Rabu, 09 April 2014

Mungkin Ayah Telah Menaruh Kfu Seo dan Bi Knino di Dalam Kepalaku


Cerpen: Christian Dicky Senda

untuk Forum SoE Peduli 
Kepada yang memancar dan yang memberi makan,
Dikaulah ibu
Kepada yang memancar dan yang bersembunyi di langit tenggara
Dikaulah ayah
Rusuk yang menggenapi—menghimpit dan menyuburkan aliran darah—susu ibu
Perkenankanlah anak cucu melihat keajaibamu dari pintu ke pintu Ume Kbubu yang seluruhnya mengabdi dikau
Kfu Seo...
***
Aku sedang memandang kfu seo yang terpancar jaya di langit tenggara. Pandangan yang terlampau polos dan ia seumpama tungku raksasa yang menyala dalam keleluasaan maya. Kerlipnya makin kentara dari sudut mata polosku, pukul enam petang. Angin Agustus yang menggigit hingga ke tulang. Kelu yang tak pernah usai aku utarakan semenjak peristiwa mencuri cendana yang gagal (karena bulan sudah mati). Apa kau mengira aku akan lupa? Tidak. Lima Ratus tahun lampau Bi Knino yang putih rela mati demi melestarikan wewangian pada tubuh kayu perkasa sekaligus androgini, yang hendak kucuri itu. Ayah pernah meninggalkan sesuatu pada lembaran memoriku, bahwasanya raja tua sedang menciptakan bualan jika putri tunggalnya mati demi kayu nan masyur itu. Sang putri adalah persembahan terbaik untuk pah nitu yang akan menjamin kesuburan tanah.
Dan aku gagal mencuri kayu itu.
“Dan kau, kaum jelataku berdiamlah terus dalam kebodohanmu. Biarkan hal itu menggetah dan meracuni akal sehatmu. Biarlah segala yang mewangi terurai atas namaku.”
Raja tua berkata, sekaligus menipu. Ia membunuh putri yang rohnya mewangi, demi kisah yang abadi: mausufa adalah upeti berupa kayu cendana yang mutlak rakyat berikan untuknya. Dan itu cuma bualan untuk menguasai hingga ke isi perut rakyatnya.
Ia toh bisa mengawini perempuan kulit putih dari Melaka lalu mencuri lusinan tembikarnya sambil terus berdiam dalam keserakahan yang menggunung hingga atap ume-kbubu-nya. Seratus tahun lamanya ia menjual tubuh dan jiwa putrinya yang kudus kepada pedagang-pedagang yang merapat di selatan dan utara pulau.
Demikian kisahnya.
Ada kelanjutan yang ayah tulis di memoriku. Kau tahu, dulu aku membenci ayahku. Aku selalu meronta ketika ia memaksaku menerima gumpalan kisah-kisah usang itu ke dalam kepalaku. Apalah dayaku dan sebesar apalah ayah jika membandingkan dengan pelototan mata ayah. Aku benci kumisnya. Paksaan merentang jauh. Itu dulu. 

***
Aku mengenal Bi Knino setahun lalu dalam sebuah perjalanan panjang mimpiku tentang kfu seo. Meski aku sebenarnya bukanlah lelaki yang dipilih raja untuk menjadi korban silih atas sebuah ucapan terima kasih buat Bi Knino.
Mobil land rover yang aku sewa baru saja tiba dua jam sebelumnya ke desa Fatumnasi. Aku berencana mewawancarai seorang tetua adat sekaligus mafefa, Mateos Anin. Di rumahnya yang asri lelaki tua dengan mata kalung perak menyala di lehernya, menyambutku.
Katanya, burung koak telah mengabari kalau akan ada tamu spesial. Titisan Meo dari Amanatun. Aku menyeringai. Menahan tawa yang hampir pecah.
Tiba-tiba ia bilang, mataku merah, istirahatlah. Ia lantas mengantarku ke lopo nomor sembilan yang menghadap ke tenggara. Tudurlah, katanya. Malam nanti aku ingin berbicara dengan kakekmu. Aku ingin membawa seluruh buyutmu ke sini. Ia berkata sekejap seperti sedang membacakan matera. Kepalaku berat sudah.
Lima menit kemudian aku tertidur. Menghadap ke jalan maya di tenggara, lantas bersimpuh pada kebisuan kfu seo. Dan perempuan yang mewangi itu. Bi Knino. Ia mulai meracuni hatiku.
***
Ada kabar yang mengehohkan kampung kala itu. Seorang penting pastilah yang mampu meniup tanduk kerbau dengan lantang dari arah timur. Para tetua adat berkumpul, dihantar nyanyian burung yang menandai segala kisah hingga ke gendang telinga mereka. Seorang penting sudah datang. Auuuuhuueeee.... segala koak memecah dari sudut-sudut kampung. Lelaki itu... seperti sebatang ampupu yang tak tegoyahkan. Tatapannya, senja dari gunung Sunu yang tenang bersimpuh pada tangga-tangga maya di tenggara. Ia tentunya bermata elang, tapi ia pandai menyimpan dendam. Busur dan mata kelewangnya telah diolesi racun paling mematikan. Ksatrianya adalah petikan-petikan doa yang diam-diam ia kirimkan ke ujung langit. Ia sesungguhnya menyimpan rindu pada kfu seo yang menghidupkan sejarah.
“Kau bawa apa?”
“Aku lelah. Aku melihat kelapa hijaumu, dapatkah ia membuang dahagaku jauh-jauh?”
Ia tersenyum dan menyibakkan sayap dari balik punggungnya yang liat. Dua gadis belia telah ia bawa kemari.
“Usif menyuruhku mengembalikan tawanan ini kepada raja kalian.”
Detik itu juga aroma pesta berkibar-kibar seperti panji yang lambangnya menyalak. Namanya Tefa Kamlasi. Seorang meo kesayangan Usif Banunaek. Putera fajar, penguasa gunung emas, Amanatun. Kala itu Amanuban terlalu rawan untuk ia lewati dan perseteruan diantara mereka taruh di setiap tapal-tapal batas. Namun bagi saudaranya, Mollo, darah yang bernama telah menjadi air dan abadi di Bitauni.
Namanya Tefa. Meo bermata kucing. Penghantar tawanan perang, yang dihadiahi gadis bernama Bi Toto dan segala keturunan yang menyusu dari lembah Mutis. Termasuk juga aku, pelamun yang sedang menyusuri jalan maya menuju kfu seo di langit tenggara. 

copyright: martineperret.photoshelter.com

***
Lelaki tua di depanku ini, Mateos, kukira ia sedang gila!
Ia tiba-tiba datang dengan pakaian kebesarannya (dengan penuh kalung muti di leher), mengguncang-guncang tubuhku, katanya,
                “Kembalilah!” ia menempelengi pipiku keras-keras. Kukira mataku kembali memerah dan sembab.
Sepuluh orang berpakaian adat telah mengelilingiku. Aku terperanjat. Apa mereka benar-benar memberikan darahku untuk santapan Bi Knino?
                “Bodoh kau! Kenapa kau mencuri kalung muti bermata perak ini?” Sungguh, hardikan terakhir ini menghentikan detak jantungku sesaat.
Mereka yang mengelilingku dan bersegera menyembur mukaku dengan air bercampur ramuan yang entah—sirih pinang pahit dan bubuk kapur yang bernama “pertahanan tradisi” . Doa dan jampi bertebaran. Amis darah ayam meruap. Sopi membasahi mulut gelas. Sirih pinang menutup kegelisahan mereka.
                Siapa yang mencuri dan yang memakainya adalah si gila yang akan aku sembuhkan. Dan mereka mendadak berubah menjadi manusia pohon, berkulit hitam seperti kera yang berbulu turun dari Fatumnasi.
***
Perjalanan ini menyenangkan, kawan. Kau tahu, aku menemukan perempuan itu mencintaiku. Bi Knino nama yang teramat rahasia. Aku hampir saja mencurinya dalam sebuah ritus yang kupelajari dari catatan yang ayah tinggalkan di sebuah ruang rahasia di dalam kepalaku. Aku memang berhasil mencuri hati Bi Knino. Kepadaku ia mengajari cara menghormati bintang di langit tenggara. Ibuku—ayahku—sekaligus. Darinyalah, waktu bisa diajak untuk tak terlalu berjarak dengan manusia. Namun waktu bisa teramat lama jika kau bandingkan dengan kesadaranmu.
Bi Kninolah yang memberiku sebuah kalung. Sani Anin. Itulah nama yang terukir pada lempengan perak bertuah. Katanya, jika kau memakai itu kau bisa menyelamatkan wajah-wajah terasing yang menempel di dinding Fatumnasi. Kau mungkin saja bisa menari bonet dengan kaki yang tak menyentuh tanah di seberang akunaampupu yang telah mengerdil di kaki Mutis. Kau mungkin saja akan menjadi mesias yang menyelamatkan puluhan tubuh yang tertanam hidup-hidup dengan hanya kepala yang menyembul. Atau kaukah korbannya? Malam ini gagak dan anjing hutan akan menggenapinya—melepas mata dan daun telinga jauh dari otakmu. Sedih memang hidup manusia.
Bi Knoni ataukah Hawa? Tubuhmu harum, ada kuncup di dadamu. Kunci—kalung—kunci—kalung seperti racun, seperti bebayang racun.
Aku tak jadi bertemu Tefa.
Aku berjalan dan mendapat pengetahuan baru: semua pintu rumah di kampung ini menyembah ke arah tenggara. Bukan. Ayah sudah menaruh pengetahuan ini sebelumnya, di kepalaku. Adakah kisah lain yang sudah ditaruh ayah di kepalamu?
***
Aku sedang ngeri sendirian di tengah hutan ampupu. Tubuhku memang sudah kaku sebab ia seutuhnya tertanam. Hanyalah kepalaku yang masih utuh menyembut dari dasar tanah menunggu untuk dicabik-cabik anjing hutan. Cerita ayah yang tersisa di kepalaku mungkin saja lenyap bersamaan totokan elang atas otakku yang terburai. Mateos Anin telah menanamku hidup-hidup!


Pasir Panjang, 14 Februari 2014
             
Kfo seo:                bintang Sembilan, salah satu bintang yang muncul di langit tengara menjelang petang yang menjadi tonggak dan sumber kekuatan spiritual bagi masyarakat desa Fatumnasi. Seluruh ume-kbubu di sana menghadap ke kfo seo
Pah nitu:             roh yang mendiami bumi yang dipercaya orang Dawan sebagai pemberi kesuburan atau bertanggungjawab atas sukses dan gagalnya sebuah panenan.
Ume kbubu:       rumah tradisional suku Dawan-Timor, dengan atap dari ilalang dan menjuntai hingga ke tanah
Burung koak:    cikukua tanduk  (Philemon buceroides)

Christian Dicky Senda, penggagas proyek #KanukuLeon: distribusi buku-buku sastra penulis NTT untuk taman baca dan perpus sekolah yang tersebar di NTT. Sedang menulis buku ketiga, #ZuidMiddenTimor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...