Jumat, 19 Desember 2014

Hari Terakhir Pah Tuaf



Christian Senda


Jika kesaktian yang dimaksud suara tuhan itu
ada pada keturunan berjenis kelamin laki-laki,
maka izinkan aku tidur dengan anak perempuan kita, hai istriku.
Sebab besok aku akan mati, sebagai Pah Tuaf sakti.

***
Dengan tubuh telanjang ia panjati loteng rumah ilalangnya, melalui sebatang kayu jati putih yang usianya lebih tua darinya. Tubuh kayu itu berlubang di setiap dua jengkal jarak, membentuk anak-anak tangga yang diletakkan 30 derajat menembus mulut loteng. Pria itu nampak kian layu di usia senjanya, memegang sebotol sopi di tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia pakai untuk memegang pancakan tiang penyangga. Semenit kemudian tubuh telanjangnya telah lenyap ke dalam mulut loteng. Terdengar bunyi pijakan kakinya di loteng berlantai papan-papan kayu mahoni.
Asap dari tungku di tengah rumah masih memenuhi isi ruangan. Dalam rumah itu, bara api terus menyala 24 jam jika penghuni rumah tak bepergian. Asap memang sengaja dibiarkan terkungkung di dalam untuk menghangatkan tubuh sekaligus mengeringkan jagung yang tergantung rapi di atas tungku. Rumah ini berbentuk lingkaran, beratap rumbai-rumbai dari hun menyentuh tanah dan memiliki sebuah loteng kecil untuk menyimpan benda-benda pusaka keluarga. Tak ada petak kamar di ruangan lantai dasar. Semua menyatu; dapur, tempat tidur, keranjang ayam, benda-benda pusaka hingga lumbung makanan. Ada satu jendela kecil dan satu pintu kecil berukuran 120 x 100 cm. Terlalu kecil untuk ukuran sebuah pintu maka siapapun yang masuk, harus menunduk ekstra jika tak ingin kepalanya benjol.
sumber: http://galleryhip.com/old-man-sketch.html
Di tengah ruangan terpancak sebuah tiang ni enaf―tiang perempuan yang dibawah kakinya tersusun ni baki, batu suci tempat ritual pemujaan dilakukan. Di tengah tiang perempuan terpasang sebuah ukiran kayu berbentuk bulat sebesar tameng prajurit perang, bertuliskan nama fam pemilik rumah. Dan persis di atasnya, sebuah topeng dari kulit kayu menampakkan kengeriannya sendiri: sebuah mimpi buruk bagi siapapun yang pernah mendengar kisah tentang wajah manusia gunung―Melus hingga Kenurawan―penghuni pegunungan Mollo sebelum para pangeran dari timur datang menguasai hutan dan air mereka.
Terdengar suara setengah berbicara, setengah bernyanyi dari atas loteng. Pria itu sedang meracau mantra-mantra dalam bahasa adat yang terlalu halus. Terkadang ucapannya seperti suara binatang tak bisa dimengerti siapapun, bahkan oleh istri dan anak-anaknya. Diam-diam ia berubah menjadi manusia pohon, manusia gua, yang adalah dongeng masa kecilnya. Dongeng yang ia kenang sebenarnya adalah mantra yang memerdekakan tubuh dari batasan ruang dan waktu.
“Nenek moyangku seperti kera bergelantungan di hutan mencari buah dan madu. Ketika malam tiba, mereka kembali ke mulut gua dan mulai memancing api dengan jamur pohon ampupu yang telah kering.”
Di luar rumah semua anggota keluarga puasa bicara. Aktivitas dilakukan seperti biasanya hanya saja pikiran mereka agak tersedot kepada peristiwa yang sedang terjadi di dalam rumah. Asap tipis menari lembut menembus sela tumpukan ilalang. Sepasang merpati tercenung di puncak rumah. Gerimis baru saja pergi meninggalkan seribu pertanyaan di udara setelah burung-burung di pekarangan berhasil menggagalkan hujan dengan suara murung mereka. Prosesi adat memang biasa terjadi di rumah itu. Namun selalu ada kejutan informasi setelahnya.
Sejam kemudian tak terdengar lagi suara dari atas sana. Apa kabar lelaki tua itu? Apakah ia telah mabuk berat dan tertidur atau kah sadarnya telah pergi menembus lorong waktu yang lain? Entahlah.
Sekonyong-konyong terdengar suara panggilan dari dalam rumah. Lelaki itu menyebut nama istrinya beberapa kali dengan sangat lantang. Aroma kemarahan mendadak terhempas keluar ketika pintu rumah dibuka oleh sang istri.
Lelaki itu telah berpakaian sebagaimana biasanya dan duduk di kursi berukiran ular yang maha haram. Terlalu banyak larangan di dalam rumah. Memanjat loteng, memegang tongkat dan duduk di singgasananya adalah yang paling maha haram tadi. Bagi yang melanggar akan jadi bodoh dan gila. Selimut tenunan bergaris pelangi dengan warna dominasi kuning menutup setengah tubuhnya. Tiga utas kalung mutisalak1 berwarna oranye tua nampak mencolok di leher hingga dadanya yang telanjang. Nafasnya yang memburu sedikit menggerakkan mata kalung perak sebesar dua kali koin seribu rupiah betuliskan nama kakek buyutnya. Ditatapnya sekujur tubuh istrinya dengan amat tajam dan langsung membuat istrinya itu jatuh tersungkur dan mencium tanah. Perempuan tua mungkin mengira bahwa dihadapanya itu bukan lagi sang suami, namun tuhan sekaligus setan. Uis Nitu yang mutlak ia sembah.
            “Ada yang hendak mempermainkan aku... kau tahu? Ada!” Lelaki itu berujar dengan gelegar amarah. Tiba-tiba saja mulutnya kelu dan irama nafas kacau. Ia seperti menyadari itu dalam serangan sebuah panik yang muncul tiba-tiba.
            “Ka-ka-kali-an... ke-pa-paraat! Pem-pembu...” suaranya sempoyongan bagai tercuri, gerak tubuhnya pun demikian. Matanya mendelik tajam, seolah telah terpaku hingga kelopak tak lagi bisa mengatup. Udara di dalam ruangan seperti berhenti. Segala yang bergerak mendadak mematung.
Tik-tik-tik-tik. Tiba-tiba perempuan itu bangkit dan berperilaku seperti tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Ia melempar senyum ke arah sang suami yang duduk terpaku lalu menuju tungku, menumpuk kayu kering dan meniup bongkahan arang agar kembali bernyala. Debu tungku beterbangan dalam diam. Perempuan tua itu menaruh air dan bose―jagung kering tumbuk yang telah terkelupas kulit arinya―ke dalam periuk lalu menggantungnya di atas tungku.
            Perempuan tua kemudian memanggil anak perempuan dan menantunya untuk masuk. Ia memberi isyarat kepada mereka untuk membantunya menggendong tubuh lelaki tua itu ke atas pembaringan. Lelaki itu ingin meronta namun ia tak lagi memiliki daya atas tubuhnya. Hanyalah bola mata yang terus berputar menyiratkan kemarahan prematur. Selanjutnya, masuklah anak perempuan satunya lagi bersama suami dan tiga orang cucu (kerap dianggap lelaki tua sebagai tiga burung tekukur). Ketiga cucu langsung berebutan untuk duduk di atas singgasana kakek mereka. Tak ada yang melarang. Tak ada seekor burung tekukur pun kemudian menjadi bodoh atau gila. Segala yang terjadi kini hanyalah kenormalan para manusia beraktivitas sebagaimana umumnya terjadi. Haram itu seperti sudah minggat beberapa saat lalu dari rumah itu. Apakah memang sebenarnya apapun kejadian di rumah tersebut normal adanya? Apakah ilusi telah sukses dipelihara ratusan tahun lamanya di rumah itu?
            Seorang menantu tertua tiba-tiba saja menyambar tongkat kebesaran lelaki tua dan berlalu begitu saja keluar rumah. Tak ada hujan apalagi petir yang akan menyambar tubuh sang menantu. Lelaki tua menangis namun tak kuasa meronta. Dalam hatinya, ia ingin menebas mereka semua dengan kelewang panjangnya. Ia menangis hingga tertidur pulas dan bangkit lagi sembari merasa bahwa telinganya telah tuli.
            Seminggu kemudian, datanglah segerombolan manusia asing mengeluarkan semua benda pusaka dari dalam rumah. Ukiran kayu, kelewang, gong, tambur, berbagai macam kalung mutisalak, tembikar dan patung-patung, semuanya dibenamkan ke dalam lubang api. Tak ada sesal di wajah mereka yang melakukannya. Rumah tua itu pun langsung dibakar, diiringi doa dan kotbah panjang dari pria tua berjubah hitam-putih tentang perbuatan musyrik yang perlu ditinggalkan. Tak ada tangisan. Sekali lagi tak ada sambaran petir, hujan badai atau gagal panen setelahnya. Lelaki tua itu pun gila. Lunglai dan melihat kematiannya sendiri digenggam Sautaf.2
***
Burung gagak yang berteriak seperti sedang kelaparan segera membangunkan sesosok lelaki tua telanjang dan lunglai. Aroma alkohol dari sopi menguar ketika disambar angin sepoi. Dua botol sopi telah tandas dan berserakan beserta tulang-tulang ayam di dekat batu altar. Ia baru ingat, 9 jam sebelumnya, ia datang ke tempat keramat itu untuk minum bersama arwah leluhur. Sebuah penghormatan untuk orang mati dan untuk tuhan. Namun kisah terselip gelisah keburu menyerang sadarnya.
Ia bergegas pulang dan mendapati istri dan kedua anak perempuan berlaku seperti biasa. Mereka masih setia bekerja dan melayaninya, termasuk memelihara setumpuk pantangan atas namanya. Kini gelisahnya telah menjelma curiga. Curiga pada seisi rumah, pada istri dan anak menantunya. Sesungguhnya ia sedang dilanda ketakutan jikalau ia tak lagi sakti. Ia merenung dan menunggu bisikan angin yang seperti biasanya hinggap ke gendang telinganya. Uis Anin3 yang kerap memberinya informasi tentang masa depan.
Selalu saja, misalkan jika akan ada tamu, Uis Anin akan membisikan kabar itu sebelumnya. Namun bisikan itu berbeda kali ini. Ia diingatkan jika kini usianya mendekati 85 tahun, waktu terakhir jelang kematian. Akan ada yang menjemput dirinya, kira-kira begitu bunyinya. Ia takut, ia menangis. Ada yang lupa ia jalankan selama ini, mendapatkan darah daging berjenis kelamin laki-laki sebagai satu-satunya jalan untuk meneruskan kesaktiannya. Ia mengira bisa hidup lebih lama seperti ayahnya dulu yang mati berusia 125 tahun lebih. Ia menyesal karena tidak memelihara gundik untuk mendapatkan anak laki-laki. Meski sebenarnya ada sebab lain, ia dihadang oleh banyak kerabat untuk menikah lagi. Sebagai pemeluk Kristen (meski tergolong Kristen KTP), siapa pun memang tak boleh memiliki banyak istri. Mungkinkah alasan ini yang telah membuatnya tidak sakti lagi?
Ketika malam menjelang, datanglah bisikan baru untuknya.
“Bersetubuhlah dengan anak perempuanmu, supaya ia mengandung anak kekasih kita laki-laki agar kembali sempurna kesaktian di dalam rumah ini untuk selama-lamanya. Sebab suami dari anak perempuanmu telah kubujuk untuk pergi berburu ke gunung.”
Lelaki itu bangun dari pembaringan, membisikan sesuatu pada isterinya lalu bergegas keluar rumah, menuju rumah bulat sejenis di seberang. Rumah anak perempuan sulung terkasihnya. Bulan telah meninggi. Udara dingin, nafas berkejaran berganti udara hangat (setelah birahi kelakiannya memuncak) dan sperma terakhir yang tumpah adalah sketsa yang ia gambar di dinding semesta. Tak ada kehormatan yang ia rampas. Ada takzim yang perempuan itu sembahkan. Ada lenguhan memuncak hingga ke puncak Mutis, memerah dalam kobaran api yang menghangatkan. Merah dalam perayaan untuk mendapat persetujuan arwah nenek moyang. 
Perempuan tua tiba-tiba mendorong pintu dan mendapati Pah Tuaf terkasih telah mati sehabis mencucup puting susu anak perempuan mereka. Natiabonen4, bisiknya.
Liliba, 2014

Keterangan
1mutisalak: kalung dari beberapa jenis bebatuan
2penguasa kematian dalam kepercayaan Suku Dawan
3penguasa angin
4selesai sudah (bahasa Dawan)



Tentang Penulis:
Christian Senda, lahir di Mollo Utara, Timor Tengah Selatan. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang. 
Cerpen ini telah dimuat di Koran Bali Post, 14 Desember 2014

1 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...