sketsa by Arystha Pello dan Rara Watupelit |
Tahun
2015. Di atas ketinggian 1700 mdpl,
seperti sedang di surga, aku terbang mengitari lembah curam dengan vegetasi cemara kurus yang menjulang tinggi. Suhu pagi
ini masih berkisar di angka 10 derajat Celcius. Segerombolan kabut yang diarak
perlahan oleh angin dari timur
laut menghadang keinginanku bermandi mentari di penghujung Mei yang sungguh tak biasa
gigilnya.
Di
gunung ini, segala rupa roh berkumpul. Berbaur menjadi sejuta warna yang
bergantian melukis dan menulis
maknanya pada kolam-kolam rahasia. Kusebut rahasia, sebab meskipun kolam itu
ada dan kelihatan, namun hingga kapanpun tak
akan mungkin ada seorang pun yang mampu menyelaminya secara sadar. Dirinya hanya akan terpaku pada sebuah bauran massal yang tak
biasa—yakni rohnya sendiri. Lalu ia akan merasa nikmat tapi tak melakukan
apapun.
Tiga
puluh menit berlalu dan aku rela spektrum cahaya matahari hanya diberi ruang sejengkal untuk menembus lorong misteri ini,
bergantian dengan angin yang menggiring kawanan kabut dan seruan alam pagi
lainnya—salah satunya suaraku—membentuk sebuah lukisan mahadahsyat milik Sang
Mutlak.
Aku
terbang lagi, kali ini lebih rendah ,meski dengan cara itu tubuhku akan terasa
dua kali lebih dingin. Tapi teringat sahabat sejatiku—Ahmad—yang setia saban
pagi buta demi menjajakan kopi, teh dan biskuit di pelataran parkiran, dua
ratus meter di bawah puncak. Ada banyak sahabatku di sana, namun Ahmadlah
setiaku. Kami berkenalan hampir sebelas tahun silam, dalam sebentuk roh yang
menyala tanpa masing-masing menduga sebelumnya.
Ahmad
tiba-tiba pingsan ketika ritual pa’a loka
sedang dilakukan. Sebuah ritus memberi sesajian bagi yang tak kasat sebagai
ungkapan syukur akan sebuah harmonisasi hidup yang senantiasa mereka jalin
bersama. Warga di lereng
gunung ini dan alam semestanya. Sedangkan aku, karena wujudku
adalah nyata dan tak nyata, maka
mudah bagiku bertemu dengan Ahmad. Temanku yang punya hati lurus.
***
Tahun
2004.
Siapakah
aku? Pertanyaan yang segera timbul ketika baru bangun tidur. He-he-he, aku ingat sekarang. Namaku Ahmad.
Tak
ada yang sungguh terasa paling benar dalam diriku. Aku terasing dalam lapisan
pertama mimpiku. Aku tak tahu kenapa akulah yang dipilih. Aku mulai menduga-duga; mungkin karena aku lupa minum kopi,
sehingga aku yang kelelahan
lantas bisa dengan mudahnya jatuh tertidur. Dan kebetulan lagi, ada setan lewat
sekalian menyeretku masuk ke dalam pusaran dunianya. Eh, tapi sungguh, apakah namaku Ahmad? Sekarang
aku lupa lagi namaku.
Yang samar tapi sedikit membekas adalah bahwa aku punya 3 buah termos berisi
air panas dan aku seorang manusia. Hanya itu.
“Selamat
pagi Ahmad!” lengkingan yang mengejutkanku seketika. Aku menoleh tapi tidak
menemukan sewujud apapun.
“Ahmad,
kau belum juga melihat rupaku?” tanyanya penasaran. Akulah yang makin
ketakutan.
“Oh,
aku lupa. Makanlah dulu uta onga di
bawah kakimu itu, Ahmad,” pintanya dengan suara yang kian pelan.
Aku
langsung menuruti begitu saja instruksinya. Intuisiku langsung memberikan
jawabannya, ‘memakan ini dan aku bisa melihat rupanya.’ Lebih baik dari pada
terus-menerus mengobrol dengan bulu kuduk meremang aneh seperti ini.
Kupetik
pucuknya dan langsung mencicipinya. Rasanya sedikit pahit.
Tak
butuh waktu yang lama untuk merasakan reaksinya. Rasa sedikit pusing dan kepala
membesar. Persis rasanya seperti terjatuh dalam peristiwa aneh terdahulu, jatuh
terkapar dua puluh meter dari mesbah ritual pa’a
loka. Aku seperti berada di alam mimpi lapisan kedua dengan tubuh menyala!
“Ahmad.
Tubuhmu hijau!” pekik suara tenor misterius itu lagi cukup membuat kagetku
berlipat ganda dan posisi tubuh setengah terjengkang. Dan terlebih lagi,
tubuhnya berwarna dominasi hitam berpadu kuning kecoklatan, setengah manusia
setengah burung. Yah, burung. Sebab ia mempunyai sepasang sayanp pegganti tangan, selebihnya ia seperti
manusia. Kali ini tubuhku benar-benar terjungkal di bawah rimbunan perdu.
“Tenang
saja, aku kawanmu,” ia menjulurkan tangannya sambil tersenyum lebar, “Klang.”
Aku tak sepenuhnya
mencermati ucapan terakhirnya, sebab aku kini sibuk melihat kulit di sekujur
tubuhku yang berwarna hijau mengkilat, seperti memendarkan cahaya. “Ka... kalang?”
selidikku.
“Bukan.
Bukan Kalang, Ahmad, tapi Klang!” Ia melanjutkan ucapannya dengan seruan yang
indah, seperti sebuah nyanyian yang merasuk, ‘klang... klang... klang....’
“Kenapa tubuhku hijau,
Klang?”
“Pertanyaan
yang sulit, Kawan. Karena bukan aku yang menentukan kecenderungan warna rohmu. Melainkan
kamu sendiri dengan restu Sang Pencipta
yang menjadikan semuanya ada. Karena
lurus hatimu.”
“Dan
kenapa warnamu hitam dan kuning?”
“Seumur
hidup, aku memang ditakdirkan menjadi si pejaga gunung dan ketiga kolam
rahasianya. Akulah si penjaga agar
‘yang
rahasia biarlah selamanya menjadi rahasia’, Klang Klang pagi.” Ia berkisah
dengan sangat hati-hati.
Yang rahasia
biarlah selamanya menjadi rahasia. Pelan-pelan kusumbat
semua pertanyaan yang dibayangi rasa penasaran tetap berada pada selubung hatiku.
Kurasa kali ini ia mengetahui niatku
barusan.
“Oh,
ya, aku punya seseorang spesial yang ingin kukenalkan padamu. Tapi tolong
jangan ada lagi pertanyaan. Pemali.” Ia
benar-benar ikut
menyumbat keinginanku menguak rahasianya.
Aku menjawab, kali ini hanya
dengan sebuah anggukan.
“Jika
kau benar-benar siap, pejamkan matamu sekarang!” ungkapnya dengan nada lebih
serius.
Aku
menuruti saja. Ia mulai menginstruksikan suatu kalimat panjang yang diutarakan
lebih mirip dengan sebuah aktivitas mendongeng. Suaranya pelan, makin lama
seperti sebuah bisikan yang kian halus, menjadi sebuah desir angin yang bisa
kutangkap maksudnya. Ia benar-benar membawaku pada sebuah bayangan mental yang
nyata. Sebuah gunung berkelamin perempuan, dengan tiga buah kolam yang unik. Keseluruhan luasnya ribuan hektar.
Semuanya membiaskan jutaan warna yang mengilat terpapar pancuran matahari.
Segala
rupa roh ada di sana. Berhamburan di dataran, di air, di pepohonan, di kabut
dan bebatuan.
“Masuklah
lebih dalam, Ahmad. Rasakan bahwa yang kau lihat benar-benar nyata. Rasakan
semua warna yang tercipta. Rasakan dinginnya angin, yang perlahan membuat
tubuhmu ringan, lantas ikut melayang bersama mereka. Rasakan jika tubuhmu lebih
ringan dan kau sudah masuk lebih dalam lagi,” bisik Klang yang kini sudah
menyaru jadi angin.
Aku terkapar dan bangun
lagi dengan tubuh yang ringan seperti kapas.
“Selamat datang di
lapisan mimpi ketiga, Ahmad!” Klang menepuk pundakku sehingga aku terbangun.
Terbangun di sebuah hamparan awan mahaluas. Putih di mana-mana.
“Ingatlah aturan main
kita, Kawan. Jangan ada pertanyaan di sini.”
Aku
terdiam. Kuingat lagi ketika di perjalanan tadi: jutaan bahkan milyaran roh
berwarna-warni itu! Dan yang tak
kalah pentingnya, tamu spesial itu.
Jangan ada pertanyaan di sini. Aku tercekat dalam belenggu ‘jangan ada pertanyaan di sini’.
“Selamat
datang di tahun 1915, Kawan-kawan.” Aku mendengar suara itu melengking dari
kejauhan. Seperti dari arah atas posisi kami berdiri. Aku masih menemukan kabut
saja dimana-mana. Tapi di manakah Klang sekarang? Ah, aku terlampau lama
berpikir dan abai dengan gerak-gerik Klang. Akan ada kejutan apa lagi ini,
lirihku.
Kuputuskan
melangkah saja ke arah datangnya suara tadi. Benar saja, aku sedang menyusuri sebuah
tanjakan yang tak kelihatan tanahnya. Aku berjalan semakin jauh dan menemukan
lapisan kabut yang kian menipis dan kian menipis.... Ah, tempat ini lagi? Aku
menggumam. Aku merasa pernah mengenali tempat ini, hanya saja ada sedikit
perbedaan, ditambah masalah: bau belerang masih sangat tajam, hutan di beberapa
sisi masih sangat lebat dan aku tiba-tiba sadar jika perasaan pernah mengenali
tempat ini besarannya tak lebih dari sekepal tanganku! Seperti mimpi yang
samar. Aku pernah menciptakan mitos ini saat kelas 4 SD. Hanya aku sendiri yang mengetahuinya.
Aku
terus berjalan ke arah paling tertinggi yang bisa kujangkau. Sekawanan monyet
berekor panjang mengibas diamku sesaat lalu menghilang di balik perdu. Disusul
seekor burung misterius yang terbang rendah menyambar perhatianku yang masih
saja terpaku ke arah lenyapnya kawanan monyet tadi. Burung misterius itu, ah,
seperti pernah kukenali dari warnanya, tapi....
“Hei,
melamun saja.” Seseorang menepuk
punggungku. Klang!
Aku
hanya mampir terhenyak dan mengurut-urut dada. “Jahat kamu ya, Klang. Datang kemudian
menghilang. Bikin
jantungan saja!”
Keluhku.
“Ya,
maaf... he-he-he,” ia nyengir begitu saja dan mulai melangkah.
Kuturuti
saja meski tak ada kata ajakan keluar dari mulutnya. Niatku satu saja dan sudah
bulat, tak boleh lagi terkecoh dengan manusia bersayap nan ajaib ini. Titik.
Aku
menuruti saja seperti anak ayam yang takut kehilangan sang induk.
Kami
menyusuri sebuah celah batu yang masih perawan dengan harum belerang di rongga hidung.
Harum? Yah, aku sendiri merasa aneh, sebab bau belerang ini tak menyengat sama sekali, namun lebih ringan
karena berpadu dengan bau odoklonyo
yang sering kutemukan botol-botolnya di areal pekuburan. Harum khas kematian.
Perjalanan
kini agak menurun, seperti akan menyentuh sebuah cerukan besar yang bersisikan
cemara gunung menjulang.
Fokusku hanya dua. Pertama, menyadari betul keberadaan Klang agar jangan sampai
langkahnya melesat cepat meninggalkan aku yang nyasar untuk kedua kalinya.
Kedua, awas terhadap jalanan setapak yang tak lebih dari serakan bebatuan cadas
yang bisa menggiringku dua kali lebih cepat ke dasar cerukan dengan ratusan
luka lecet di sekujur tubuh.
Aku
terlalu fokus dengan kedua hal tadi sampai lupa bahwa di bawah sana—kira-kira
sepelemparan batu—sudah nampak sebuah danau hijau zamrud nyaris berbentuk bulat
lemun pepermus.
Kali ini langkah Klang
lebih berhati-hati, dan aku dua kali lipatnya.
Ternyata
di bibir danau yang sedikit curam, nampak seseorang yang cukup tinggi menyembul
dari perdu-perdu sedang mencatat sesuatu. Ia lantas menoleh seperti sudah
menyadari kehadiran kami.
“Ahaaa…
selamat datang, Kawan-kawan,” ia menyapa kami dengan senyum lebarnya. Ia
mengungkapkan salam itu sama seperti tadi. Kulirik Klang di sisiku, sekedar
memastikan bahwa kalimat tadi bukanlah kata kunci yang
mampu melenyapkan Klang kembali ke masanya. Orang yang kuselidiki membalasnya
dengan senyuman
seperti bermakna, ‘tenang saja, aku tak
akan meninggalkanmu kok’.
Kini
bisa kupastikan dengan mudah wajah dan perawakan manusia berkulit putih di
depan kami. Ia yang nampak tinggi, meski tadi sedang tertanam dalam perdu
liar, kini
benar-benar sudah di depanku.
“Hai,
Ahmad. Namaku Schutelen,” keramahan dan kecerdasan terpancar dari bola matanya
yang kehijauan, “semoga betah di sini.”
Ya,
Allah. Baru kusadari sekarang bahwa ia berbicara dalam bahasanya yang asing di
telingaku tapi entah dengan bantuan kekuatan roh apa, aku bisa mengerti
bahasanya. Sekali lagi kulirik Klang di sisiku dan menemukan jawaban yang sama.
Kami sudah melewati pertemuan ini dengan bahasa kami masing-masing, tapi ada
kekuatan lain yang membantu kami memahami satu sama lain. Sesuatu, kurasakan
bergemuruh di dalam
rongga dadaku, singkat saja tapi tetap membuat tengkukku serasa membesar.
“Aku
menemukan keajaiban besar sudah dan akan terus terjadi di tempat ini, Kawan.
Dan setelah berhari-hari kuhirup nafas alam ini—kau tahu sedikit mirip wangi odoklonyo—aku jadi merasa kerdil di sini. Energinya terlalu besar, yang bisa
membuatmu gila jika tak hati-hati.
Tapi sekali lagi, ‘mereka’ mengenali hati kita. Ketulusan itu mendamaikan,
namun nafsu untuk menguasai alam
semesta bisa mencelakakan hidup. Kau pilih yang mana, Kawan?!” Ia
menyergap dua bola mataku dengan tajam.
“A-aku
tak tahu. Em, maksudku, aku cinta damai, he-he-he,” aku mencoba untuk tertawa
kecut, lebih tepatnya bingung.
“Goed, aku suka itu.” Ia melanjutkan,
“Aku sedang menulis ini untuk sebuah jurnal di Amsterdam. Ini akan menjadi
informasi penting yang mencengangkan dunia. Seperti halnya Ouwens telah
mengguncangkan dunia dengan komodo.”
Ia menyodorkan beberapa carikan kertas untukku dan untuk Klang yang lebih
banyak diam.
Diam jangan sampai melenyapkan
tubuhnya. Jangan terlalu terpukau akan sesuatu hal dan melupakan Klang.
Kehilangan pemandu sama saja dengan bunuh diri!
“Wow,
kau hebat Tuan Schutelen!” Klang kini mematahkan lamunanku akan dirinya. Klang, kita mengobrol via telepati saja
kalau begitu.
“Jangan
dong. Eh, maksudnya jangan diam saja, Ahmad,” sergahnya.
“Eh, iya, he-he-he,”
balasku sekenanya.
Argghhh, Klang. Kalau aku bertanya
nanti salah lagi. Pamali dan aku tersesat selamanya di sini. Aku tak mau.
“Minggu depan,
kiriman kamera Brownie Box tiba. Aku ingin memotret danau-danau ini.
Kuharap kalian bisa mampir lagi,” ujar Schutelen setengah berharap.
“Boleh-boleh
saja, asalkan Ahmad tak kapok lagi ke sini,” Klang menjawabnya cepat. Kini
kedua makhluk itu malah kompak menodongku dengan tatapan mereka, demi sebuah
jawaban keluar dari mulutku.
“Boleh-boleh saja.”
Air
mukaku tibat-tiba berubah. Pening di kepala seperti sedang mabuk moke. Klang langsung menahan tubuh
lemasku dengan kepakan sayapnya.
“Kau
harus pulang segera. Mereka sedang memanggilmu untuk pulang,” ujar Klang. Benar
saja, lima detik kemudian, aku tertidur lagi disanggah sayap Klang, menembus
lapisan mimpi—lorong yang penuh tumpahan aneka warna—kembali pada tanah
pelataran yang masih basah oleh embun.
Orang-orang
yang mengerumuniku bergantian
memekik, “Dia sudah kembali... Ahmad penjual kopi, sudah kembali!”
***
Setahun
setelah pertemuanku dengan Klang dan Tuan Schutelen, aku makin banyak tahu
banyak rahasia dari tempat ini. Mengetahui tanpa sekalipun bertanya, sebab aku
mempunyai dua teman baik yang senantiasa membuka tabir tentang gunung ini
padaku. Bahkan akulah manusia di sekitar sini yang paling banyak tahu, melebihi
pengetahuan para tetua adat yang sering datang menjalankan ritual pa’a loka. Tapi biarlah itu menjadi
rahasiaku. Aku hanya ingin menulis semua pengalaman rohku ini di atas lembar
demi lembar kertas HVS lusuh yang kuperoleh dari tetanggaku di desa.
Sudah
ada 221 lembar kertas yang berisi semua kisah spiritualku. Aku pernah mendapat
mimpi setelah selesai menulis lembaran ke 221, “Di saat kau menulis di halaman yang ke 222, akan datang padamu
seseorang anak muda, yang sama sekali tak ada hubungan darah denganmu. Anak
pohon beringin, pembawa keberuntungan bagi alam. Berilah dia 222 halaman itu,
karena sudah semakin sedikit orang yang murni dan mau peduli pada
harmoni ‘supra-human’.
Para tetua adat itu, apa hati mereka masih murni?”
Mimpi
berakhir dengan pertanyaan itu.
Esoknya
ketika aku menulis, aku kembali lagi seperti orang gila. Menulis sejuta pesan
rahasia yang dikirimkan semesta untuk manusia. Bahkan mampu menulis dalam
bahasa yang tak kumengerti sebelumnya tapi mendadak kupahami. Mungkin hal serupa juga yang pernah dialami para nabi dulu
ketika menulis kitab suci.
“Om... kopinya masih
ada, Om?”
Aku
terkejut dan berhenti menulis dan menyembunyikan carikas kertas ke bawah kardus
berisi air mineral.
“Eh,
Adik. Iya, masih a...,” aku menengadah ke wajah seorang anak muda di depanku
dan terpaku pada tatapa mata hijaunya. Seperti ada kilat yang terpancar keluar
sehingga meniadakan suaraku sama sekali.
Diakah orangnya? Aku membatin.
Kuraih
setumpuk kertas di bawah kardus sambil meyakinkan bahwa tak ada kertas yang
tercecer atau tertinggal. Aku langsung menyodorkan tumpukan kertas itu padanya.
“I-ini
perintah mimpiku,” kataku pelan. Sinar hijau zamrud matanya menyala, menandakan
ia tahu apa yang harus ia lakukan.
Ia
langsung menerima kertas-kertas tersebut, sambil tersenyum. Aku membalas
senyumnya. Terdengar bunyi ‘klang klang’ dari kejauhan. Sebuah tanda persetujuan.
“Kopinya masih ada, Om?”
Kini ia duduk di sebelahku.
“Oh,
yah, masih ada, Dik.” Aku langsung meracik sebungkus kopi instan dengan air
panas.
“Sunrise tadi keren, Dik?” tanyaku sambil menyodorkan kopi.
“Wah, bagus sekali Om.
Ini kali kedua
beta datang sini.”
***
Tak banyak yang tahu tentang sosok pria Belanda yang
pernah mampir juga ke gunung Mutis dan terlibat cinta sesaat hingga mempunyai
garis keturunannya di Timor tanpa melalui pernikahan yang sah. Ia disebut-sebut
sebagai pecinta botani tulen. Tetapi apakah ia juga yang menemukan kawah tiga
warna di Flores tengah, tiada yang tahu.
Tak banyak bukti otentik tentangnya selain tutur turun-temurun dari orang-orang kampung yang dulu memanggilnya
Lasi Muti, Si Bijak Berkulit Putih. Sebab kebijaksanaanya menyentuh gunung dan relung-relung
hutan tempat
roh orang-orang kampung berpulang.
Tapi garis keturunannya masih memegang sebuah dokumen
lusuh yang sangat penting. Dokumen yang terlampau awet dalam peti di ume kbubu yang hangat.
Pria Belanda itu mempunyai keturunan di Timor, meski tanpa proses pernikahan yang sah.
Sebab setelah ekspedisinya di Timor, ia kembali ke negerinya, meninggalkan jejak darahnya pada seorang anak.
“Tapi ibuku masih menyimpan beberapa
dokumen dan foto,” pemuda itu
membuka tas punggungnya dan mengeluarkan dokumen lusuh tersebut. Tulisan
berbahasa Belanda, yang tak kumengerti (sebab aku tak sedang berada di lapisan
mimpi manapun bersama Klang). Ada sebuah foto tertempel di halaman terakhir
dokumen, sebuah foto lusuh.
Bagai
sedang déjà
vu
ketika kulihat foto itu. Kuamati lebih dalam lagi sosok ketiga orang dalam foto
itu.
“Yang
di tengah itu, dia kakek buyutku. Namanya Van Schutelen.”
Mendengar
nama itu, tubuhku bergetar, “Tu... tuan Schutelen. Klang...,” aku berbisik. Tubuhku masih
merinding.
Tuan
Schutelen yang jangkung, diapit dua pria lokal berkulit gelap berselimutkan
kain tenun. Dua pria itu—aku dan Klang.
Sekawanan
burung bertubuh hitam kuning kecoklatan melayap di belakang kami, menari dan
bersiul indah untuk kami yang sesaat terdiam. Klang... Klang....
“Perjalanan
menuju lapis-lapis mimpi segera dimulai, Dik. Kau harus ikut jika ingin bertemu
kakek buyutmu.” Dan burung itu secara
tiba-tiba hinggap kepalaku dan memagut-magut manja.
Liliba,
Juni 2012.
Keterangan:
1. Pa’a loka: upacara memberi makan kepada arwah leluhur
yang dilakukan oleh penduduk di lereng gunung Kelimutu, sebab ada kepercayaan
bahwa arwah orang yang meninggal semuanya berkumpul di 3 danau di puncak gunung
Kelimutu.
2. Uta onga (Begonia kelimutuensis) merupakan flora endemik gunung Kelimutu.
3. Ume kbubu: rumah
tradisional suku Dawan, Timor, dengan atap alang-alang yang menjuntai hingga
menyentuh tanah. Secara harafiah, ume
kbubu berarti ‘rumah bulat’.
4. Odoklonyo:
sebutan untuk eau de cologne (bahasa Perancis: air Köln)
merupakan parfum yang berasal
dari Köln (bahasa
Perancis: Cologne), Jerman. Mengandung
campuran minyak jeruk seperti lemon, jeruk, jeruk keprok, jeruk bergamot, limau, anggur, dan neroli, juga minyak dari lembayung, rosmarinus, thymus, petitgrain (daun jeruk) dan melati. Orang Timor
sering memercikinya di makam sebagai pengharum pengganti bunga rampai.
5.
Moke: sejenis minuman keras.
6. Van Schutelen memang tercatat oleh sejarah sebagai ahli
botani yang pertama kali menyiarkan penemuan danau Kelimutu ke seluruh dunia.
Dan kisah secara keseluruhan yang melatari cerita di atas hanyalah fiksi
belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...