saya membaca puisi di Pulau Lakkang |
Saya
akhirnya merasakan sendiri bagaimana saudara-saudara di Makassar, lewat ajang
Makassar International Writers Festival 2013 di Fort Rotterdam, secara serius
mengapresiasi karya sastra yang muncul dari NTT. MIWF secara konsisten sejak
tahun pertama memang berupaya untuk mengangkat kesusasteraan dari Indonesia
Timur untuk muncul dalam ranah sastra nasional. Dan NTT, di mata para kurator
MIWF2013 punya potensi yang besar dan berkembang cukup baik dewasa ini.
Bukan
juga karena kebetulan pada ajang MIWF tahun ini, penulis asal Indonesia Timur
yang lolos seleksi, ada 3 penulis dari NTT. Sastra di Flobamora memang sedang
bergeliat dua atau tiga tahun belakangan ini. Lantas dengan segala keterbatasan
yang ada, apa yang menyebabkan sehingga hal ini terjadi? Apa yang sedang
terjadi di NTT?
Publik
Makassar, penikmat sastra dan beberapa perwakilan media (antara lain dari
Alinea TV dan Tempo), termasuk juga 3 kurator yang meloloskan 3 penulis asal
NTT kemudian mengemukakan pertanyaan tersebut pada program khusus, Indonesian
Program: Literature From The East dan Literature from 6 cities.
Apa
kabar sastra NTT?
Dua
tahun lalu saya kembali dari kuliah di Jogja dan menetap di Kupang. Lalu saya
bertemu dan berkenalan dengan pegiat-pegiat sastra yang juga sedang bersemangat
menulis dan giat bersinergi dalam komunitas sastra, Mario F Lawi, Rm. Amanche,
lalu saya dikenalkan dengan Pion Ratuloly, Abdul Djou, Marsel Robot, Ishack
Sonlay, Januario Gonzaga dan Abner Raya Midara. Beberapa bulan sebelum saya
datang, sebuah komunitas sastra bernama Dusun Flobamora baru saja dilahirkan di
Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui. Rm Amanche dan Mario mengajak saya untuk
bergabung.
Sebelumnya,
saya tak terlalu banyak tahu menahu tentang sastra NTT. Saya pernah beberapa
kali membaca karya Gerson Poyk dan mendengar cerita ketika di Jogja tentang
kehebatan seorang Umbu Landu Parangi. Di Toko buku di Jogja, saya juga dengan
mudah menemukan buku-buku Mezra E Pellondou dan Maria Matildis Banda. Tetapi
ketika saya bertemu Mario dan Rm. Amanche, pengetahuan saya akan sastra di NTT
terlalu sempit. Mereka berdua adalah pegiat ulung dan saya banyak belajar dari
mereka.
Beberapa
bulan dari pertemuan perdana itu, saya diajak untuk ikut menerbitkan sebuah
jurnal sastra bernama Santarang. Saya melihat energi yang terlalu besar dan
melimpah saat itu. Semua teman-teman di Dusun Flobamora saling bekerja sama
untuk melahirkan Santarang. Dan ketika malam peluncuran, saya menemukan potensi
itu ada, semangat bersastra itu tinggi, seperti yang sebelum-sebelumnya sudah
disebut-sebut dalam kolom opini Pos Kupang atau Flores Pos. Saya ingat waktu
itu, karena berlandas dari ketidaktahuan saya, secara iseng saya mencari di
google: sastra NTT. Maka muncullah link opini-opini (bahkan ‘perang’ opini)
dari Yosep Lagadoni Herin, Bara Patiradja, Yan Sehandi dan Pion Ratuloly.
Oalaaah, saya telat. Polemik atau apapun itu, pada akhirnya terjawab sendiri.
Terjadi bahwa sastra di NTT kembali menggeliat. Buku-buku banyak diterbitkan
secara indie (beberapa bahkan dengan pengantar khusus dari sastrawan Nasional,
seperti Afrizal Malna, Putu Wijaya, dan Radhar Pancadahana). Opini dan esai
yang bernafas kritik sastra mulai bermunculan di media lokal dan blog.
Prosesnya menjadi menarik dan ada keseimbangan antara kuantitas dan kualitas
cerpen/puisi.
Sebulan
sekali dua kali kami bertemu, entah di Taman Nostalgia atau di aula Penginapan
Keuskupan Agung Kupang (yang kebetulan berhadap-hadapan dengan Taman
Nostalgia). Di saat bertemu, kami selalu ingat untuk membawa puisi atau cerpen
masing-masing untuk dibacakan. Tak lupa kopi, teh, kacang, ubi rebus atau
gorengan menemani obrolan dan pembacaan puisi.
Dari
setiap obrolan, tanpa disadari kami saling menguatkan, memotivasi dan
menginformasukan kalau ada lomba menulis ini itu. Beberapa teman yang menang
atau lolos seleksi atau ikut pertemuan sastra di luar NTT, selalu membagi
pengalaman itu untuk yang lainnya. Di saat yang sama, kami punya tanggungjawab
juga untuk menyebarkan semangat itu ke lingkungan masing-masing. Saya ingat
betul, Rm. Amanche begitu bersemangat mendorong murid-muridnya di SMA Giovanni
untuk menulis. Mario berhasil menggaet beberapa temannya dari fakultas Ilmu
Komunikasi Undana untuk gabung. Abdul yang seorang dosen juga punya trik
tersendiri agar para mahasiswanya bisa mengapresiasi sebuah bentuk karya satra
sekalian membeli jurnal Santarang. Para frater dan romo, Rm. Sipri, Rm. Patris,
Rm. Arky, Fr.Januario, Fr. Ishack, dkk, juga meneruskan semangat bersastra itu
ke lingkungan mereka di seminari.
kehebohan kecil di hotel: Agustinus Wibowo, Ainun, Rm. Amanche, Luka Lesson, Jokpin dan Olin Monteiro |
Semakin
banyak generasi muda yang begitu giat menulis karya satra. Saya rasa bukan
hanya karena alasan di atas. Potensi itu ada, namun akan semakin mekar jika
lingkungan mengapresiasinya. Ada yang bilang, ini gelombang baru dalam
kesusastraan NTT, ada juga yang bilang, ini seperti seorang anak muda yang lagi
dalam fase puber. Yan Sehandi, menerbitkan buku Sastra dan Satrawan NTT, yang
berhasil memetakan penulis sastra asal NTT dan karya sastra yang muncul di
koran dan buku. Memang tak begitu komplit, namun bisa menjadi patokan sementara
bahwa gerakan, gelombang atau pubertas itu memang ada dan terjadi.
Ketika
saya, Rm. Amanche dan Mario mengobrol dengan bang Aslan Abidin seorang
sastrawan asal Makassar, selaku kurator MIWF 2013, mengungkapkan alasannya
sendiri. Katanya, menarik bahwa di dalam karya ketiga penulis asal NTT di
MIWF2013 ini, semuanya mengangkat unsur lokalitas dengan sangat kental tapi
lebih dari itu, ketiganya juga sama-sama membicarakan unsur spiritualitas
Katolik.
Saya rasa gereja Katolik memberikan
porsinya tersendiri bagi perkembangan sastra di NTT. Pertama, kita harus
sepakat dan sadari bahwa sastra berkembang dengan cukup baik di seminari dan
sekolah-sekolah umum misionaris. Dan lebih jauh lagi, Alkitab sejatinya adalah
sebuah karya satra yang paling indah. Alkitab adalah dasar, dan berkembang
ketika perpustakaan-perpustakaan di seminari maupun sekolah umum milik
misionaris menyediakan buku-buku sastra, menghidupkan iklim menulis dan membaca
secara konsisten. Situasi lingkungan seminari yang banyak tersedia waktu
merenung (meditasi) juga turut melahirkan karya-karya sastra yang baik.
with all writers and volunteers of MIWF2013 |
Kedua,
iman akan Tuhan secara tak sadar, mungkin turut mewarnai dan terefleksikan
dalam setiap karya yang lahir.
Saya
percaya bahwa gelombang baru ini akan terus bergerak maju. Meminjam istilah Rm.
Sipri Senda, “Gelombang yang akan terus bergerak hingga akan sampai di pantai impian
nan gemilang.” Semoga setelah selesai
melewati fase pubertas ini, sastra NTT akan masuk ke dalam fase kedewasaan. Di
mana, pencapaian-pencapaian baru akan muncul dan semakin berkualitas.
Saya
kira ruangnya sudah terbuka lebar. Sudah ada media entah koran, jurnal atau
buku (sekalipun diterbitkan indie) dan sudah ada pula orang-orang yang punya
dedikasi besar yang bertugas untuk mengkritisi karya tersebut. Selebihnya
kembali ke pribadi masing-masing untuk terus belajar menemukan bentuk yang tepat
sambil terus mengeksplorasi bentuk-bentuk lainnya. Toh, sudah ada komunitas
yang selalu menyediakan ruang diskusi dan apresiasi secara kontinyu.
Christian Dicky Senda.
Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Merupakan salah satu dari enam
penulis asal Indonesia Timur yang diundang untuk berbicara dan memperkenalkan
karya sastranya di Makassar International Writers Festival 2013. Sehari-hari
bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...