Sebuah
fiksi
SATU
Perempuanku
itu tiba-tiba saja sudah duduk manis di pelataran kapel megah yang namanya
diambil dari salah satu paus yang baru saja digelari orang kudus. Tak ada angin
bulan Mei yang terlalu ribut di puncak bukit ini. Sementara senja cukup tentram
melangkah pergi dengan lukisan di punggungnya yang kerap berganti wujud
spektrum setiap menit. Rombongan peziarah dari selatan sedang merayakan misa
dan aku masih berlalu-lalang bersama beberapa peziarah lainnya untuk
mengabadikan setiap jengkal lukisan semesta yang tertera di depan mata kami.
Kulihat lagi perempuanku yang duduk dan semakin berdiam diri. Ah, mengapa kau
tiba-tiba merenung? Kau sedang berbicara pada Tuhan? Hal apakah yang kau
utarakan padanya?
Baiklah
perempuanku ini kunamai Senja, pikirku beberapa bulan lalu, ketika benih antah
berantah tiba-tiba saja merasuk naluriku. Sedangkan aku, baiklah kunamai diriku
sendiri sebagai lelaki Hujan. Kedua nama kami itu jelas bukan nama sebenarnya.
Senja memang indah, demikian perempuanku. Lalu apakah arti Hujan? Sekali malam
dan sekali siang, perempuan yang kuingin jadikan ia perempuanku membuat sebuah
pengakuan di hadapan wajah termanguku.
“Aku memujamu diam-diam, seperti kupuja senja
sehabis hujan. Ups, pernah kusangkal juga, apakah ini berlebihan?”
Aku
menyahuti suara dari hatinya, “adakah suara yang lain yang lebih tulus selain
yang keluar dari hati?”
Kubalas
dengan ucapan terima kasih dan ia melanjutkan dengan sederet kisah tentang ia
dan kekasihnya, membuat udara mendadak satir sehingga sesak ketika ingin
kuhirup. Beberapa adegan pembicaraan kami berlalu dengan segala pertimbangan,
sesal, dan harap yang bercampur. Baiklah kunamai percakapan ini sebagai sebuah ‘permainan
layang-layang’, kutarik dan kau ulur; aku yang menunggu di darat, sedang ada
kekasihmu melayang-menjauh di atas langit sana.
***
DUA
Dahulu,
kami dipertemukan dalam beberapa babak yang sama sekali tak membekas manis di
ingatan. Meski pada akhirnya aku yang menawarkan hati terlebih dahulu. Apakah
terlalu kebetulan untuk sebuah alasan sama-sama suka terhadap senja sehabis
hujan? Sebab kenyataanya aku yang terlalu memburumu (memuja parasmu) dan
mengira jika kamu adalah satu-satunya alasan paling logis untuk mematahkan
kesimpulanku sendiri selama ini yang merasa sulit untuk jatuh cinta. Jebakan
yang menyenangkan, sayang.
Aku
selalu menghindari untuk berlebihan mempersembahkan kata-kata manis. Selamanya
yang lebih manis adalah perbuatan, gestur, kerlingan mata, senyuman, uluran
tangan...
Aku
selalu menghindari untuk berlebihan merayumu, tapi bolehkah aku memegang
tanganmu? Aku percaya ada hati di setiap telapak tangan manusia. Jika mulut
sekali bersuara, maka dua hati dalam tubuh kita bisa bersuara sekaligus untuk
telinga dan jiwa. Mengalirlah kedamaian itu.
Ah,
kau perempuan senja, yang berkali-kali menjelmakan aku sang penulis galau.
***
TIGA
Motor
oim harem alias Tuk-Tuk (aku suka cara kita menertawakan
tuk-tuk) melaju pelan menuju timur. Aku sengaja mengajak perempuanku ini untuk
melihat senja dari atas bukit Oebelo. Ada sebuah taman ziarah baru saja
dibangun di sana dan terbuka bagi siapapun untuk datang berdoa dan merenung.
Aku memang datang ingin berdoa, dan Senja memilih merenung. Dua batang lilin untuk
masing-masing kita menyala--menemani doa dan renungan kita melayang ke langit.
Ada harapan yang terbit di hatiku. Seperti purnama hari Waisak yang tiba-tiba
mencuri perhatian Senja. Kami terpaku sejenak menyaksikan cahaya raksasa itu
merangkak naik, memendarkan warna pada senyum Senja yang tak biasa. Purnama itu
mungkin saja telah menangkap doaku.
Doa
dan sekelumit warna pada setiap teks yang terkirim.
“Terima
kasih ya...”
“Terima
kasihlah pada semesta yang tulus memberi keajaiban.”
“Seperti
kamu...”
“Lebay
ah!”
“
L”
“He-he-he... sori, bercanda..”
♥☼☼♫♪♀♂☻☺siang
yang cerah...
¥€₦₰☼
LL!!?!!
Ada yang kecelakaan...
“Kak,
beta di UGD RSU Kota”
“????
L”
“Kamu-Si-Pemilik-Nama-Yang-Pertama-Kali-Muncul-Disaat-Kritis-Saya.
Siap-siaplah
saya repotkan.”
“He-he-he
saya siap direpotkan J”
“Kamu
luar biasa... J”
“Trims
sudah bikin beta senang hari ini.. J”
“
J”
“Cepat
sembuh ya, biar cepat balik Kupang. Biar sementara sweatermu termani beta di sini...”
“Semoga...
cukup adil juga.”
“
♥ ”
Ingin kugapai
layang-layang itu, memeluknya kembali ke bumi.
***
EMPAT
Aku
selalu ada untukmu.
Liliba 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...