Rabu, 03 Juli 2013

Oleh-Oleh Dari MIWF 2013: Baomong Sastra NTT di Fort Rotterdam

saya membaca puisi di Pulau Lakkang
Saya akhirnya merasakan sendiri bagaimana saudara-saudara di Makassar, lewat ajang Makassar International Writers Festival 2013 di Fort Rotterdam, secara serius mengapresiasi karya sastra yang muncul dari NTT. MIWF secara konsisten sejak tahun pertama memang berupaya untuk mengangkat kesusasteraan dari Indonesia Timur untuk muncul dalam ranah sastra nasional. Dan NTT, di mata para kurator MIWF2013 punya potensi yang besar dan berkembang cukup baik dewasa ini.
Bukan juga karena kebetulan pada ajang MIWF tahun ini, penulis asal Indonesia Timur yang lolos seleksi, ada 3 penulis dari NTT. Sastra di Flobamora memang sedang bergeliat dua atau tiga tahun belakangan ini. Lantas dengan segala keterbatasan yang ada, apa yang menyebabkan sehingga hal ini terjadi? Apa yang sedang terjadi di NTT?
Publik Makassar, penikmat sastra dan beberapa perwakilan media (antara lain dari Alinea TV dan Tempo), termasuk juga 3 kurator yang meloloskan 3 penulis asal NTT kemudian mengemukakan pertanyaan tersebut pada program khusus, Indonesian Program: Literature From The East dan Literature from 6 cities.
Apa kabar sastra NTT?
Dua tahun lalu saya kembali dari kuliah di Jogja dan menetap di Kupang. Lalu saya bertemu dan berkenalan dengan pegiat-pegiat sastra yang juga sedang bersemangat menulis dan giat bersinergi dalam komunitas sastra, Mario F Lawi, Rm. Amanche, lalu saya dikenalkan dengan Pion Ratuloly, Abdul Djou, Marsel Robot, Ishack Sonlay, Januario Gonzaga dan Abner Raya Midara. Beberapa bulan sebelum saya datang, sebuah komunitas sastra bernama Dusun Flobamora baru saja dilahirkan di Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui. Rm Amanche dan Mario mengajak saya untuk bergabung.
Sebelumnya, saya tak terlalu banyak tahu menahu tentang sastra NTT. Saya pernah beberapa kali membaca karya Gerson Poyk dan mendengar cerita ketika di Jogja tentang kehebatan seorang Umbu Landu Parangi. Di Toko buku di Jogja, saya juga dengan mudah menemukan buku-buku Mezra E Pellondou dan Maria Matildis Banda. Tetapi ketika saya bertemu Mario dan Rm. Amanche, pengetahuan saya akan sastra di NTT terlalu sempit. Mereka berdua adalah pegiat ulung dan saya banyak belajar dari mereka.
Beberapa bulan dari pertemuan perdana itu, saya diajak untuk ikut menerbitkan sebuah jurnal sastra bernama Santarang. Saya melihat energi yang terlalu besar dan melimpah saat itu. Semua teman-teman di Dusun Flobamora saling bekerja sama untuk melahirkan Santarang. Dan ketika malam peluncuran, saya menemukan potensi itu ada, semangat bersastra itu tinggi, seperti yang sebelum-sebelumnya sudah disebut-sebut dalam kolom opini Pos Kupang atau Flores Pos. Saya ingat waktu itu, karena berlandas dari ketidaktahuan saya, secara iseng saya mencari di google: sastra NTT. Maka muncullah link opini-opini (bahkan ‘perang’ opini) dari Yosep Lagadoni Herin, Bara Patiradja, Yan Sehandi dan Pion Ratuloly. Oalaaah, saya telat. Polemik atau apapun itu, pada akhirnya terjawab sendiri. Terjadi bahwa sastra di NTT kembali menggeliat. Buku-buku banyak diterbitkan secara indie (beberapa bahkan dengan pengantar khusus dari sastrawan Nasional, seperti Afrizal Malna, Putu Wijaya, dan Radhar Pancadahana). Opini dan esai yang bernafas kritik sastra mulai bermunculan di media lokal dan blog. Prosesnya menjadi menarik dan ada keseimbangan antara kuantitas dan kualitas cerpen/puisi.
Sebulan sekali dua kali kami bertemu, entah di Taman Nostalgia atau di aula Penginapan Keuskupan Agung Kupang (yang kebetulan berhadap-hadapan dengan Taman Nostalgia). Di saat bertemu, kami selalu ingat untuk membawa puisi atau cerpen masing-masing untuk dibacakan. Tak lupa kopi, teh, kacang, ubi rebus atau gorengan menemani obrolan dan pembacaan puisi.
Dari setiap obrolan, tanpa disadari kami saling menguatkan, memotivasi dan menginformasukan kalau ada lomba menulis ini itu. Beberapa teman yang menang atau lolos seleksi atau ikut pertemuan sastra di luar NTT, selalu membagi pengalaman itu untuk yang lainnya. Di saat yang sama, kami punya tanggungjawab juga untuk menyebarkan semangat itu ke lingkungan masing-masing. Saya ingat betul, Rm. Amanche begitu bersemangat mendorong murid-muridnya di SMA Giovanni untuk menulis. Mario berhasil menggaet beberapa temannya dari fakultas Ilmu Komunikasi Undana untuk gabung. Abdul yang seorang dosen juga punya trik tersendiri agar para mahasiswanya bisa mengapresiasi sebuah bentuk karya satra sekalian membeli jurnal Santarang. Para frater dan romo, Rm. Sipri, Rm. Patris, Rm. Arky, Fr.Januario, Fr. Ishack, dkk, juga meneruskan semangat bersastra itu ke lingkungan mereka di seminari. 
Apa yang terjadi kemudian?
kehebohan kecil di hotel: Agustinus Wibowo, Ainun, Rm. Amanche, Luka Lesson, Jokpin dan Olin Monteiro
Semakin banyak generasi muda yang begitu giat menulis karya satra. Saya rasa bukan hanya karena alasan di atas. Potensi itu ada, namun akan semakin mekar jika lingkungan mengapresiasinya. Ada yang bilang, ini gelombang baru dalam kesusastraan NTT, ada juga yang bilang, ini seperti seorang anak muda yang lagi dalam fase puber. Yan Sehandi, menerbitkan buku Sastra dan Satrawan NTT, yang berhasil memetakan penulis sastra asal NTT dan karya sastra yang muncul di koran dan buku. Memang tak begitu komplit, namun bisa menjadi patokan sementara bahwa gerakan, gelombang atau pubertas itu memang ada dan terjadi.
Ketika saya, Rm. Amanche dan Mario mengobrol dengan bang Aslan Abidin seorang sastrawan asal Makassar, selaku kurator MIWF 2013, mengungkapkan alasannya sendiri. Katanya, menarik bahwa di dalam karya ketiga penulis asal NTT di MIWF2013 ini, semuanya mengangkat unsur lokalitas dengan sangat kental tapi lebih dari itu, ketiganya juga sama-sama membicarakan unsur spiritualitas Katolik.
            Saya rasa gereja Katolik memberikan porsinya tersendiri bagi perkembangan sastra di NTT. Pertama, kita harus sepakat dan sadari bahwa sastra berkembang dengan cukup baik di seminari dan sekolah-sekolah umum misionaris. Dan lebih jauh lagi, Alkitab sejatinya adalah sebuah karya satra yang paling indah. Alkitab adalah dasar, dan berkembang ketika perpustakaan-perpustakaan di seminari maupun sekolah umum milik misionaris menyediakan buku-buku sastra, menghidupkan iklim menulis dan membaca secara konsisten. Situasi lingkungan seminari yang banyak tersedia waktu merenung (meditasi) juga turut melahirkan karya-karya sastra yang baik.
with all writers and volunteers of MIWF2013
Kedua, iman akan Tuhan secara tak sadar, mungkin turut mewarnai dan terefleksikan dalam setiap karya yang lahir. 
Saya percaya bahwa gelombang baru ini akan terus bergerak maju. Meminjam istilah Rm. Sipri Senda, “Gelombang yang akan terus bergerak hingga akan sampai di pantai impian nan gemilang.”  Semoga setelah selesai melewati fase pubertas ini, sastra NTT akan masuk ke dalam fase kedewasaan. Di mana, pencapaian-pencapaian baru akan muncul dan semakin berkualitas.
Saya kira ruangnya sudah terbuka lebar. Sudah ada media entah koran, jurnal atau buku (sekalipun diterbitkan indie) dan sudah ada pula orang-orang yang punya dedikasi besar yang bertugas untuk mengkritisi karya tersebut. Selebihnya kembali ke pribadi masing-masing untuk terus belajar menemukan bentuk yang tepat sambil terus mengeksplorasi bentuk-bentuk lainnya. Toh, sudah ada komunitas yang selalu menyediakan ruang diskusi dan apresiasi secara kontinyu.

***
 
Christian Dicky Senda. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Merupakan salah satu dari enam penulis asal Indonesia Timur yang diundang untuk berbicara dan memperkenalkan karya sastranya di Makassar International Writers Festival 2013. Sehari-hari bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...