Cerpen: Christian
Dicky Senda
untuk Forum SoE Peduli
Kepada yang memancar dan yang
memberi makan,
Dikaulah ibu
Kepada yang memancar dan yang
bersembunyi di langit tenggara
Dikaulah ayah
Rusuk yang menggenapi—menghimpit
dan menyuburkan aliran darah—susu ibu
Perkenankanlah anak cucu melihat
keajaibamu dari pintu ke pintu Ume Kbubu yang seluruhnya mengabdi dikau
Kfu Seo...
***
Aku sedang memandang kfu seo yang terpancar jaya di langit
tenggara. Pandangan yang terlampau polos dan ia seumpama tungku raksasa yang
menyala dalam keleluasaan maya. Kerlipnya makin kentara dari sudut mata polosku, pukul enam petang. Angin
Agustus yang menggigit hingga ke tulang. Kelu yang tak pernah usai aku utarakan
semenjak peristiwa mencuri cendana yang gagal (karena bulan sudah mati). Apa kau mengira aku akan lupa?
Tidak. Lima Ratus tahun lampau Bi Knino yang putih rela mati demi melestarikan
wewangian pada tubuh kayu perkasa sekaligus androgini, yang hendak kucuri itu.
Ayah pernah meninggalkan sesuatu pada lembaran memoriku, bahwasanya raja tua sedang menciptakan bualan
jika putri tunggalnya mati demi kayu nan masyur itu. Sang putri adalah
persembahan terbaik untuk pah nitu
yang akan menjamin kesuburan tanah.
Dan aku gagal
mencuri kayu itu.
“Dan kau, kaum jelataku berdiamlah terus
dalam kebodohanmu. Biarkan hal itu menggetah dan meracuni akal sehatmu. Biarlah
segala yang mewangi terurai atas namaku.”
Raja tua berkata, sekaligus menipu. Ia
membunuh putri yang rohnya mewangi, demi kisah yang abadi: mausufa adalah upeti berupa kayu cendana yang mutlak rakyat berikan
untuknya. Dan itu cuma bualan untuk menguasai hingga ke isi perut rakyatnya.
Ia toh bisa mengawini perempuan kulit putih dari
Melaka lalu mencuri lusinan tembikarnya sambil terus berdiam dalam keserakahan
yang menggunung hingga atap ume-kbubu-nya. Seratus tahun lamanya ia
menjual tubuh dan jiwa putrinya
yang kudus kepada pedagang-pedagang yang merapat di selatan dan utara pulau.
Demikian kisahnya.
Ada kelanjutan yang ayah tulis di
memoriku. Kau tahu, dulu aku membenci ayahku. Aku selalu meronta ketika ia
memaksaku menerima gumpalan kisah-kisah usang itu ke dalam kepalaku. Apalah
dayaku dan sebesar apalah ayah
jika membandingkan dengan pelototan mata ayah. Aku benci kumisnya. Paksaan
merentang jauh. Itu dulu.
***
Aku mengenal Bi Knino setahun lalu dalam
sebuah perjalanan panjang mimpiku tentang kfu
seo.
Meski
aku sebenarnya bukanlah lelaki yang dipilih raja untuk menjadi korban silih
atas sebuah ucapan terima kasih buat Bi Knino.
Mobil land rover yang aku sewa baru saja
tiba dua jam sebelumnya ke desa Fatumnasi. Aku berencana mewawancarai seorang
tetua adat sekaligus mafefa, Mateos Anin. Di rumahnya yang asri lelaki tua
dengan mata kalung perak menyala di lehernya, menyambutku.
Katanya, burung koak telah mengabari kalau akan
ada tamu spesial. Titisan Meo dari Amanatun. Aku menyeringai. Menahan tawa yang
hampir pecah.
Tiba-tiba ia bilang, mataku merah,
istirahatlah. Ia lantas mengantarku ke lopo nomor sembilan yang menghadap ke tenggara.
Tudurlah, katanya. Malam nanti aku ingin berbicara dengan kakekmu. Aku ingin
membawa seluruh buyutmu ke sini. Ia berkata sekejap seperti sedang membacakan
matera. Kepalaku berat sudah.
Lima menit kemudian aku tertidur.
Menghadap ke jalan maya di tenggara, lantas bersimpuh pada kebisuan kfu seo. Dan perempuan yang mewangi itu.
Bi Knino. Ia mulai meracuni hatiku.
***
Ada kabar yang mengehohkan kampung kala
itu. Seorang penting pastilah yang mampu meniup tanduk kerbau dengan lantang
dari arah timur. Para tetua adat berkumpul, dihantar nyanyian burung yang
menandai segala kisah hingga ke gendang telinga mereka. Seorang penting sudah
datang. Auuuuhuueeee.... segala koak
memecah dari sudut-sudut kampung. Lelaki itu... seperti sebatang ampupu yang
tak tegoyahkan. Tatapannya, senja dari gunung Sunu
yang tenang bersimpuh pada tangga-tangga maya di tenggara. Ia tentunya bermata elang, tapi ia
pandai menyimpan dendam. Busur dan mata kelewangnya telah diolesi racun paling
mematikan. Ksatrianya
adalah petikan-petikan doa yang diam-diam ia kirimkan ke ujung langit. Ia
sesungguhnya menyimpan rindu pada kfu seo yang
menghidupkan sejarah.
“Kau bawa apa?”
“Aku lelah. Aku melihat kelapa hijaumu,
dapatkah ia membuang dahagaku jauh-jauh?”
Ia tersenyum dan menyibakkan sayap dari balik punggungnya
yang liat. Dua gadis belia telah ia bawa kemari.
“Usif menyuruhku mengembalikan tawanan
ini kepada raja kalian.”
Detik itu juga aroma pesta berkibar-kibar
seperti panji yang lambangnya menyalak. Namanya Tefa Kamlasi. Seorang meo
kesayangan Usif Banunaek. Putera fajar, penguasa gunung emas, Amanatun. Kala itu Amanuban terlalu rawan untuk ia lewati dan perseteruan diantara mereka taruh di setiap
tapal-tapal batas. Namun bagi saudaranya, Mollo, darah yang bernama telah
menjadi air dan abadi di Bitauni.
Namanya Tefa. Meo bermata kucing.
Penghantar tawanan perang, yang dihadiahi gadis bernama Bi Toto dan segala keturunan yang
menyusu dari lembah
Mutis. Termasuk juga aku, pelamun yang sedang menyusuri jalan maya menuju kfu seo di langit tenggara.
copyright: martineperret.photoshelter.com |
***
Lelaki tua di depanku ini, Mateos, kukira
ia sedang gila!
Ia tiba-tiba datang dengan pakaian
kebesarannya (dengan penuh kalung muti di leher), mengguncang-guncang tubuhku,
katanya,
“Kembalilah!”
ia menempelengi pipiku keras-keras. Kukira mataku kembali memerah dan sembab.
Sepuluh orang berpakaian adat telah
mengelilingiku. Aku terperanjat. Apa mereka benar-benar memberikan darahku untuk
santapan Bi Knino?
“Bodoh
kau! Kenapa kau mencuri kalung muti bermata perak ini?” Sungguh, hardikan terakhir ini menghentikan detak jantungku
sesaat.
Mereka yang mengelilingku dan bersegera menyembur mukaku dengan
air bercampur ramuan yang entah—sirih pinang pahit dan bubuk kapur yang bernama
“pertahanan tradisi” .
Doa dan jampi bertebaran. Amis darah ayam meruap. Sopi membasahi mulut gelas.
Sirih pinang menutup kegelisahan mereka.
Siapa yang
mencuri dan yang memakainya adalah si gila yang akan aku sembuhkan. Dan mereka
mendadak berubah menjadi manusia pohon, berkulit hitam seperti kera yang
berbulu turun dari Fatumnasi.
***
Perjalanan ini menyenangkan, kawan. Kau
tahu, aku menemukan perempuan itu mencintaiku. Bi Knino nama yang teramat
rahasia. Aku hampir saja mencurinya dalam sebuah ritus yang kupelajari dari
catatan yang ayah tinggalkan di sebuah ruang rahasia di dalam kepalaku. Aku
memang berhasil mencuri hati Bi Knino. Kepadaku ia mengajari cara menghormati
bintang di langit tenggara. Ibuku—ayahku—sekaligus. Darinyalah, waktu bisa diajak untuk tak terlalu berjarak
dengan manusia. Namun waktu bisa teramat lama jika kau bandingkan dengan
kesadaranmu.
Bi Kninolah yang memberiku sebuah kalung.
Sani Anin. Itulah nama yang
terukir pada lempengan perak bertuah. Katanya, jika kau memakai itu kau bisa
menyelamatkan wajah-wajah terasing yang menempel di dinding Fatumnasi. Kau
mungkin saja bisa menari bonet dengan kaki yang tak menyentuh tanah di seberang
akuna—ampupu yang telah
mengerdil di kaki
Mutis. Kau mungkin saja akan menjadi mesias yang menyelamatkan puluhan tubuh
yang tertanam hidup-hidup dengan hanya kepala yang menyembul. Atau kaukah
korbannya? Malam ini gagak dan anjing hutan akan menggenapinya—melepas mata dan
daun telinga jauh dari otakmu.
Sedih memang hidup manusia.
Bi Knoni ataukah Hawa? Tubuhmu harum, ada kuncup di dadamu. Kunci—kalung—kunci—kalung seperti racun,
seperti bebayang racun.
Aku tak jadi bertemu Tefa.
Aku berjalan dan mendapat
pengetahuan baru: semua pintu rumah di kampung ini menyembah ke arah tenggara. Bukan. Ayah sudah
menaruh pengetahuan ini sebelumnya, di kepalaku. Adakah kisah lain yang sudah ditaruh
ayah di kepalamu?
***
Aku sedang ngeri
sendirian di tengah hutan ampupu. Tubuhku memang sudah kaku sebab ia seutuhnya
tertanam. Hanyalah kepalaku yang masih utuh menyembut dari dasar tanah menunggu
untuk dicabik-cabik anjing hutan. Cerita ayah yang tersisa di kepalaku mungkin
saja lenyap bersamaan totokan elang atas otakku yang terburai. Mateos Anin telah menanamku
hidup-hidup!
Pasir Panjang, 14 Februari 2014
Kfo seo: bintang
Sembilan, salah satu bintang yang muncul di langit tengara menjelang petang
yang menjadi tonggak dan sumber kekuatan spiritual bagi masyarakat desa Fatumnasi. Seluruh ume-kbubu di
sana menghadap ke kfo seo
Pah nitu: roh
yang mendiami bumi yang dipercaya orang Dawan sebagai pemberi kesuburan atau
bertanggungjawab atas sukses dan gagalnya sebuah panenan.
Ume kbubu: rumah
tradisional suku Dawan-Timor, dengan atap dari ilalang dan menjuntai hingga ke
tanah
Burung koak: cikukua
tanduk (Philemon
buceroides)
Christian
Dicky Senda, penggagas proyek #KanukuLeon:
distribusi buku-buku sastra penulis NTT untuk taman baca dan perpus sekolah
yang tersebar di NTT. Sedang menulis buku ketiga, #ZuidMiddenTimor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...