Jumat, 19 Desember 2014

Refleksi Akhir Tahun: Dari Talenta, Jejaring Sosial, Kekuatan Doa Hingga Indahnya Perbedaan



catatan jelang ulang tahun

Barangkali ini satu titik balik yang penting dalam perjalanan hidup saya. Belakangan saya sempat terpuruk karena masalah hati tapi sudahlah nyatanya saya punya banyak kesempatan untuk berbuat banyak kegiatan yang pada akhirnya berhasil menyelamatkan saya dari keterpurukan itu. Saya bahkan harus berhenti untuk menyalahkan diri sendiri dan orang lain dan mulai menata hidup saya. Setiap kejadian punya makna. Sulit dan mudah sekali pun.
Sampai pada titik ini, saya makin merasa bahwa Sang Penyelenggara hidup benar ada untuk saya. Setahun ini kalau boleh menoleh kembali saya mendapat banyak berkah. Saya ingat bahwa pada waktu seperti sekarang ini saya mendapat pengalaman yang bertubi-tubi indahnya. Dalam pergaulan saya mendapat banyak simpul jaringan yang menghantar saya menemui lebih banyak orang hebat dan berkesempatan bertukar pikiran dengan mereka. Syukurlah bahwa saya diberi kesempatan untuk hadir dan berbicara dalam beberapa festival berskala internasional. Seperti mimpi. Tahun 2013 saya ke festival blogger tingkat ASEAN di Solo ketemu banyak orang, kemudian saya dihantar menuju Makassar International Writers Festival. Di Makassar saya bertemu lebih banyak lagi orang hebat yang kemudian memberi kesempatan-kesempatan emas kemudian. Mereka yang sama mampu menghadirkan saya ke Asean Literary Festival pertama di Jakarta dan terakhir saya bisa menginjakkan kaki saya ke tanah Kendari untuk ikut festival taman bacaan masyarakat. Ini contoh kecil bagaimana kemudian dari mulut ke mulut, dari setiap obrolan dan perjumpaan hangat berlanjut ke jaringan yang lebih kuat. Jejaring itu penting dalam pekerjaan. Sangaaat penting.
Terlalu panjang jika saya harus menuliskan berbagai berkah karena jejaring itu di dua tahun terakhir saja. Saya tahu Tuhan dan alam semesta mengijinkan saya untuk berada di sekeliling jaringan hebat itu. Dan rasanya seperti baru kemarin saya mengalami salah satu peristiwa yang membuat saya merasa paling beruntung. Saya mengirim lamaran untuk seleksi ELTA, sebuah training bahasa Inggris dari pemerintah Australia khusus untuk NTT dan 4 area target lainnya yang ingin melamar beasiswa AAS. Ketika saya sedang mengikuti sebuah festival sastra di Banten, undangan untuk tes dan wawancara masuk ke email saya. Saat itu berpikir, ah sudahlah, mungkin belum beruntung. Tapi hati kecil saya menyuruh saya untuk mengirim email ke panitia untuk menyampaikan masalah saya dan apa ada solusinya (misalnya tes dan wawancara susulan). Ternyata harapan saya dikabulkan. Saya jadi aneh sendiri. Serius ini? akhirnya saya mengikuti seleksi sebagai peserta terakhir. Untuk wawancara pun harus saya lalui di hotel tempat tim pewawancara menginap. Ketika datang wawancara saya memang tanpa persiapan. Saya hanya datang dengan apa adanya saya; sejuta mimpi, pengalaman bekerja sebagai guru BK dan berorganisasi/berkomunitas, kisah-kisah jejaring di atas dan tentu saja buku cerpen saya Kanuku Leon yang sengaja saya sisip di dalam tas. Singkatnya wawancara berlanjut dengan obrolan santai di tepi kolam renang hotel On The Rock. Si Pewawancara bahkan bertanya banyak tentang isi buku saya ketimbang yang lain. Atau barangkali begitu adanya cara mereka mewawancara. Membawa saya kepada zona paling nyaman untuk mengeksplorasikan diri sekomplit-komplitnya (meski dengan bahasa Inggris terbata). Hahaha.
Tapi saya percaya kekuatan doa dan energi positif bukan saja dari pikiran namun dari sekeliling saya. Saya lalu belajar bahasa Inggris di Undana Language Center bersama 30 partisipan ELTA angkatan 4 selama 3 bulan penuh. Satu sulur ‘jejaring’ bertambah di sini. Syukurlah saya mendapat hasil yang baik yang memungkinkan saya untuk melamar ke Australia Awards Scholarship. Masih ada satu langkah pamungkas yang harus saya lalui. Doakan saya ya.
Barangkali saya terlalu melow menulis ini, apalagi menjelang ulang tahun saya yang ke.... oh my God! Saya sudah tuaaa! 22 Desember sebentar lagi. Saya ingat dulu ketika kuliah di Jogja, kakak lelaki saya yang kala itu sedang studi filsafat kitabsuci di Roma mengirim email kepada saya. Katanya, “masing-masing kita sudah diberi talenta. Ada yang satu, dua, ada yang lebih banyak. Lu mungkin mendapat lebih banyak talenta dibanding saudara yang lain, tapi ingat bahwa setiap talenta yang Tuhan beri akan ditagih kemudian; Sudah lu apakah dengan telenta-talenda itu? Bergunakah bukan saja bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain?”
Hingga saat ini, kutipan ini masih menjadi pengingat bagi saya. Yang diberi banyak, akan dituntut yang lebih banyak pula. Seolah mengingatkan kita untuk tidak egois. Apakah saya egois?
Saya bukan manusia yang paling religius. Saya juga manusia biasa yang masih muda untuk jatuh. Tapi rasanya aneh jika saya tidak mengakui sebuah kekuatan spiritual yang ada di sekeliling saya. Sejak kecil saya melihat bapak saya adalah pendoa sejati. Ia bahkan sering berdoa di pojok kamar yang gelap. Saya tahu ia mendoakan keluarganya. Istri dan ketujuh anak-anaknya. Ia bahkan sudah mengajarkan anak-anaknya berdoa tanpa banyak berkata, “anak-anak ayo berdoa. Ayo begini, ayo begitu.”
Saya percaya kekuatan doa, kekuatan spiritual yang bisa kita pelihara apinya di dalam diri kita masing-masing. Sejak lama saya menaruh devosi yang amat besar bagi Bunda Maria. Ah kadang saya agak malu juga apakah hal berdoa seperti ini harus dipamerkan ke blog atau facebook? Tapi rasanya saya harus menyampaikan kesaksian tentang kekuatan doa itu. 


***

Saya lahir dari keluarga berbeda agama. Bapak saya katolik tulen dan mama saya protestan garis keras. Tapi apa lantas hidup perkawinan mereka kacau? Saya punya saudara 6 orang. Dua kakak perempuan saya mengikuti mama yang protestan. Selebihnya, 4 orang lelaki dan seorang perempuan mengikuti bapak. Saya tak tahu persis tapi rasanya juga tak ada perjanjian nikah bermeterai bahwa bapak saya harus begini, mama saya harus begitu, anaknya nanti begini dan begitu. Saya harus bilang bahwa saya bangga, amat sangat bangga pada relasi kedua orang tua saya. 46 tahun menikah tentu bukan sesuatu jalan yang gampang. Pasti ada onak durinya, dan mereka berdua adalah pasangan yang saya kagumi.
Dan seumur hidup saya tidak pernah melihat adanya batasan yang dilontarkan orang tua saya terkait agama. Mama saya ada dalam garda depan ibu-ibu yang memasak ketika Uskup berkunjung, ketika pesta besar misalnya sedang dirayakan di paroki kami. Dan bapak saya dengan senang hati masuk dalam tim pembangunan gedung gereja protestan di kampung saya. Mama akan sibuk menyiapkan teh dan kudapan untuk anggota kelompok doa rosario di rumah, dan bapak akan duduk bersama tetangga yang sedang ibadah rayon/lingkungan yang biasanya di sebut ‘kumpulan’. Ketika ada pesta di rumah, maka doa syukur dan doa makan bisa jadi adalah saling ganti yang akan dibawakan antara pastor dan pendeta. Pada malam tahun baru, biasanya kakak perempuan saya yang protestan akan memimpin ibadah dan kakak lelaki saya yang pastor akan membawakan kotbah.
Rumah kami ‘diapit’ dua gereja. Gereja katolik di sebelah bawah dan gereja protestan di sebelah atas. Dan ketika ada cucunya yang permandian entah di gereja bawah atau atas, kami sekeluarga wajib mengadiri misa/ibadah. Saya pun bangga ketika bapak menjadi salah satu inisiator perayaan oekumene paling akbar dalam sejarah gereja katolik dan protestan di mollo, tahun 2000 lalu. Pendeta memberikan kotbah di paroki dan romo memberikan kotbah mingguan di gereja ebenhaezer. Dan umat bahu membahu menyelenggarakan jalan salib juga pawai obor. Itu luar biasa.
Tapi saya sedih jika melihat ada semacam jarak, rasa sungkan, prasangka, dll antara gereja katolik dan protestan di tempat lain (di Mollo semuanya baik adanya). Sedih melihat ada kawan yang katolik dan anti protestan, atau sebaliknya yang teman protestan ketika diajak berkegiatan di tempat yang lekat dengan kekatolikan akan selalu menolak. Entah kenapa.
Sudah hampir 28 tahun (ups ketahuan deh umurnya) saya berada di dua lingkungan gereja ini. menghafal semua lagu di dalam madah bakti sama dengan menghafal semua lagu di kidung jemaat.
Kadang saya berpikir, barangkali prasangka buruk itu hidup karena kita belum membuka diri. Apapun sejarah kelamnya katolik sama protestan, apapun perbedaan teologinya, ketika Yesus mengajarkan kasih dan kita melakukannya, apalah agama itu selain sarana semata.
Kemanapun saya pergi saya selalu bangga mengabarkan kisah hidup ini. sepenggal saja semoga bermanfaat. Bahwa Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk membuat kita berperang dan saling meremehkan. Cateet! J

19 Desember 2014

1 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...