Rabu, 09 April 2014

Berusaha Melawan Lupa


 Berikut ini adalah profil saya di Jurnal Sastra Santarang edisi Januari 2014.


Christian Dicky Senda adalah salah satu penulis produktif yang dimiliki NTT saat ini. Ia menulis cerita pendek, puisi hingga resensi film. Penulis yang bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Komunitas Blogger NTT dan Forum SoE Peduli ini lahir dan menghabiskan masa remaja di Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Ia kemudian pindah ke Ende untuk bersekolah di SMAK Syuradikara. Saat di Syuradikara, ia sudah terbiasa menulis puisi di buku harian. Semangatnya untuk menulis cerita menggebu ketika diperkenalkan oleh seorang biarawan pembimbingnya di asrama pada novel Saman karya Ayu Utami. Tahun 2005-2011 ia menetap di Jogjakarta sambil kuliah di D3 Komunikasi Periklanan di UGM (tidak selesai) lalu melanjutkan ke Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana. Sempat bekerja selama dua tahun sebagai konselor dan supervisor pendidikan di sebuah sekolah alam di Jogja, lantas memutuskan untuk kembali ke Timor. 
Dicky, begitu ia biasa disapa oleh teman-temannya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora, telah menerbitkan dua buku. Cerah Hati (IBC, Jogja) adalah kumpulan puisinya yang terbit tahun 2011 dan berbicara tentang cinta, persahabatan dan sisi lain alam bawah sadar yang ditulis selama berada di perantauan. Tahun 2013, ia menerbitkan kumpulan cerpen Kanuku Leon (IBC, Jogja) yang menurutnya banyak berkisah tentang lokalitas Timor dan sisi-sisi psikologis manusia.
Juni 2013 diundang untuk memperkenalkan karyanya di ajang Makassar International Writers Festival. Ia bekerja sebagai konselor pendidikan di SMPK St. Theresia Kupang sambil terus mengembangkan kesukaanya pada dunia sinema dan kuliner sekaligus bikin film pendek bersama anak didiknya di sekolah. Sementara ini, ia mengambil cuti untuk mengikuti program ELTA demi mewujudkan cita-citanya mendalami pendidikan anak dan remaja. Puisi-puisi dan cerpen-cerpennya yang menggarap tema lokalitas atau historis, berasal dari keprihatinannya pada generasi seangkatannya yang mulai mengabaikan budaya tradisi dan melupakan sejarah. Sejumlah kiprahnya juga diulas dalam buku Yohanes Sehandi Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Berikut petikan wawancaranya dengan Santarang. 
Sejak kapan Anda tertarik menulis? Bisa jelaskan? 
Puisi pertama tentang kabut yang menjelma menjadi anak pelamun, pertama kali dimuat di mading (majalah dinding) SMP di Kapan. Kala itu rasanya bangga luar biasa. Apalagi setelah mendapat respon yang positif dari guru Bahasa Indonesia. Tapi sebelumnya, sejak SD saya memang sudah terbiasa menulis catatan harian berkorespondensi via surat dengan teman sebaya di luar NTT. Semua isi kepala yang kebanyakan imajinasi liar saya tulis dari masa kanak hingga remaja. Sayang sekali catatan-catatan itu hilang ketika saya pindah kos saat kuliah di Jogja. 
Siapa dari antara orang-orang terdekat yang menginspirasi Anda? Bisa Anda jelaskan pengaruh mereka yang Anda rasakan di dalam tulisan-tulisan Anda? 
Keluarga. Bapak dan Ibu saya adalah pencerita yang baik dan saya terbiasa menghidupkan cerita-cerita tersebut dalam imajinasi saya lalu saya tuangkan dalam catatan-catatan di buku harian saya. Saya adalah anak bungsu yang sangat menikmati masa kanak-kanak di rumah bersama orangtua ketika semua kakak-kakak saya sudah keluar dari rumah karena bersekolah di kota lain atau menikah. Kami bertiga bisa mengobrol banyak hal di dapur sambil menemani mama saya memasak, di depan televisi, hingga di kamar tidur—yah, saya terlalu dekat dengan Bapak Ibu saya dan kami bisa mengobrol hingga larut malam! Bagi saya, orangtua saya adalah the real mafefa dalam hidup saya. Mafefa di sini maksudnya penutur berbagai kisah sejarah, budaya dan silsilah keluarga. Hanya satu yang saya sayangkan, sejak kecil orangtua tidak membiasakan anak-anaknya berbicara dalam bahasa daerah, baik bahasa Bapak (Ende Lio) maupun bahasa Ibu (Dawan).
Tentang mafefa yang sebenarnya di luar sana, saya pun menaruh banyak sekali perhatian kepada mereka belakangan ini. Bagi saya, mereka punya banyak kisah yang semuanya tak tertulis melainkan hanya hidup lewat tuturan. Seperti halnya orangtua saya. Hal ini yang kemudian menjadi kekhawatiran saya kini dan kemudian mendorong saya untuk giat menulis kembali (tentunya dengan cara fiksi dan segala bumbu-bumbunya) hanya agar kisah-kisah itu janganlah mati. Ada teman saya asal Kapan, seorang akademisi di bidang sejarah, juga melakukan hal yang sama dengan mimpi sejenis dengan caranya. Ini membahagiakan saya, mengingat banyak mafefa telah wafat dan kita kehilangan jejak mereka!
Selain keluarga tentunya saya punya banyak sekali kawan-kawan di Komunitas Sastra Dusun Flobamora yang sangat luar biasa menginspirasi dan memberi semangat kepada saya untuk terus
berkarya. Mereka (yang tanpa sadar) mengajarkan saya untuk menghargai proses dalam berkreativitas. 
Penulis yang menginspirasi gaya menulis Anda? 
Saya menyukai karya-karya Seno Gumira Ajidarma, Ayu Utami dan Albert Camus. Bagi saya pribadi, mereka punya karakter yang kuat dalam mengungkapkan sisi psikologis (bawah sadar) tokoh-tokohnya dan piawai menghidupkan suasana. Saya menyukai penulis yang suka „bermain-main dengan imajinasi dan sisi psikologis manusia. Tokoh dalam cerita-cerita mereka selalu hidup dalam kepala saya. 
Kumpulan cerpen Anda, Kanuku Leon, mengangkat tema-tema cinta lingkungan, historis, dan tradisi lokal. Bagaimana proses kreatifnya? 
Kanuku Leon sebenarnya adalah buah dari mimpi dan imajinasi yang telah saya pelihara sejak kecil. Saya mempercayai proses dan Kanuku Leon adalah wujud dari proses saya memelihara imajinasi sejak masa kanak saya dulu. Meski akhirnya saya harus berkompromi di sana sini untuk akhirnya memutuskan menerbitkan hanya 16 cerpen dalam buku tersebut. Sebenarnya saya belum puas dengan hasil yang ada. Banyak mimpi dan imaji yang belum saya keluarkan di Kanuku Leon. Mungkin semangat itu akan saya hidupkan di buku selanjutnya.
Dulu saya ingin menulis novel, tapi saya sadar dengan kapasitas yang ada sehingga saya hanya berani untuk menulisnya dalam penggalan-penggalan berupa cerpen saja. 
Apa yang ingin Anda sampaikan melalui cerpen-cerpen tersebut? 
Seperti yang sudah saya singgung sebelumnya, Kanuku Leon awalnya lahir dari kekhawatiran saya akan semakin memudarnya perhatian dan kecintaan anak muda di NTT, khususnya Timor, terhadap kisah-kisah historis, lingkungan dan tradisi lokal yang saya percayai kebanyakan lahir dan bertumbuh di rumah, dalam keluarga, di dapur, di meja makan, di ruang keluarga, pesta-pesta adat, dan lain-lain. 
Untuk menerbitkan Kanuku Leon, Anda menggunakan cara crowd-funding. Apa yang mendasari Anda menempuh cara itu? 
Awalnya karena saya dan teman-teman lain yang saya lihat kesulitan untuk menerbitkan buku secara indie karena butuh dana dari kantong sendiri. Tapi sebenarnya problemnya tidak sebatas itu saja. Saya melihat di NTT, apresiasi terhadap hasil karya buku yang ditulis oleh orang NTT sendiri masih sangat minim. Mungkin soal budaya membaca buku yang juga relatif rendah. Entahlah. Tapi pada problem tadi saya menitikberatkan pada orang-orang mudanya.
Sejak tahun 2006 saya adalah blogger artinya saya aktif di media sosial. Saya juga punya basic kuliah Komunikasi-Periklanan (meski tak selesai). Keduanya sangat menginspirasi saya untuk berbuat sesuatu dengan kekuatan internet. Hitung-hitung, sekalian saya mengetes sejauh mana tingkat apresiasi dan kepedulian kawan-kawan pengguna media sosial terhadap isu yang saya lemparkan dalam hal ini proses menerbitkan Kanuku Leon dengan latar belakang dan caranya. Saya sebenarnya optimis karena menerbitkan buku dengan crowd-funding bukanlah baru bagi saya. Sebelum Kanuku Leon saya sudah menggarap buku puisi saya Cerah Hati dan buku antologi cerita Alumni SMAK Syuradikara berjudul 5900 Langkah dengan sistem crowd-funding. Proposal Cerah Hati saya tawarkan ke teman-teman kos, paduan suara, kampus, dan komunitas di Jogja kala itu, meski akhirnya kakak saya Sipri Senda jugalah yang menggenapinya sehingga bisa terbit. Hahaha.
Nilai jual crowd-funding ala saya adalah, kawan-kawan yang mendukung dengan nominal tertentu tidak saja mendapat buku Kanuku Leon tetapi sekaligus membuka lebar kesempatan Kanuku Leon dan sekian banyak buku sastra karya penulis NTT lainnya untuk tersebar luas di berbagai rumah atau taman baca yang ada di wilayah NTT. Niat saya, karya-karya tersebut harus dikenal dan dicintai dulu di kampung halaman sendiri. 
Suka duka apa yang Anda lami selama proses crowd-funding? 
Sukanya, saya semakin gaul dan terkenal di media sosial karena setiap cuitan saya di twitter direspon dengan ramai. Terima kasih saya ucapkan untuk kawan-kawan muda NTT yang begitu peduli terhadap gerakan kecil yang saya lakukan. Kalau dukanya, ada juga yang menganggap sebelah mata usaha saya ini. Proposal saya dibantai dengan segala tuduhan ini itu. Tapi itu sama sekali tak menyurutkan niat saya. 
Di media sosial Twitter, Ayu Utami pernah menyebut nama Anda dalam sebuah cuitannya yang menyinggung juga tentang kebangkitan sastra NTT. Perasaan Anda? Mengapa?
Saya sangat menghormati beliau terutama karena beliau begitu bermurah hati untuk membuka ruang diskusi atau komunikasi dengan saya selama ini. Meski lewat dunia maya namun saya merasakan betul energinya dalam berkarya bisa menginspriasi saya dan mungkin teman-teman muda NTT lainnya untuk percaya dengan kemampuan
diri yang kita punya dan percaya pada kekayaan tradisi kebudayaan kita. Itu saja. Saya hargai itu. 
Selain cerpen, Anda juga menulis puisi. Lebih nyaman mana, menulis cerpen atau puisi? Mengapa? 
Sejauh ini memang lebih nyaman menulis cerpen, meski awalnya saya menulis puisi. Saya hanya belum menemukan kenyamanan menulis puisi sebagaimana kenyamanan itu saya dapatkan saat menulis cerpen. Entahlah. Saya mungkin perlu banyak membaca dan mencoba menemukan gaya, warna dan roh berpuisi saya. Mungkin nanti. Tapi saat ini saya merasa puisi-puisi saya terlalu jelek. 
Anda sedang mempersiapkan proyek terbaru yang Anda beri judul Zuid Midden Timor. Bisa Anda berikan sedikit gambaran? 
Hahaha... Ini sebenarnya masih rahasia, tapi saya sengaja melempar cuitanya di twitter. Bukan untuk pamer sebenarnya, tapi untuk menjaga agar semangat mengerjakan proyek itu tidak mati. Ini boleh dibilang tentang cara pandang saya melihat sejarah dan kebudayaan Timor Tengah Selatan. Akhir tahun 2013 saya pergi melakukan riset kecil nan sederhana sebagai bagian dari rancangan proyek Zuid Midden Timor ke Fatumnasi di Mollo. Fatumnasi, sebuah desa purba sebab dikelilingi batu marmer berusia ribuan tahun yang saya percayai sebagai jejak fisik tertua dari pulau Timor sejak pulau ini mencuat dari dasar samudera. Saya menginap selama beberapa hari di rumah seorang mafefa yakni Mateos Anin, pewaris salah satu rumah adat tua di sana. Saya hanya ingin menggali perspektif mereka sebagai keturunan orang Timor purba dan bagaimana mistisisme yang masih mereka pelihara hingga saat ini. Setelah Fatumnasi saya ingin ke Mutis, Fatukopa, Gunung Sunu dan kampung Boti. Zuid Midden Timor mungkin saja akan berkisah tentang kekuatan kearifan lokal masyarakat tiga batu tungku; Mollo, Amanatun dan Amanuban.
Ketika sedang merajut mimpi Zuid Midden Timor, saya bertemu dengan beberapa teman dari stasiun televisi NET. yang kemudian merekam perjalanan riset saya ke Fatumnasi dalam program Indonesia Bagus. Ini bukan soal Zuid Midden TImor, tetapi bagaimana Indonesia tahu bahwa di Timor ada segolongan orang terpilih bernama mafefa yang setia menghidupkan berbagai kisah kearifal lokal dengan mulutnya, sepat sirih pinang dan sopi yang sedikit memabukkan. 
Kenapa menggunakan frasa „Zuid Midden Timor dan bukan „Timor Tengah Selatan?
Mungkin ini cara saya untuk melihat ulang sejarah, bagaimana trik-trik Belanda saat memecah belah tatanan kebudayaan yang sudah eksis sebelumnya. Ah, entahlah. Sejauh ini Zuid Midden Timor masih dalam proses, mungkin akan berubah banyak di tengah jalan. Sebaiknya saya keep dulu. 
Pernah berpikir untuk menjadikan menulis sebagai profesi? Mengapa? 
Tidak. Atau tepatnya belum untuk saat ini. Saya masih punya mimpi besar dan utama selain sebagai penulis. Sejak tahun 2009 saat masih semester 6 saya sudah terjun ke dunia pendidikan anak-anak dan remaja. Tentunya pendidikan dari sisi psikologi, bidang ilmu yang saya geluti sejak kuliah. Tapi saya akan terus menulis dan bergiat di komunitas sastra. 
Anda puas dengan pencapaian Anda selama ini? 
Puas dan sangat bersyukur setiap kali berhasil menapaki titik-titik dalam perjalanan hidup saya. Dengan begitu saya tidak cepat puas dan lupa diri. Apalagi selalu ada kawan-kawan di Dusun Flobamora yang dalam diam kerap mengingatkan saya untuk menghargai proses. 
 
Bagaimana Anda memandang sastra dan dunia kepenulisan pada umumnya? 
Saya kira sastra akan lestari ketika ia dikerjakan dengan kejujuran dan penghargaan atas proses. Saya juga senang karena ruang apresiasi dan kritik terhadap sastra telah bertumbuh di NTT. Saya berharap Komunitas Sastra Dusun Flobamora yang dianggap sudah cukup eksis di Kupang, mungkin bisa membantu memacu semangat berkreasi di kabupaten-kabupaten lain di NTT. Saya kira di Ende, misalnya, semangat itu sudah nampak. Itu bagus sekali. Lewat media sosial saya terus menyuarakan itu. (rio)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...