catatan jelang ulang tahun
Barangkali ini satu titik balik
yang penting dalam perjalanan hidup saya. Belakangan saya sempat terpuruk
karena masalah hati tapi sudahlah nyatanya saya punya banyak kesempatan untuk
berbuat banyak kegiatan yang pada akhirnya berhasil menyelamatkan saya dari
keterpurukan itu. Saya bahkan harus berhenti untuk menyalahkan diri sendiri dan
orang lain dan mulai menata hidup saya. Setiap kejadian punya makna. Sulit dan
mudah sekali pun.
Sampai pada titik ini, saya makin
merasa bahwa Sang Penyelenggara hidup benar ada untuk saya. Setahun ini kalau
boleh menoleh kembali saya mendapat banyak berkah. Saya ingat bahwa pada waktu
seperti sekarang ini saya mendapat pengalaman yang bertubi-tubi indahnya. Dalam
pergaulan saya mendapat banyak simpul jaringan yang menghantar saya menemui
lebih banyak orang hebat dan berkesempatan bertukar pikiran dengan mereka.
Syukurlah bahwa saya diberi kesempatan untuk hadir dan berbicara dalam beberapa
festival berskala internasional. Seperti mimpi. Tahun 2013 saya ke festival
blogger tingkat ASEAN di Solo ketemu banyak orang, kemudian saya dihantar
menuju Makassar International Writers Festival. Di Makassar saya bertemu lebih
banyak lagi orang hebat yang kemudian memberi kesempatan-kesempatan emas
kemudian. Mereka yang sama mampu menghadirkan saya ke Asean Literary Festival
pertama di Jakarta dan terakhir saya bisa menginjakkan kaki saya ke tanah
Kendari untuk ikut festival taman bacaan masyarakat. Ini contoh kecil bagaimana
kemudian dari mulut ke mulut, dari setiap obrolan dan perjumpaan hangat berlanjut
ke jaringan yang lebih kuat. Jejaring itu penting dalam pekerjaan. Sangaaat
penting.
Terlalu panjang jika saya harus
menuliskan berbagai berkah karena jejaring itu di dua tahun terakhir saja. Saya
tahu Tuhan dan alam semesta mengijinkan saya untuk berada di sekeliling
jaringan hebat itu. Dan rasanya seperti baru kemarin saya mengalami salah satu
peristiwa yang membuat saya merasa paling beruntung. Saya mengirim lamaran
untuk seleksi ELTA, sebuah training bahasa Inggris dari pemerintah Australia khusus
untuk NTT dan 4 area target lainnya yang ingin melamar beasiswa AAS. Ketika
saya sedang mengikuti sebuah festival sastra di Banten, undangan untuk tes dan
wawancara masuk ke email saya. Saat itu berpikir, ah sudahlah, mungkin belum
beruntung. Tapi hati kecil saya menyuruh saya untuk mengirim email ke panitia
untuk menyampaikan masalah saya dan apa ada solusinya (misalnya tes dan
wawancara susulan). Ternyata harapan saya dikabulkan. Saya jadi aneh sendiri.
Serius ini? akhirnya saya mengikuti seleksi sebagai peserta terakhir. Untuk
wawancara pun harus saya lalui di hotel tempat tim pewawancara menginap. Ketika
datang wawancara saya memang tanpa persiapan. Saya hanya datang dengan apa
adanya saya; sejuta mimpi, pengalaman bekerja sebagai guru BK dan berorganisasi/berkomunitas,
kisah-kisah jejaring di atas dan tentu saja buku cerpen saya Kanuku Leon yang
sengaja saya sisip di dalam tas. Singkatnya wawancara berlanjut dengan obrolan
santai di tepi kolam renang hotel On The Rock. Si Pewawancara bahkan bertanya
banyak tentang isi buku saya ketimbang yang lain. Atau barangkali begitu adanya
cara mereka mewawancara. Membawa saya kepada zona paling nyaman untuk
mengeksplorasikan diri sekomplit-komplitnya (meski dengan bahasa Inggris
terbata). Hahaha.
Tapi saya percaya kekuatan doa
dan energi positif bukan saja dari pikiran namun dari sekeliling saya. Saya
lalu belajar bahasa Inggris di Undana Language Center bersama 30 partisipan
ELTA angkatan 4 selama 3 bulan penuh. Satu sulur ‘jejaring’ bertambah di sini.
Syukurlah saya mendapat hasil yang baik yang memungkinkan saya untuk melamar ke
Australia Awards Scholarship. Masih ada satu langkah pamungkas yang harus saya
lalui. Doakan saya ya.
Barangkali saya terlalu melow
menulis ini, apalagi menjelang ulang tahun saya yang ke.... oh my God! Saya
sudah tuaaa! 22 Desember sebentar lagi. Saya ingat dulu ketika kuliah di Jogja,
kakak lelaki saya yang kala itu sedang studi filsafat kitabsuci di Roma
mengirim email kepada saya. Katanya, “masing-masing
kita sudah diberi talenta. Ada yang satu, dua, ada yang lebih banyak. Lu
mungkin mendapat lebih banyak talenta dibanding saudara yang lain, tapi ingat
bahwa setiap talenta yang Tuhan beri akan ditagih kemudian; Sudah lu apakah
dengan telenta-talenda itu? Bergunakah bukan saja bagi diri sendiri namun juga
bagi orang lain?”
Hingga saat ini, kutipan ini
masih menjadi pengingat bagi saya. Yang diberi banyak, akan dituntut yang lebih
banyak pula. Seolah mengingatkan kita untuk tidak egois. Apakah saya egois?
Saya bukan manusia yang paling
religius. Saya juga manusia biasa yang masih muda untuk jatuh. Tapi rasanya
aneh jika saya tidak mengakui sebuah kekuatan spiritual yang ada di sekeliling
saya. Sejak kecil saya melihat bapak saya adalah pendoa sejati. Ia bahkan
sering berdoa di pojok kamar yang gelap. Saya tahu ia mendoakan keluarganya.
Istri dan ketujuh anak-anaknya. Ia bahkan sudah mengajarkan anak-anaknya berdoa
tanpa banyak berkata, “anak-anak ayo berdoa. Ayo begini, ayo begitu.”
Saya percaya kekuatan doa,
kekuatan spiritual yang bisa kita pelihara apinya di dalam diri kita
masing-masing. Sejak lama saya menaruh devosi yang amat besar bagi Bunda Maria.
Ah kadang saya agak malu juga apakah hal berdoa seperti ini harus dipamerkan ke
blog atau facebook? Tapi rasanya saya harus menyampaikan kesaksian tentang
kekuatan doa itu.
***
Saya lahir dari keluarga berbeda
agama. Bapak saya katolik tulen dan mama saya protestan garis keras. Tapi apa
lantas hidup perkawinan mereka kacau? Saya punya saudara 6 orang. Dua kakak
perempuan saya mengikuti mama yang protestan. Selebihnya, 4 orang lelaki dan
seorang perempuan mengikuti bapak. Saya tak tahu persis tapi rasanya juga tak
ada perjanjian nikah bermeterai bahwa bapak saya harus begini, mama saya harus
begitu, anaknya nanti begini dan begitu. Saya harus bilang bahwa saya bangga,
amat sangat bangga pada relasi kedua orang tua saya. 46 tahun menikah tentu
bukan sesuatu jalan yang gampang. Pasti ada onak durinya, dan mereka berdua
adalah pasangan yang saya kagumi.
Dan seumur hidup saya tidak
pernah melihat adanya batasan yang dilontarkan orang tua saya terkait agama.
Mama saya ada dalam garda depan ibu-ibu yang memasak ketika Uskup berkunjung,
ketika pesta besar misalnya sedang dirayakan di paroki kami. Dan bapak saya
dengan senang hati masuk dalam tim pembangunan gedung gereja protestan di
kampung saya. Mama akan sibuk menyiapkan teh dan kudapan untuk anggota kelompok
doa rosario di rumah, dan bapak akan duduk bersama tetangga yang sedang ibadah
rayon/lingkungan yang biasanya di sebut ‘kumpulan’. Ketika ada pesta di rumah,
maka doa syukur dan doa makan bisa jadi adalah saling ganti yang akan dibawakan
antara pastor dan pendeta. Pada malam tahun baru, biasanya kakak perempuan saya
yang protestan akan memimpin ibadah dan kakak lelaki saya yang pastor akan
membawakan kotbah.
Rumah kami ‘diapit’ dua gereja.
Gereja katolik di sebelah bawah dan gereja protestan di sebelah atas. Dan
ketika ada cucunya yang permandian entah di gereja bawah atau atas, kami
sekeluarga wajib mengadiri misa/ibadah. Saya pun bangga ketika bapak menjadi
salah satu inisiator perayaan oekumene paling akbar dalam sejarah gereja
katolik dan protestan di mollo, tahun 2000 lalu. Pendeta memberikan kotbah di
paroki dan romo memberikan kotbah mingguan di gereja ebenhaezer. Dan umat bahu
membahu menyelenggarakan jalan salib juga pawai obor. Itu luar biasa.
Tapi saya sedih jika melihat ada
semacam jarak, rasa sungkan, prasangka, dll antara gereja katolik dan protestan
di tempat lain (di Mollo semuanya baik adanya). Sedih melihat ada kawan yang
katolik dan anti protestan, atau sebaliknya yang teman protestan ketika diajak
berkegiatan di tempat yang lekat dengan kekatolikan akan selalu menolak. Entah
kenapa.
Sudah hampir 28 tahun (ups
ketahuan deh umurnya) saya berada di dua lingkungan gereja ini. menghafal semua
lagu di dalam madah bakti sama dengan menghafal semua lagu di kidung jemaat.
Kadang saya berpikir, barangkali
prasangka buruk itu hidup karena kita belum membuka diri. Apapun sejarah
kelamnya katolik sama protestan, apapun perbedaan teologinya, ketika Yesus
mengajarkan kasih dan kita melakukannya, apalah agama itu selain sarana semata.
Kemanapun saya pergi saya selalu
bangga mengabarkan kisah hidup ini. sepenggal saja semoga bermanfaat. Bahwa
Tuhan menciptakan perbedaan bukan untuk membuat kita berperang dan saling
meremehkan. Cateet! J
19
Desember 2014
Nice sharing, kakak :D
BalasHapus