Minggu, 18 Mei 2014

Empat Fragmen Tentang Senja dan Hujan

Sebuah fiksi


SATU
Perempuanku itu tiba-tiba saja sudah duduk manis di pelataran kapel megah yang namanya diambil dari salah satu paus yang baru saja digelari orang kudus. Tak ada angin bulan Mei yang terlalu ribut di puncak bukit ini. Sementara senja cukup tentram melangkah pergi dengan lukisan di punggungnya yang kerap berganti wujud spektrum setiap menit. Rombongan peziarah dari selatan sedang merayakan misa dan aku masih berlalu-lalang bersama beberapa peziarah lainnya untuk mengabadikan setiap jengkal lukisan semesta yang tertera di depan mata kami. Kulihat lagi perempuanku yang duduk dan semakin berdiam diri. Ah, mengapa kau tiba-tiba merenung? Kau sedang berbicara pada Tuhan? Hal apakah yang kau utarakan padanya?
Baiklah perempuanku ini kunamai Senja, pikirku beberapa bulan lalu, ketika benih antah berantah tiba-tiba saja merasuk naluriku. Sedangkan aku, baiklah kunamai diriku sendiri sebagai lelaki Hujan. Kedua nama kami itu jelas bukan nama sebenarnya. Senja memang indah, demikian perempuanku. Lalu apakah arti Hujan? Sekali malam dan sekali siang, perempuan yang kuingin jadikan ia perempuanku membuat sebuah pengakuan di hadapan wajah termanguku.
 “Aku memujamu diam-diam, seperti kupuja senja sehabis hujan. Ups, pernah kusangkal juga, apakah ini berlebihan?”
Aku menyahuti suara dari hatinya, “adakah suara yang lain yang lebih tulus selain yang keluar dari hati?”
Kubalas dengan ucapan terima kasih dan ia melanjutkan dengan sederet kisah tentang ia dan kekasihnya, membuat udara mendadak satir sehingga sesak ketika ingin kuhirup. Beberapa adegan pembicaraan kami berlalu dengan segala pertimbangan, sesal, dan harap yang bercampur. Baiklah kunamai percakapan ini sebagai sebuah ‘permainan layang-layang’, kutarik dan kau ulur; aku yang menunggu di darat, sedang ada kekasihmu melayang-menjauh di atas langit sana.
***

DUA
Dahulu, kami dipertemukan dalam beberapa babak yang sama sekali tak membekas manis di ingatan. Meski pada akhirnya aku yang menawarkan hati terlebih dahulu. Apakah terlalu kebetulan untuk sebuah alasan sama-sama suka terhadap senja sehabis hujan? Sebab kenyataanya aku yang terlalu memburumu (memuja parasmu) dan mengira jika kamu adalah satu-satunya alasan paling logis untuk mematahkan kesimpulanku sendiri selama ini yang merasa sulit untuk jatuh cinta. Jebakan yang menyenangkan, sayang.
Aku selalu menghindari untuk berlebihan mempersembahkan kata-kata manis. Selamanya yang lebih manis adalah perbuatan, gestur, kerlingan mata, senyuman, uluran tangan...
Aku selalu menghindari untuk berlebihan merayumu, tapi bolehkah aku memegang tanganmu? Aku percaya ada hati di setiap telapak tangan manusia. Jika mulut sekali bersuara, maka dua hati dalam tubuh kita bisa bersuara sekaligus untuk telinga dan jiwa. Mengalirlah kedamaian itu.
Ah, kau perempuan senja, yang berkali-kali menjelmakan aku sang penulis galau.
***
TIGA
Motor oim harem  alias Tuk-Tuk (aku suka cara kita menertawakan tuk-tuk) melaju pelan menuju timur. Aku sengaja mengajak perempuanku ini untuk melihat senja dari atas bukit Oebelo. Ada sebuah taman ziarah baru saja dibangun di sana dan terbuka bagi siapapun untuk datang berdoa dan merenung. Aku memang datang ingin berdoa, dan Senja memilih merenung. Dua batang lilin untuk masing-masing kita menyala--menemani doa dan renungan kita melayang ke langit. Ada harapan yang terbit di hatiku. Seperti purnama hari Waisak yang tiba-tiba mencuri perhatian Senja. Kami terpaku sejenak menyaksikan cahaya raksasa itu merangkak naik, memendarkan warna pada senyum Senja yang tak biasa. Purnama itu mungkin saja telah menangkap doaku.
Doa dan sekelumit warna pada setiap teks yang terkirim.
“Terima kasih ya...”
“Terima kasihlah pada semesta yang tulus memberi keajaiban.”
“Seperti kamu...”
“Lebay ah!”
L
 “He-he-he... sori, bercanda..”

♥☼☼♫♪♀♂☻☺siang yang cerah...
¥€₦₰☼ LL!!?!! Ada yang kecelakaan...
“Kak, beta di UGD RSU Kota”
“???? L
“Kamu-Si-Pemilik-Nama-Yang-Pertama-Kali-Muncul-Disaat-Kritis-Saya.
Siap-siaplah saya repotkan.”
“He-he-he saya siap direpotkan J
“Kamu luar biasa... J
“Trims sudah bikin beta senang hari ini.. J
J
“Cepat sembuh ya, biar cepat balik Kupang. Biar sementara sweatermu termani beta di sini...”
“Semoga... cukup adil juga.”
“ ♥ ”
Ingin kugapai layang-layang itu, memeluknya kembali ke bumi.
***

EMPAT
Masih adakah kisah segi tiga yang belum kita selesaikan, sayang?
Aku selalu ada untukmu.

Liliba 2014


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...