Christian Senda
Jika
kesaktian yang dimaksud suara tuhan itu
ada pada
keturunan berjenis kelamin laki-laki,
maka
izinkan aku tidur dengan anak perempuan kita, hai istriku.
Sebab
besok aku akan mati, sebagai Pah Tuaf sakti.
***
Dengan
tubuh telanjang ia panjati loteng rumah ilalangnya, melalui sebatang kayu jati
putih yang usianya lebih tua darinya. Tubuh kayu itu berlubang di setiap dua
jengkal jarak, membentuk anak-anak tangga yang diletakkan 30 derajat menembus
mulut loteng. Pria itu nampak kian layu di usia senjanya, memegang sebotol sopi di tangan kirinya. Sementara tangan
kanannya ia pakai untuk memegang pancakan tiang penyangga. Semenit kemudian
tubuh telanjangnya telah lenyap ke dalam mulut loteng. Terdengar bunyi pijakan
kakinya di loteng berlantai papan-papan kayu mahoni.
Asap
dari tungku di tengah rumah masih memenuhi isi ruangan. Dalam rumah itu, bara
api terus menyala 24 jam jika penghuni rumah tak bepergian. Asap memang sengaja
dibiarkan terkungkung di dalam untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengeringkan
jagung yang tergantung rapi di atas tungku. Rumah ini berbentuk lingkaran,
beratap rumbai-rumbai dari hun
menyentuh tanah dan memiliki sebuah loteng kecil untuk menyimpan benda-benda
pusaka keluarga. Tak ada petak kamar di ruangan lantai dasar. Semua menyatu;
dapur, tempat tidur, keranjang ayam, benda-benda pusaka hingga lumbung makanan.
Ada satu jendela kecil dan satu pintu kecil berukuran 120 x 100 cm. Terlalu
kecil untuk ukuran sebuah pintu maka siapapun yang masuk, harus menunduk ekstra
jika tak ingin kepalanya benjol.
sumber: http://galleryhip.com/old-man-sketch.html |
Di
tengah ruangan terpancak sebuah tiang ni
enaf―tiang perempuan yang dibawah kakinya tersusun ni baki, batu suci tempat ritual pemujaan dilakukan. Di tengah
tiang perempuan terpasang sebuah ukiran kayu berbentuk bulat sebesar tameng
prajurit perang, bertuliskan nama fam pemilik rumah. Dan persis di atasnya,
sebuah topeng dari kulit kayu menampakkan kengeriannya sendiri: sebuah mimpi
buruk bagi siapapun yang pernah mendengar kisah tentang wajah manusia
gunung―Melus hingga Kenurawan―penghuni pegunungan Mollo sebelum para pangeran
dari timur datang menguasai hutan dan air mereka.
Terdengar
suara setengah berbicara, setengah bernyanyi dari atas loteng. Pria itu sedang
meracau mantra-mantra dalam bahasa adat yang terlalu halus. Terkadang ucapannya
seperti suara binatang tak bisa dimengerti siapapun, bahkan oleh istri dan
anak-anaknya. Diam-diam ia berubah menjadi manusia pohon, manusia gua, yang
adalah dongeng masa kecilnya. Dongeng yang ia kenang sebenarnya adalah mantra
yang memerdekakan tubuh dari batasan ruang dan waktu.
“Nenek
moyangku seperti kera bergelantungan di hutan mencari buah dan madu. Ketika
malam tiba, mereka kembali ke mulut gua dan mulai memancing api dengan jamur
pohon ampupu yang telah kering.”
Di
luar rumah semua anggota keluarga puasa bicara. Aktivitas dilakukan seperti
biasanya hanya saja pikiran mereka agak tersedot kepada peristiwa yang sedang
terjadi di dalam rumah. Asap tipis menari lembut menembus sela tumpukan
ilalang. Sepasang merpati tercenung di puncak rumah. Gerimis baru saja pergi
meninggalkan seribu pertanyaan di udara setelah burung-burung di pekarangan
berhasil menggagalkan hujan dengan suara murung mereka. Prosesi adat memang
biasa terjadi di rumah itu. Namun selalu ada kejutan informasi setelahnya.
Sejam
kemudian tak terdengar lagi suara dari atas sana. Apa kabar lelaki tua itu?
Apakah ia telah mabuk berat dan tertidur atau kah sadarnya telah pergi menembus
lorong waktu yang lain? Entahlah.
Sekonyong-konyong
terdengar suara panggilan dari dalam rumah. Lelaki itu menyebut nama istrinya
beberapa kali dengan sangat lantang. Aroma kemarahan mendadak terhempas keluar
ketika pintu rumah dibuka oleh sang istri.
Lelaki
itu telah berpakaian sebagaimana biasanya dan duduk di kursi berukiran ular
yang maha haram. Terlalu banyak larangan di dalam rumah. Memanjat loteng,
memegang tongkat dan duduk di singgasananya adalah yang paling maha haram tadi.
Bagi yang melanggar akan jadi bodoh dan gila. Selimut tenunan bergaris pelangi
dengan warna dominasi kuning menutup setengah tubuhnya. Tiga utas kalung mutisalak1 berwarna oranye
tua nampak mencolok di leher hingga dadanya yang telanjang. Nafasnya yang
memburu sedikit menggerakkan mata kalung perak sebesar dua kali koin seribu
rupiah betuliskan nama kakek buyutnya. Ditatapnya sekujur tubuh istrinya dengan
amat tajam dan langsung membuat istrinya itu jatuh tersungkur dan mencium
tanah. Perempuan tua mungkin mengira bahwa dihadapanya itu bukan lagi sang
suami, namun tuhan sekaligus setan. Uis
Nitu yang mutlak ia sembah.
“Ada yang hendak mempermainkan
aku... kau tahu? Ada!” Lelaki itu berujar dengan gelegar amarah. Tiba-tiba saja
mulutnya kelu dan irama nafas kacau. Ia seperti menyadari itu dalam serangan
sebuah panik yang muncul tiba-tiba.
“Ka-ka-kali-an... ke-pa-paraat!
Pem-pembu...” suaranya sempoyongan bagai tercuri, gerak tubuhnya pun demikian.
Matanya mendelik tajam, seolah telah terpaku hingga kelopak tak lagi bisa
mengatup. Udara di dalam ruangan seperti berhenti. Segala yang bergerak
mendadak mematung.
Tik-tik-tik-tik.
Tiba-tiba perempuan itu bangkit dan berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa
sebelumnya. Ia melempar senyum ke arah sang suami yang duduk terpaku lalu
menuju tungku, menumpuk kayu kering dan meniup bongkahan arang agar kembali
bernyala. Debu tungku beterbangan dalam diam. Perempuan tua itu menaruh air dan
bose―jagung kering tumbuk yang telah terkelupas kulit arinya―ke dalam periuk
lalu menggantungnya di atas tungku.
Perempuan tua kemudian memanggil
anak perempuan dan menantunya untuk masuk. Ia memberi isyarat kepada mereka
untuk membantunya menggendong tubuh lelaki tua itu ke atas pembaringan. Lelaki
itu ingin meronta namun ia tak lagi memiliki daya atas tubuhnya. Hanyalah bola
mata yang terus berputar menyiratkan kemarahan prematur. Selanjutnya, masuklah
anak perempuan satunya lagi bersama suami dan tiga orang cucu (kerap dianggap
lelaki tua sebagai tiga burung tekukur). Ketiga cucu langsung berebutan untuk
duduk di atas singgasana kakek mereka. Tak ada yang melarang. Tak ada seekor
burung tekukur pun kemudian menjadi bodoh atau gila. Segala yang terjadi kini
hanyalah kenormalan para manusia beraktivitas sebagaimana umumnya terjadi.
Haram itu seperti sudah minggat beberapa saat lalu dari rumah itu. Apakah
memang sebenarnya apapun kejadian di rumah tersebut normal adanya? Apakah ilusi
telah sukses dipelihara ratusan tahun lamanya di rumah itu?
Seorang menantu tertua tiba-tiba
saja menyambar tongkat kebesaran lelaki tua dan berlalu begitu saja keluar
rumah. Tak ada hujan apalagi petir yang akan menyambar tubuh sang menantu.
Lelaki tua menangis namun tak kuasa meronta. Dalam hatinya, ia ingin menebas
mereka semua dengan kelewang panjangnya. Ia menangis hingga tertidur pulas dan
bangkit lagi sembari merasa bahwa telinganya telah tuli.
Seminggu kemudian, datanglah
segerombolan manusia asing mengeluarkan semua benda pusaka dari dalam rumah.
Ukiran kayu, kelewang, gong, tambur, berbagai macam kalung mutisalak, tembikar dan patung-patung, semuanya dibenamkan ke dalam
lubang api. Tak ada sesal di wajah mereka yang melakukannya. Rumah tua itu pun
langsung dibakar, diiringi doa dan kotbah panjang dari pria tua berjubah
hitam-putih tentang perbuatan musyrik yang perlu ditinggalkan. Tak ada
tangisan. Sekali lagi tak ada sambaran petir, hujan badai atau gagal panen
setelahnya. Lelaki tua itu pun gila. Lunglai dan melihat kematiannya sendiri
digenggam Sautaf.2
***
Burung
gagak yang berteriak seperti sedang kelaparan segera membangunkan sesosok
lelaki tua telanjang dan lunglai. Aroma alkohol dari sopi menguar ketika disambar angin sepoi. Dua botol sopi telah
tandas dan berserakan beserta tulang-tulang ayam di dekat batu altar. Ia baru
ingat, 9 jam sebelumnya, ia datang ke tempat keramat itu untuk minum bersama
arwah leluhur. Sebuah penghormatan untuk orang mati dan untuk tuhan. Namun
kisah terselip gelisah keburu menyerang sadarnya.
Ia
bergegas pulang dan mendapati istri dan kedua anak perempuan berlaku seperti
biasa. Mereka masih setia bekerja dan melayaninya, termasuk memelihara setumpuk
pantangan atas namanya. Kini gelisahnya telah menjelma curiga. Curiga pada
seisi rumah, pada istri dan anak menantunya. Sesungguhnya ia sedang dilanda
ketakutan jikalau ia tak lagi sakti. Ia merenung dan menunggu bisikan angin
yang seperti biasanya hinggap ke gendang telinganya. Uis Anin3 yang kerap memberinya informasi tentang masa
depan.
Selalu
saja, misalkan jika akan ada tamu, Uis
Anin akan membisikan kabar itu sebelumnya. Namun bisikan itu berbeda kali
ini. Ia diingatkan jika kini usianya mendekati 85 tahun, waktu terakhir jelang
kematian. Akan ada yang menjemput dirinya, kira-kira begitu bunyinya. Ia takut,
ia menangis. Ada yang lupa ia jalankan selama ini, mendapatkan darah daging
berjenis kelamin laki-laki sebagai satu-satunya jalan untuk meneruskan
kesaktiannya. Ia mengira bisa hidup lebih lama seperti ayahnya dulu yang mati
berusia 125 tahun lebih. Ia menyesal karena tidak memelihara gundik untuk
mendapatkan anak laki-laki. Meski sebenarnya ada sebab lain, ia dihadang oleh
banyak kerabat untuk menikah lagi. Sebagai pemeluk Kristen (meski tergolong
Kristen KTP), siapa pun memang tak boleh memiliki banyak istri. Mungkinkah
alasan ini yang telah membuatnya tidak sakti lagi?
Ketika
malam menjelang, datanglah bisikan baru untuknya.
“Bersetubuhlah
dengan anak perempuanmu, supaya ia mengandung anak kekasih kita laki-laki agar
kembali sempurna kesaktian di dalam rumah ini untuk selama-lamanya. Sebab suami
dari anak perempuanmu telah kubujuk untuk pergi berburu ke gunung.”
Lelaki
itu bangun dari pembaringan, membisikan sesuatu pada isterinya lalu bergegas
keluar rumah, menuju rumah bulat sejenis di seberang. Rumah anak perempuan
sulung terkasihnya. Bulan telah meninggi. Udara dingin, nafas berkejaran berganti
udara hangat (setelah birahi kelakiannya memuncak) dan sperma terakhir yang
tumpah adalah sketsa yang ia gambar di dinding semesta. Tak ada kehormatan yang
ia rampas. Ada takzim yang perempuan itu sembahkan. Ada lenguhan memuncak
hingga ke puncak Mutis, memerah dalam kobaran api yang menghangatkan. Merah
dalam perayaan untuk mendapat persetujuan arwah nenek moyang.
Perempuan
tua tiba-tiba mendorong pintu dan mendapati Pah Tuaf terkasih telah mati
sehabis mencucup puting susu anak perempuan mereka. Natiabonen4, bisiknya.
Liliba, 2014
Keterangan
1mutisalak: kalung dari
beberapa jenis bebatuan
2penguasa kematian dalam
kepercayaan Suku Dawan
3penguasa angin
4selesai sudah (bahasa
Dawan)
Tentang Penulis:
Christian Senda, lahir di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan.
Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang.
Cerpen ini telah dimuat di Koran Bali Post, 14 Desember 2014
Menarik :D
BalasHapus