Senin, 12 Mei 2014

Klang Klang

sketsa by Arystha Pello dan Rara Watupelit

Tahun 2015. Di atas ketinggian 1700 mdpl, seperti sedang di surga, aku terbang mengitari lembah curam dengan vegetasi cemara kurus yang menjulang tinggi. Suhu pagi ini masih berkisar di angka 10 derajat Celcius. Segerombolan kabut yang diarak perlahan oleh angin dari timur laut menghadang keinginanku bermandi mentari di penghujung Mei yang sungguh tak biasa gigilnya.
Di gunung ini, segala rupa roh berkumpul. Berbaur menjadi sejuta warna yang bergantian melukis dan menulis maknanya pada kolam-kolam rahasia. Kusebut rahasia, sebab meskipun kolam itu ada dan kelihatan, namun hingga kapanpun tak akan mungkin ada seorang pun yang mampu menyelaminya secara sadar. Dirinya hanya akan terpaku pada sebuah bauran massal yang tak biasa—yakni rohnya sendiri. Lalu ia akan merasa nikmat tapi tak melakukan apapun.
Tiga puluh menit berlalu dan aku rela spektrum cahaya matahari hanya diberi ruang sejengkal untuk menembus lorong misteri ini, bergantian dengan angin yang menggiring kawanan kabut dan seruan alam pagi lainnya—salah satunya suaraku—membentuk sebuah lukisan mahadahsyat milik Sang Mutlak.
Aku terbang lagi, kali ini lebih rendah ,meski dengan cara itu tubuhku akan terasa dua kali lebih dingin. Tapi teringat sahabat sejatiku—Ahmad—yang setia saban pagi buta demi menjajakan kopi, teh dan biskuit di pelataran parkiran, dua ratus meter di bawah puncak. Ada banyak sahabatku di sana, namun Ahmadlah setiaku. Kami berkenalan hampir sebelas tahun silam, dalam sebentuk roh yang menyala tanpa masing-masing menduga sebelumnya.
Ahmad tiba-tiba pingsan ketika ritual pa’a loka sedang dilakukan. Sebuah ritus memberi sesajian bagi yang tak kasat sebagai ungkapan syukur akan sebuah harmonisasi hidup yang senantiasa mereka jalin bersama. Warga di lereng gunung ini dan alam semestanya. Sedangkan aku, karena wujudku adalah nyata dan tak nyata, maka mudah bagiku bertemu dengan Ahmad. Temanku yang punya hati lurus.

***

Tahun 2004.
Siapakah aku? Pertanyaan yang segera timbul ketika baru bangun tidur. He-he-he, aku ingat sekarang. Namaku Ahmad.
Tak ada yang sungguh terasa paling benar dalam diriku. Aku terasing dalam lapisan pertama mimpiku. Aku tak tahu kenapa akulah yang dipilih. Aku mulai menduga-duga; mungkin karena aku lupa minum kopi, sehingga aku yang kelelahan lantas bisa dengan mudahnya jatuh tertidur. Dan kebetulan lagi, ada setan lewat sekalian menyeretku masuk ke dalam pusaran dunianya. Eh, tapi sungguh, apakah namaku Ahmad? Sekarang aku lupa lagi namaku. Yang samar tapi sedikit membekas adalah bahwa aku punya 3 buah termos berisi air panas dan aku seorang manusia. Hanya itu.
“Selamat pagi Ahmad!” lengkingan yang mengejutkanku seketika. Aku menoleh tapi tidak menemukan sewujud apapun.  
“Ahmad, kau belum juga melihat rupaku?” tanyanya penasaran. Akulah yang makin ketakutan.
“Oh, aku lupa. Makanlah dulu uta onga di bawah kakimu itu, Ahmad,” pintanya dengan suara yang kian pelan.
Aku langsung menuruti begitu saja instruksinya. Intuisiku langsung memberikan jawabannya, ‘memakan ini dan aku bisa melihat rupanya.’ Lebih baik dari pada terus-menerus mengobrol dengan bulu kuduk meremang aneh seperti ini.
Kupetik pucuknya dan langsung mencicipinya. Rasanya sedikit pahit.
Tak butuh waktu yang lama untuk merasakan reaksinya. Rasa sedikit pusing dan kepala membesar. Persis rasanya seperti terjatuh dalam peristiwa aneh terdahulu, jatuh terkapar dua puluh meter dari mesbah ritual pa’a loka. Aku seperti berada di alam mimpi lapisan kedua dengan tubuh menyala!
“Ahmad. Tubuhmu hijau!” pekik suara tenor misterius itu lagi cukup membuat kagetku berlipat ganda dan posisi tubuh setengah terjengkang. Dan terlebih lagi, tubuhnya berwarna dominasi hitam berpadu kuning kecoklatan, setengah manusia setengah burung. Yah, burung. Sebab ia mempunyai sepasang sayanp pegganti tangan, selebihnya ia seperti manusia. Kali ini tubuhku benar-benar terjungkal di bawah rimbunan perdu.
“Tenang saja, aku kawanmu,” ia menjulurkan tangannya sambil tersenyum lebar, “Klang.”
Aku tak sepenuhnya mencermati ucapan terakhirnya, sebab aku kini sibuk melihat kulit di sekujur tubuhku yang berwarna hijau mengkilat, seperti memendarkan cahaya. “Ka... kalang?” selidikku.
“Bukan. Bukan Kalang, Ahmad, tapi Klang!” Ia melanjutkan ucapannya dengan seruan yang indah, seperti sebuah nyanyian yang merasuk, ‘klang... klang... klang....’
“Kenapa tubuhku hijau, Klang?”
“Pertanyaan yang sulit, Kawan. Karena bukan aku yang menentukan kecenderungan warna rohmu. Melainkan kamu sendiri dengan restu Sang Pencipta yang menjadikan semuanya ada. Karena lurus hatimu.”
“Dan kenapa warnamu hitam dan kuning?”
“Seumur hidup, aku memang ditakdirkan menjadi si pejaga gunung dan ketiga kolam rahasianya. Akulah si penjaga agar ‘yang rahasia biarlah selamanya menjadi rahasia’, Klang Klang pagi.” Ia berkisah dengan sangat hati-hati.
Yang rahasia biarlah selamanya menjadi rahasia. Pelan-pelan kusumbat semua pertanyaan yang dibayangi rasa penasaran tetap berada pada selubung hatiku. Kurasa kali ini ia mengetahui niatku barusan.
“Oh, ya, aku punya seseorang spesial yang ingin kukenalkan padamu. Tapi tolong jangan ada lagi pertanyaan. Pemali.” Ia benar-benar ikut menyumbat keinginanku menguak rahasianya.
Aku menjawab, kali ini hanya dengan sebuah anggukan.
“Jika kau benar-benar siap, pejamkan matamu sekarang!” ungkapnya dengan nada lebih serius.
Aku menuruti saja. Ia mulai menginstruksikan suatu kalimat panjang yang diutarakan lebih mirip dengan sebuah aktivitas mendongeng. Suaranya pelan, makin lama seperti sebuah bisikan yang kian halus, menjadi sebuah desir angin yang bisa kutangkap maksudnya. Ia benar-benar membawaku pada sebuah bayangan mental yang nyata. Sebuah gunung berkelamin perempuan, dengan tiga buah kolam yang unik. Keseluruhan luasnya ribuan hektar. Semuanya membiaskan jutaan warna yang mengilat terpapar pancuran matahari.
Segala rupa roh ada di sana. Berhamburan di dataran, di air, di pepohonan, di kabut dan bebatuan.
“Masuklah lebih dalam, Ahmad. Rasakan bahwa yang kau lihat benar-benar nyata. Rasakan semua warna yang tercipta. Rasakan dinginnya angin, yang perlahan membuat tubuhmu ringan, lantas ikut melayang bersama mereka. Rasakan jika tubuhmu lebih ringan dan kau sudah masuk lebih dalam lagi,” bisik Klang yang kini sudah menyaru jadi angin.
Aku terkapar dan bangun lagi dengan tubuh yang ringan seperti kapas.
“Selamat datang di lapisan mimpi ketiga, Ahmad!” Klang menepuk pundakku sehingga aku terbangun. Terbangun di sebuah hamparan awan mahaluas. Putih di mana-mana.
“Ingatlah aturan main kita, Kawan. Jangan ada pertanyaan di sini.”
Aku terdiam. Kuingat lagi ketika di perjalanan tadi: jutaan bahkan milyaran roh berwarna-warni itu! Dan yang tak kalah pentingnya, tamu spesial itu. Jangan ada pertanyaan di sini. Aku tercekat dalam belenggu ‘jangan ada pertanyaan di sini’.  
“Selamat datang di tahun 1915, Kawan-kawan.” Aku mendengar suara itu melengking dari kejauhan. Seperti dari arah atas posisi kami berdiri. Aku masih menemukan kabut saja dimana-mana. Tapi di manakah Klang sekarang? Ah, aku terlampau lama berpikir dan abai dengan gerak-gerik Klang. Akan ada kejutan apa lagi ini, lirihku.
Kuputuskan melangkah saja ke arah datangnya suara tadi. Benar saja, aku sedang menyusuri sebuah tanjakan yang tak kelihatan tanahnya. Aku berjalan semakin jauh dan menemukan lapisan kabut yang kian menipis dan kian menipis.... Ah, tempat ini lagi? Aku menggumam. Aku merasa pernah mengenali tempat ini, hanya saja ada sedikit perbedaan, ditambah masalah: bau belerang masih sangat tajam, hutan di beberapa sisi masih sangat lebat dan aku tiba-tiba sadar jika perasaan pernah mengenali tempat ini besarannya tak lebih dari sekepal tanganku! Seperti mimpi yang samar. Aku pernah menciptakan mitos ini saat kelas 4 SD. Hanya aku sendiri yang mengetahuinya.
Aku terus berjalan ke arah paling tertinggi yang bisa kujangkau. Sekawanan monyet berekor panjang mengibas diamku sesaat lalu menghilang di balik perdu. Disusul seekor burung misterius yang terbang rendah menyambar perhatianku yang masih saja terpaku ke arah lenyapnya kawanan monyet tadi. Burung misterius itu, ah, seperti pernah kukenali dari warnanya, tapi....
“Hei, melamun saja.” Seseorang menepuk punggungku. Klang!
Aku hanya mampir terhenyak dan mengurut-urut dada. “Jahat kamu ya, Klang. Datang kemudian menghilang. Bikin jantungan saja!” Keluhku.
“Ya, maaf... he-he-he,” ia nyengir begitu saja dan mulai melangkah.
Kuturuti saja meski tak ada kata ajakan keluar dari mulutnya. Niatku satu saja dan sudah bulat, tak boleh lagi terkecoh dengan manusia bersayap nan ajaib ini. Titik.
Aku menuruti saja seperti anak ayam yang takut kehilangan sang induk.
Kami menyusuri sebuah celah batu yang masih perawan dengan harum belerang di rongga hidung. Harum? Yah, aku sendiri merasa aneh, sebab bau belerang ini tak menyengat sama sekali, namun lebih ringan karena berpadu dengan bau odoklonyo yang sering kutemukan botol-botolnya di areal pekuburan. Harum khas kematian.
Perjalanan kini agak menurun, seperti akan menyentuh sebuah cerukan besar yang bersisikan cemara gunung menjulang. Fokusku hanya dua. Pertama, menyadari betul keberadaan Klang agar jangan sampai langkahnya melesat cepat meninggalkan aku yang nyasar untuk kedua kalinya. Kedua, awas terhadap jalanan setapak yang tak lebih dari serakan bebatuan cadas yang bisa menggiringku dua kali lebih cepat ke dasar cerukan dengan ratusan luka lecet di sekujur tubuh.
Aku terlalu fokus dengan kedua hal tadi sampai lupa bahwa di bawah sana—kira-kira sepelemparan batu—sudah nampak sebuah danau hijau zamrud nyaris berbentuk bulat lemun pepermus.
Kali ini langkah Klang lebih berhati-hati, dan aku dua kali lipatnya.
Ternyata di bibir danau yang sedikit curam, nampak seseorang yang cukup tinggi menyembul dari perdu-perdu sedang mencatat sesuatu. Ia lantas menoleh seperti sudah menyadari kehadiran kami.
“Ahaaa… selamat datang, Kawan-kawan,” ia menyapa kami dengan senyum lebarnya. Ia mengungkapkan salam itu sama seperti tadi. Kulirik Klang di sisiku, sekedar memastikan bahwa kalimat tadi bukanlah kata kunci yang mampu melenyapkan Klang kembali ke masanya. Orang yang kuselidiki membalasnya dengan senyuman seperti bermakna, ‘tenang saja, aku tak akan meninggalkanmu kok’.
Kini bisa kupastikan dengan mudah wajah dan perawakan manusia berkulit putih di depan kami. Ia yang nampak tinggi, meski tadi sedang tertanam dalam perdu liar, kini benar-benar sudah di depanku.
“Hai, Ahmad. Namaku Schutelen,” keramahan dan kecerdasan terpancar dari bola matanya yang kehijauan, “semoga betah di sini.”
Ya, Allah. Baru kusadari sekarang bahwa ia berbicara dalam bahasanya yang asing di telingaku tapi entah dengan bantuan kekuatan roh apa, aku bisa mengerti bahasanya. Sekali lagi kulirik Klang di sisiku dan menemukan jawaban yang sama. Kami sudah melewati pertemuan ini dengan bahasa kami masing-masing, tapi ada kekuatan lain yang membantu kami memahami satu sama lain. Sesuatu, kurasakan bergemuruh di dalam rongga dadaku, singkat saja tapi tetap membuat tengkukku serasa membesar.
“Aku menemukan keajaiban besar sudah dan akan terus terjadi di tempat ini, Kawan. Dan setelah berhari-hari kuhirup nafas alam ini—kau tahu sedikit mirip wangi odoklonyo—aku jadi merasa kerdil di sini. Energinya terlalu besar, yang bisa membuatmu gila jika tak hati-hati. Tapi sekali lagi, ‘mereka’ mengenali hati kita. Ketulusan itu mendamaikan, namun nafsu untuk menguasai alam semesta bisa mencelakakan hidup. Kau pilih yang mana, Kawan?!” Ia menyergap dua bola mataku dengan tajam.
“A-aku tak tahu. Em, maksudku, aku cinta damai, he-he-he,” aku mencoba untuk tertawa kecut, lebih tepatnya bingung.
Goed, aku suka itu.” Ia melanjutkan, “Aku sedang menulis ini untuk sebuah jurnal di Amsterdam. Ini akan menjadi informasi penting yang mencengangkan dunia. Seperti halnya Ouwens telah mengguncangkan dunia dengan komodo.” Ia menyodorkan beberapa carikan kertas untukku dan untuk Klang yang lebih banyak diam.
Diam jangan sampai melenyapkan tubuhnya. Jangan terlalu terpukau akan sesuatu hal dan melupakan Klang. Kehilangan pemandu sama saja dengan bunuh diri!
“Wow, kau hebat Tuan Schutelen!” Klang kini mematahkan lamunanku akan dirinya. Klang, kita mengobrol via telepati saja kalau begitu.
“Jangan dong. Eh, maksudnya jangan diam saja, Ahmad,” sergahnya.
“Eh, iya, he-he-he,” balasku sekenanya.
Argghhh, Klang. Kalau aku bertanya nanti salah lagi. Pamali dan aku tersesat selamanya di sini. Aku tak mau.
Minggu depan, kiriman kamera Brownie Box tiba. Aku ingin memotret danau-danau ini. Kuharap kalian bisa mampir lagi,” ujar Schutelen setengah berharap.
“Boleh-boleh saja, asalkan Ahmad tak kapok lagi ke sini,” Klang menjawabnya cepat. Kini kedua makhluk itu malah kompak menodongku dengan tatapan mereka, demi sebuah jawaban keluar dari mulutku.
“Boleh-boleh saja.”
Air mukaku tibat-tiba berubah. Pening di kepala seperti sedang mabuk moke. Klang langsung menahan tubuh lemasku dengan kepakan sayapnya.
“Kau harus pulang segera. Mereka sedang memanggilmu untuk pulang,” ujar Klang. Benar saja, lima detik kemudian, aku tertidur lagi disanggah sayap Klang, menembus lapisan mimpi—lorong yang penuh tumpahan aneka warna—kembali pada tanah pelataran yang masih basah oleh embun.
Orang-orang yang mengerumuniku bergantian memekik, “Dia sudah kembali... Ahmad penjual kopi, sudah kembali!”
***
Setahun setelah pertemuanku dengan Klang dan Tuan Schutelen, aku makin banyak tahu banyak rahasia dari tempat ini. Mengetahui tanpa sekalipun bertanya, sebab aku mempunyai dua teman baik yang senantiasa membuka tabir tentang gunung ini padaku. Bahkan akulah manusia di sekitar sini yang paling banyak tahu, melebihi pengetahuan para tetua adat yang sering datang menjalankan ritual pa’a loka. Tapi biarlah itu menjadi rahasiaku. Aku hanya ingin menulis semua pengalaman rohku ini di atas lembar demi lembar kertas HVS lusuh yang kuperoleh dari tetanggaku di desa.
Sudah ada 221 lembar kertas yang berisi semua kisah spiritualku. Aku pernah mendapat mimpi setelah selesai menulis lembaran ke 221, “Di saat kau menulis di halaman yang ke 222, akan datang padamu seseorang anak muda, yang sama sekali tak ada hubungan darah denganmu. Anak pohon beringin, pembawa keberuntungan bagi alam. Berilah dia 222 halaman itu, karena sudah semakin sedikit orang yang murni dan mau peduli pada harmoni ‘supra-human’. Para tetua adat itu, apa hati mereka masih murni?”
Mimpi berakhir dengan pertanyaan itu.
Esoknya ketika aku menulis, aku kembali lagi seperti orang gila. Menulis sejuta pesan rahasia yang dikirimkan semesta untuk manusia. Bahkan mampu menulis dalam bahasa yang tak kumengerti sebelumnya tapi mendadak kupahami. Mungkin hal serupa juga yang pernah dialami para nabi dulu ketika menulis kitab suci.
“Om... kopinya masih ada, Om?”
Aku terkejut dan berhenti menulis dan menyembunyikan carikas kertas ke bawah kardus berisi air mineral.
“Eh, Adik. Iya, masih a...,” aku menengadah ke wajah seorang anak muda di depanku dan terpaku pada tatapa mata hijaunya. Seperti ada kilat yang terpancar keluar sehingga meniadakan suaraku sama sekali.
Diakah orangnya? Aku membatin.
Kuraih setumpuk kertas di bawah kardus sambil meyakinkan bahwa tak ada kertas yang tercecer atau tertinggal. Aku langsung menyodorkan tumpukan kertas itu padanya.
“I-ini perintah mimpiku,” kataku pelan. Sinar hijau zamrud matanya menyala, menandakan ia tahu apa yang harus ia lakukan.  
Ia langsung menerima kertas-kertas tersebut, sambil tersenyum. Aku membalas senyumnya. Terdengar bunyi ‘klang klang’ dari kejauhan. Sebuah tanda persetujuan.
“Kopinya masih ada, Om?” Kini ia duduk di sebelahku.
“Oh, yah, masih ada, Dik.” Aku langsung meracik sebungkus kopi instan dengan air panas.
Sunrise tadi keren, Dik?” tanyaku sambil menyodorkan kopi.
“Wah, bagus sekali Om. Ini kali kedua beta datang sini.”

***
Tak banyak yang tahu tentang sosok pria Belanda yang pernah mampir juga ke gunung Mutis dan terlibat cinta sesaat hingga mempunyai garis keturunannya di Timor tanpa melalui pernikahan yang sah. Ia disebut-sebut sebagai pecinta botani tulen. Tetapi apakah ia juga yang menemukan kawah tiga warna di Flores tengah, tiada yang tahu.
Tak banyak bukti otentik tentangnya selain tutur turun-temurun dari orang-orang kampung yang dulu memanggilnya Lasi Muti, Si Bijak Berkulit Putih. Sebab kebijaksanaanya menyentuh gunung dan relung-relung hutan tempat roh orang-orang kampung berpulang.
Tapi garis keturunannya masih memegang sebuah dokumen lusuh yang sangat penting. Dokumen yang terlampau awet dalam peti di ume kbubu yang hangat.  
Pria Belanda itu mempunyai keturunan di Timor, meski tanpa proses pernikahan yang sah. Sebab setelah ekspedisinya di Timor, ia kembali ke negerinya, meninggalkan jejak darahnya pada seorang anak.
Tapi ibuku masih menyimpan beberapa dokumen dan foto,” pemuda itu membuka tas punggungnya dan mengeluarkan dokumen lusuh tersebut. Tulisan berbahasa Belanda, yang tak kumengerti (sebab aku tak sedang berada di lapisan mimpi manapun bersama Klang). Ada sebuah foto tertempel di halaman terakhir dokumen, sebuah foto lusuh.
Bagai sedang déjà vu ketika kulihat foto itu. Kuamati lebih dalam lagi sosok ketiga orang dalam foto itu.
“Yang di tengah itu, dia kakek buyutku. Namanya Van Schutelen.”
Mendengar nama itu, tubuhku bergetar, “Tu... tuan Schutelen. Klang...,” aku berbisik. Tubuhku masih merinding.
Tuan Schutelen yang jangkung, diapit dua pria lokal berkulit gelap berselimutkan kain tenun. Dua pria itu—aku dan Klang.
Sekawanan burung bertubuh hitam kuning kecoklatan melayap di belakang kami, menari dan bersiul indah untuk kami yang sesaat terdiam. Klang... Klang....
“Perjalanan menuju lapis-lapis mimpi segera dimulai, Dik. Kau harus ikut jika ingin bertemu kakek buyutmu.” Dan burung itu secara tiba-tiba hinggap kepalaku dan memagut-magut manja.

Liliba, Juni 2012.


Keterangan:
1.      Pa’a loka: upacara memberi makan kepada arwah leluhur yang dilakukan oleh penduduk di lereng gunung Kelimutu, sebab ada kepercayaan bahwa arwah orang yang meninggal semuanya berkumpul di 3 danau di puncak gunung Kelimutu.
2.      Uta onga (Begonia kelimutuensis) merupakan flora endemik gunung Kelimutu.
3.      Ume kbubu: rumah tradisional suku Dawan, Timor, dengan atap alang-alang yang menjuntai hingga menyentuh tanah. Secara harafiah, ume kbubu berarti ‘rumah bulat’.
4.      Odoklonyo: sebutan untuk eau de cologne (bahasa Perancis: air Köln) merupakan parfum yang berasal dari Köln (bahasa Perancis: Cologne), Jerman. Mengandung campuran minyak jeruk seperti lemon, jeruk, jeruk keprok, jeruk bergamot, limau, anggur, dan neroli, juga minyak dari lembayung, rosmarinus, thymus, petitgrain (daun jeruk) dan melati. Orang Timor sering memercikinya di makam sebagai pengharum pengganti bunga rampai.
5.      Moke: sejenis minuman keras.

6.      Van Schutelen memang tercatat oleh sejarah sebagai ahli botani yang pertama kali menyiarkan penemuan danau Kelimutu ke seluruh dunia. Dan kisah secara keseluruhan yang melatari cerita di atas hanyalah fiksi belaka.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...