupu saya sendiri. Ada yang komunikasinya berlanjut hingga saat ini, ada yang sudah kehilangan kontak. 

Tiga bulan terakhir saya mendapat ide untuk menuliskan kembali kisah mama dan nenek ke dalam sebuah novelet. Saya mulai dengan membuat kerangka dan melakukan riset kecil-kecilan, di mulai dari rumah sendiri. Saya harus menggali sebanyak mungkin informasi dari mama, bapak dan kakak-kakak saya. Sebab saya tak bisa mengandalkan sendiri memori saya tentang mama dan nenek saya. Saya pun butuh persepktif lain termasuk dari orang-orang yang pernah tinggal dan diasuh nenek saya sejak kecil. Salah satunya orang yang kami datangi rumahnya semalam di Sikumana. 

Menyenangkan memang ketika akhirnya ketemu lagi dengan saudara yang sudah lama kehilangan kabar. Saya menikmati nostalgia yang terkuak ketika mama dan kakak perempuan yang kami kunjungi itu mulai bercerita tentang masa lalu mereka. Kami sama-sama mengenang nenek saya, yang kami panggil "Mama Tua", dan beliau yang sering memanggil kami anak cucunya ketika beliau sedang kesal dengan sebutan, "Koe, nenek moyang ini.." sembari mengayunkan tangannya lembut seperti hendak mengetok kepala kita. Koe maksudnya kau. 

Saya harus mendatangi lebih banyak lagi anak-anak angkat nenek saya. Ada banyak hal menarik dalam benak saya, yang saya percayai, semua harus dibagi. Saya ingin sekali menulis dalam sebuah novel pendek saja. Maka mulai sekarang saya memulainya dengan otodidak. Saya membuat kerangka alur dan ide, mulai memikirkan tokoh utama dan pendukung... ah, menarik sekali. 

Saya berterima kasih kepada Tuhan dan alam semesta juga keluarga yang selalu punya energi besar bagi sekelilingnya, bagi saya, untuk menyerap dan mengolah semua itu ke dalam sebentuk cerpen, puisi dan novel. Saya pun senang jika nanti saya akan membagikan kisah itu untuk kalian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...