Christian Dicky Senda adalah salah satu penulis produktif yang dimiliki NTT saat ini. Ia menulis cerita pendek, puisi hingga resensi film. Penulis yang bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Komunitas Blogger NTT dan Forum SoE Peduli ini lahir dan menghabiskan masa remaja di Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Ia kemudian pindah ke Ende untuk bersekolah di SMAK Syuradikara. Saat di Syuradikara, ia sudah terbiasa menulis puisi di buku harian. Semangatnya untuk menulis cerita menggebu ketika diperkenalkan oleh seorang biarawan pembimbingnya di asrama pada novel Saman karya Ayu Utami. Tahun 2005-2011 ia menetap di Jogjakarta sambil kuliah di D3 Komunikasi Periklanan di UGM (tidak selesai) lalu melanjutkan ke Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Sempat bekerja selama dua tahun sebagai konselor dan supervisor pendidikan di sebuah sekolah alam di Jogja, lantas memutuskan untuk kembali ke Timor.
Dicky, begitu ia biasa disapa
oleh teman-temannya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, telah menerbitkan dua
buku. Cerah Hati (IBC, Jogja) adalah kumpulan puisinya yang terbit tahun
2011 dan berbicara tentang cinta, persahabatan dan sisi lain alam bawah sadar yang ditulis selama berada di perantauan. Tahun 2013, ia
menerbitkan kumpulan cerpen Kanuku Leon (IBC, Jogja) yang menurutnya
banyak berkisah tentang lokalitas Timor dan sisi-sisi psikologis manusia.
Juni 2013
diundang untuk memperkenalkan karyanya di ajang Makassar International Writers
Festival. Ia bekerja sebagai konselor pendidikan di SMPK St. Theresia Kupang
sambil terus mengembangkan kesukaanya pada dunia sinema dan kuliner sekaligus
bikin film pendek bersama anak didiknya di sekolah. Sementara ini, ia mengambil
cuti untuk mengikuti program ELTA demi mewujudkan cita-citanya mendalami
pendidikan anak dan remaja. Puisi-puisi dan cerpen-cerpennya yang menggarap
tema lokalitas atau historis, berasal dari keprihatinannya pada generasi
seangkatannya yang mulai mengabaikan budaya tradisi dan melupakan sejarah.
Sejumlah kiprahnya juga diulas dalam buku Yohanes Sehandi Mengenal Sastra
dan Sastrawan NTT. Berikut petikan wawancaranya dengan Santarang.
Sejak kapan
Anda tertarik menulis? Bisa jelaskan?
Puisi pertama
tentang kabut yang menjelma menjadi anak pelamun, pertama kali dimuat di mading
(majalah dinding) SMP di Kapan. Kala itu rasanya bangga luar biasa. Apalagi
setelah mendapat respon yang positif dari guru Bahasa Indonesia. Tapi
sebelumnya, sejak SD saya memang sudah terbiasa menulis catatan harian
berkorespondensi via surat dengan teman sebaya di luar NTT. Semua isi kepala
yang kebanyakan imajinasi liar saya tulis dari masa kanak hingga remaja. Sayang
sekali catatan-catatan itu hilang ketika saya pindah kos saat kuliah di Jogja.
Siapa dari antara orang-orang terdekat yang
menginspirasi Anda? Bisa Anda jelaskan pengaruh mereka yang Anda rasakan di
dalam tulisan-tulisan Anda?
Keluarga.
Bapak dan Ibu saya adalah pencerita yang baik dan saya terbiasa menghidupkan
cerita-cerita tersebut dalam imajinasi saya lalu saya tuangkan dalam
catatan-catatan di buku harian saya. Saya adalah anak bungsu yang sangat
menikmati masa kanak-kanak di rumah bersama orangtua ketika semua kakak-kakak
saya sudah keluar dari rumah karena bersekolah di kota lain atau menikah. Kami
bertiga bisa mengobrol banyak hal di dapur sambil menemani mama saya memasak,
di depan televisi, hingga di kamar tidur—yah, saya terlalu dekat dengan Bapak
Ibu saya dan kami bisa mengobrol hingga larut malam! Bagi saya, orangtua saya
adalah the real mafefa dalam hidup saya. Mafefa di sini maksudnya
penutur berbagai kisah sejarah, budaya dan silsilah keluarga. Hanya satu yang
saya sayangkan, sejak kecil orangtua tidak membiasakan anak-anaknya berbicara
dalam bahasa daerah, baik bahasa Bapak (Ende Lio) maupun bahasa Ibu (Dawan).
Tentang mafefa
yang sebenarnya di luar sana, saya pun menaruh banyak sekali perhatian
kepada mereka belakangan ini. Bagi saya, mereka punya banyak kisah yang
semuanya tak tertulis melainkan hanya hidup lewat tuturan. Seperti halnya
orangtua saya. Hal ini yang kemudian menjadi kekhawatiran saya kini dan kemudian
mendorong saya untuk giat menulis kembali (tentunya dengan cara fiksi dan
segala bumbu-bumbunya) hanya agar kisah-kisah itu janganlah mati. Ada teman
saya asal Kapan, seorang akademisi di bidang sejarah, juga melakukan hal yang
sama dengan mimpi sejenis dengan caranya. Ini membahagiakan saya, mengingat
banyak mafefa telah wafat dan kita kehilangan jejak mereka!
Selain
keluarga tentunya saya punya banyak sekali kawan-kawan di Komunitas Sastra
Dusun Flobamora yang sangat luar biasa menginspirasi dan memberi semangat
kepada saya untuk terus
berkarya. Mereka (yang tanpa sadar) mengajarkan saya untuk
menghargai proses dalam berkreativitas.
Penulis
yang menginspirasi gaya menulis Anda?
Saya menyukai
karya-karya Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami dan Albert Camus. Bagi saya
pribadi, mereka punya karakter yang kuat dalam mengungkapkan sisi psikologis
(bawah sadar) tokoh-tokohnya dan piawai menghidupkan suasana. Saya menyukai
penulis yang suka „bermain-main‟ dengan imajinasi dan sisi psikologis
manusia. Tokoh dalam cerita-cerita mereka selalu hidup dalam kepala saya.
Kumpulan
cerpen Anda, Kanuku
Leon, mengangkat tema-tema cinta lingkungan, historis, dan tradisi lokal.
Bagaimana proses kreatifnya?
Kanuku Leon
sebenarnya adalah
buah dari mimpi dan imajinasi yang telah saya pelihara sejak kecil. Saya
mempercayai proses dan Kanuku Leon adalah wujud dari proses saya
memelihara imajinasi sejak masa kanak saya dulu. Meski akhirnya saya harus
berkompromi di sana sini untuk akhirnya memutuskan menerbitkan hanya 16 cerpen
dalam buku tersebut. Sebenarnya saya belum puas dengan hasil yang ada. Banyak
mimpi dan imaji yang belum saya keluarkan di Kanuku Leon. Mungkin
semangat itu akan saya hidupkan di buku selanjutnya.
Dulu saya
ingin menulis novel, tapi saya sadar dengan kapasitas yang ada sehingga saya
hanya berani untuk menulisnya dalam penggalan-penggalan berupa cerpen saja.
Apa yang ingin Anda sampaikan melalui cerpen-cerpen
tersebut?
Seperti yang
sudah saya singgung sebelumnya, Kanuku Leon awalnya lahir dari
kekhawatiran saya akan semakin memudarnya perhatian dan kecintaan anak muda di
NTT, khususnya Timor, terhadap kisah-kisah historis, lingkungan dan tradisi
lokal yang saya percayai kebanyakan lahir dan bertumbuh di rumah, dalam
keluarga, di dapur, di meja makan, di ruang keluarga, pesta-pesta adat, dan
lain-lain.
Untuk
menerbitkan Kanuku
Leon, Anda menggunakan cara crowd-funding. Apa yang mendasari Anda
menempuh cara itu?
Awalnya karena
saya dan teman-teman lain yang saya lihat kesulitan untuk menerbitkan buku
secara indie karena butuh dana dari kantong sendiri. Tapi sebenarnya
problemnya tidak sebatas itu saja. Saya melihat di NTT, apresiasi terhadap
hasil karya buku yang ditulis oleh orang NTT sendiri masih sangat minim.
Mungkin soal budaya membaca buku yang juga relatif rendah. Entahlah. Tapi pada
problem tadi saya menitikberatkan pada orang-orang mudanya.
Sejak tahun
2006 saya adalah blogger artinya saya aktif di media sosial. Saya juga
punya basic kuliah Komunikasi-Periklanan (meski tak selesai). Keduanya
sangat menginspirasi saya untuk berbuat sesuatu dengan kekuatan internet.
Hitung-hitung, sekalian saya mengetes sejauh mana tingkat apresiasi dan
kepedulian kawan-kawan pengguna media sosial terhadap isu yang saya lemparkan
dalam hal ini proses menerbitkan Kanuku Leon dengan latar belakang dan
caranya. Saya sebenarnya optimis karena menerbitkan buku dengan crowd-funding
bukanlah baru bagi saya. Sebelum Kanuku Leon saya sudah menggarap buku puisi
saya Cerah Hati dan buku antologi cerita Alumni SMAK Syuradikara
berjudul 5900 Langkah dengan sistem crowd-funding. Proposal Cerah
Hati saya tawarkan ke teman-teman kos, paduan suara, kampus, dan komunitas
di Jogja kala itu, meski akhirnya kakak saya Sipri Senda jugalah yang menggenapinya
sehingga bisa terbit. Hahaha.
Nilai jual crowd-funding
ala saya adalah, kawan-kawan yang mendukung dengan nominal tertentu tidak
saja mendapat buku Kanuku Leon tetapi sekaligus membuka lebar kesempatan
Kanuku Leon dan sekian banyak buku sastra karya penulis NTT lainnya
untuk tersebar luas di berbagai rumah atau taman baca yang ada di wilayah NTT.
Niat saya, karya-karya tersebut harus dikenal dan dicintai dulu di kampung
halaman sendiri.
Suka duka
apa yang Anda lami selama proses crowd-funding?
Sukanya, saya
semakin gaul dan terkenal di media sosial karena setiap cuitan saya di twitter
direspon dengan ramai. Terima kasih saya ucapkan untuk kawan-kawan muda NTT
yang begitu peduli terhadap gerakan kecil yang saya lakukan. Kalau dukanya, ada
juga yang menganggap sebelah mata usaha saya ini. Proposal saya dibantai dengan
segala tuduhan ini itu. Tapi itu sama sekali tak menyurutkan niat saya.
Di media
sosial Twitter, Ayu Utami pernah menyebut nama Anda dalam sebuah cuitannya yang
menyinggung juga tentang kebangkitan sastra NTT. Perasaan Anda? Mengapa?
Saya sangat
menghormati beliau terutama karena beliau begitu bermurah hati untuk membuka
ruang diskusi atau komunikasi dengan saya selama ini. Meski lewat dunia maya
namun saya merasakan betul energinya dalam berkarya bisa menginspriasi saya dan
mungkin teman-teman muda NTT lainnya untuk percaya dengan kemampuan
diri yang kita punya dan percaya pada kekayaan tradisi
kebudayaan kita. Itu saja. Saya hargai itu.
Selain
cerpen, Anda juga menulis puisi. Lebih nyaman mana, menulis cerpen atau puisi?
Mengapa?
Sejauh ini
memang lebih nyaman menulis cerpen, meski awalnya saya menulis puisi. Saya
hanya belum menemukan kenyamanan menulis puisi sebagaimana kenyamanan itu saya
dapatkan saat menulis cerpen. Entahlah. Saya mungkin perlu banyak membaca dan
mencoba menemukan gaya, warna dan roh berpuisi saya. Mungkin nanti. Tapi saat
ini saya merasa puisi-puisi saya terlalu jelek.
Anda sedang
mempersiapkan proyek terbaru yang Anda beri judul Zuid Midden Timor. Bisa Anda
berikan sedikit gambaran?
Hahaha... Ini
sebenarnya masih rahasia, tapi saya sengaja melempar cuitanya di twitter. Bukan
untuk pamer sebenarnya, tapi untuk menjaga agar semangat mengerjakan proyek itu
tidak mati. Ini boleh dibilang tentang cara pandang saya melihat sejarah dan
kebudayaan Timor Tengah Selatan. Akhir tahun 2013 saya pergi melakukan riset
kecil nan sederhana sebagai bagian dari rancangan proyek Zuid Midden Timor ke
Fatumnasi di Mollo. Fatumnasi, sebuah desa purba sebab dikelilingi batu marmer
berusia ribuan tahun yang saya percayai sebagai jejak fisik tertua dari pulau
Timor sejak pulau ini mencuat dari dasar samudera. Saya menginap selama
beberapa hari di rumah seorang mafefa yakni Mateos Anin, pewaris salah
satu rumah adat tua di sana. Saya hanya ingin menggali perspektif mereka
sebagai keturunan orang Timor purba dan bagaimana mistisisme yang masih mereka
pelihara hingga saat ini. Setelah Fatumnasi saya ingin ke Mutis, Fatukopa,
Gunung Sunu dan kampung Boti. Zuid Midden Timor mungkin saja akan
berkisah tentang kekuatan kearifan lokal masyarakat tiga batu tungku; Mollo,
Amanatun dan Amanuban.
Ketika sedang merajut mimpi Zuid Midden Timor, saya
bertemu dengan beberapa teman dari stasiun televisi NET. yang kemudian
merekam perjalanan riset saya ke Fatumnasi dalam program Indonesia Bagus.
Ini bukan soal Zuid Midden TImor, tetapi bagaimana Indonesia tahu bahwa
di Timor ada segolongan orang terpilih bernama mafefa yang setia
menghidupkan berbagai kisah kearifal lokal dengan mulutnya, sepat sirih pinang
dan sopi yang sedikit memabukkan.
Kenapa
menggunakan frasa „Zuid
Midden Timor‟ dan bukan „Timor Tengah Selatan‟?
Mungkin ini
cara saya untuk melihat ulang sejarah, bagaimana trik-trik Belanda saat memecah
belah tatanan kebudayaan yang sudah eksis sebelumnya. Ah, entahlah. Sejauh ini Zuid
Midden Timor masih dalam proses, mungkin akan berubah banyak di tengah
jalan. Sebaiknya saya keep dulu.
Pernah
berpikir untuk menjadikan menulis sebagai profesi? Mengapa?
Tidak. Atau
tepatnya belum untuk saat ini. Saya masih punya mimpi besar dan utama selain
sebagai penulis. Sejak tahun 2009 saat masih semester 6 saya sudah terjun ke
dunia pendidikan anak-anak dan remaja. Tentunya pendidikan dari sisi psikologi,
bidang ilmu yang saya geluti sejak kuliah. Tapi saya akan terus menulis dan
bergiat di komunitas sastra.
Anda puas
dengan pencapaian Anda selama ini?
Puas dan
sangat bersyukur setiap kali berhasil menapaki titik-titik dalam perjalanan
hidup saya. Dengan begitu saya tidak cepat puas dan lupa diri. Apalagi selalu
ada kawan-kawan di Dusun Flobamora yang dalam diam kerap mengingatkan saya
untuk menghargai proses.
Bagaimana Anda memandang sastra dan dunia kepenulisan
pada umumnya?
Saya kira
sastra akan lestari ketika ia dikerjakan dengan kejujuran dan penghargaan atas
proses. Saya juga senang karena ruang apresiasi dan kritik terhadap sastra
telah bertumbuh di NTT. Saya berharap Komunitas Sastra Dusun Flobamora yang
dianggap sudah cukup eksis di Kupang, mungkin bisa membantu memacu semangat
berkreasi di kabupaten-kabupaten lain di NTT. Saya kira di Ende, misalnya,
semangat itu sudah nampak. Itu bagus sekali. Lewat media sosial saya terus
menyuarakan itu. (rio)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...