Senin, 03 Juni 2013

Kaka, Su Jadi Orang Terkenal, Jang Lupa Jaga Sikap



Saya tak tahu harus menulis pemikiran saya ini dimulai dari mana. Sering saya menahan diri untuk tidak menulis hal berikut. Takutnya menyinggung, tapi ya sudah saya tulis saja. Tanpa bermaksud menyudutkan siapapun.
Saya percaya pada keberuntungan yang didapat seseorang. Saya sendiri pung sering mengalami sesuatu keberuntungan. Tapi keberuntungan itu biasanya tak datang dengan sendirinya. Biasanya karena sudah diawali pikiran dan energi dari tubuh dan diri kita yang postif yang memicu lahirnya keberuntungan tersebut. Artinya ya tetap ada usaha, sadar atau tanpa sadar. Sering terjadi bahwa doa dan harapan yang sehari-hari tumbuh dalam benak juga hati kita kelak akan melahirkan sang keberuntungan itu.
Setahun atau dua tahun lalu, sebuah proyek film digarap di Timor. Saya secara pribadi adalah seorang penikmat film. Dan sebagai anak NTT, saya bangga bahwa ada lagi produksi film berlatar NTT dan melibatkan pemain-pemain asli NTT. Kita punya potensi yang besar, misalnya dari segi kekayaan alam dan budaya yang bakal bernilai tinggi dalam medium film/movie/sinema. Kita tentu ingat dengan apa yang pernah digarap maestro sinema Indonesia, Garin Nugroho dalam membesut Surat Untuk Bidadari yang berlatar kebudayaan Sumba. Sebuah sinema poetica yang hingga kini masih diingat oleh penikmat sinema Indonesia.
Kedua, potensi pemain lokal yang baik. Saya rasa secara budaya, orang-orang NTT telah hidup dalam tradisi seni yang kental. Kesenian tradisional tersebut pada akhirnya juga telah menumbuhkan karakter orang NTT yang khas, baik dalam tarian, nyanyian, ritual adat, permainan tradisional, dsb. Artinya bahwa karakter tersebut bisa menjadi nilai plus dalam sebuah produksi sinematik, apalagi yang berlatar kebudayaan NTT.
Singkat cerita, dari sebuah audisi terbuka, didapatlah pemain-pemain lokal yang diharapkan. Tersebutlah seorang pemeran utama wanita dan dua orang pemeran utama pria. Saya termasuk yang begitu antuasias untuk mengikuti progres film tersebut dari awal mereka melakukan riset, proses casting, hingga produksi.
Dari social media, saya mengetahui seluk beluk riset, casting dan proses syutingnya, hingga profil pemain film tersebut. Pertama kali, saya sengaja mencari nama-nama tersebut di jejaring sosial. Saya termasuk yang suka berspekulasi atau menilai sendiri dari sudut pandang saya terhadap sesuatu obyek, dalam hal ini produksi film tersebut. Saya baca sinopsisnya, saya pantau cara mereka riset dan memilih set (meski cuma dari twitter), hingga melihat profil pemain, minimal dari akun jejarning sosial mereka. Anggaplah ini aktivitas saya yang terlalu berlebihan. Lebay. Tapi jujur saya memang paling tertarik untuk belajar tentang perfilman. Saya bukan tipe cinemania yang cuma bisa duduk manis di depan layar TV atau bioskop, lalu selesai. Saya biasanya akan utak atik informasinya di internet, juga kepo berat sama proses ‘behind the scene’ mereka. Itulah menariknya mengapresiasi sebuah karya sinema.
Maka akhirnya saya temukan akun Facebook sang pemeran utama wanita. Sebut saja namanya PM. Saya add dan dia menerima permintaan pertemanan saya. Lalu saya juga berteman dengan si pemeran utama prianya, sebut saja GS.  Dari akun FB saya memantau aktivitas mereka (duuh, saya kepo ya? Lol). Sekali lagi, niat saya tak lebih: ini kesempatan emas bagi kita orang NTT, lucky us. Ayo raih, dan manfaatkan dengan baik kesempatan ini. Saya mau bahwa pengalaman mereka bisa jadi pengalaman buat semua orang NTT (termasuk saya) bagaimana secara profesional terjun ke dunia perfilman. Siap sonde siap, tentu harus siap mental dan fisik. Terlebih mental, nah ini yang biasanya beraaat. Dan akhirnya saya ‘terpaksa’ menulis kisah ini, karena pada akhirnya saya menyimpulkan bahwa salah seorang teman kita itu (mungkin juga nanti termasuk juga saya dan anda) belum siap secara mental untuk terjun ke dalam sebuah produksi film berskala nasional (bahkan internasional, karena diikutkan dalam beberapa festival film mancanegara).
Mental yang bagaimana?
Merujuk ke film yang sebagian besar syuting dilakukan di Atambua, pemain yang dicari tentunya pemain yang punya karakter lokal yang kuat. Ia haruslah mewakili citra manusia lokal yang utuh dan otentik. Tetapi di luar frame kamera, ia dituntut untuk manusia yang universal, yang mewakili karakteristik dan sifat yang umum yang harus dimiliki seorang pemain film (aktris atau aktor). Profesional, pekerja keras, tangguh, disiplin, komunikatif, memperhatikan penampilan fisik, berkepribadian menarik, santun, dan sekian banyak nilai hidup yang harus dianut oleh seorang pekerja film.
Hal pertama mungkin mudah baginya, sebab ia memaikan karakter sehari-harinya, ia yang lugu dan sederhana, yang terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa daerah. Namun, yang kedua, ia harus berubah sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang biasanya disematkan kepada seorang artis film. Apakah mereka siap? Sekali lagi, siap sonde siap harus siap...!!
Saya kira ini pengalaman penting bagi GS dan PM. Terlibat dalam sebuah produksi film yang digarap sutradara dan produser kawakan tentu sangat membanggakan. Tapi apa lantas sampai disitu saja? Apa kesiapan mentalmu selanjutnya? Sebab biasanya perjuangan baru akan dimulai setelah kita lepas dari proyek perdana tadi.
Saya percaya, keberuntungan pertama bisa saja di akan memicu dan memperngaruhi keberuntungan berikutnya untuk mampir kepada kita. Artinya jika kita telah sukses melampaui ‘ujian’ pada keberuntungan pertama tadi. ‘Ujian’ yang saya maksudkan disini adalah terkait kesiapan mental kita untuk menghadapi perubahan. Tadinya orang biasanya, sekarang menjadi luar biasa. Tadinya tak dikenal, sekarang kemana-mana dikenal, tadinya cuek soal penampilan diri, sekarang jadi harus lebih memperhatikan penampilan. Kita tak bisa lagi seenaknya. Ketika mengambil pekerjaan itu (apalagi dengan niat memang ingin menjadi artis/pemain film), dengan sendiri kita telah menjadi ‘milik’ publik. Dengan sendirinya kita akan menyematkan ‘citra artis’ yang telah menempel pada kita. Konsekuensinya jelas. Harus jaga sikap dan attitude. Nah, biasanya banyak masalah terjadi di sini. Yang tidak siap dan terbiasa akan menjadi sedikit (atau banyak) stres. Di luar sana, ada yang ekstrim, yakni depresi dan bunuh diri (misalnya di Korea) karena tuntutan yang besar atas citra diri seseorang sebagai artis.
Lalu bagaimana dengan ketiga pemain film di atas?
Yang saya lihat, dua pemain prianya seperti memilih untuk kembali ke kehidupan awal. Mungkin masih ada niat jika ditawari main film lagi, tetapi itu bukan fokus utama saat ini. Nah, bagi si wanitanya yang saya lihat memang punya niat besar untuk menjadi pemain film profesional. Itu niat yang keren. Sebab setahu saya belum ada aktor dan aktris profesional asal NTT saat ini. Sekali lagi potensi kita besar, tergantung niat dan kesiapan mental.
Saya biasa melihat aktivitas PM di timeline, beberapa kali bertemu langsung saat ada acara pertunjukan seni di Kupang, sempat mengobrol sebentar dan melihat langsung bagaimana ia membawa dirinya (dan berkomunikasi dengan orang lain) sebagai PM yang baru, seorang aktris dari film besar berlatar tanah leluhurnya, bla bla bla...
Kesan saya sebagai ‘seorang apresiator film nasional dan lokal (amatiran)’, PM telah membawa dirinya dengan baik. Ia secara pede menampilkan citra barunya sebagai seorang pekerja seni peran yang punya pengalaman langsung bekerjasama dengan sineas nasional. Secara sah ia boleh berbangga karena menjadi bagian dari produksi film tersebut dan mengetahui seluk belum pembuatan film, cara penyutradaraan, berbicara dengan wartawan, hingga bagaimana rasanya berada di red carpet Gala Premiere.
Akan tetapi, yang agak sedikit mengganggu saya sebagai ‘pengamat dan apresiator amatiran’ adalah bagaimana ‘kita’ harus berperilaku di jejaring sosial atau dalam acara-acara yang melibatkan banyak orang (pernah yang bersangkutan sendiri langsung keceplosan berkata, ‘aduh mati su kak Dicky nanti sindir beta...” ketika saya menyaksikan ia ber’ulah’ di sebuah acara konser amal). Tanpa bermaksud menyindir, tetapi ingin mengingatkan (jika yang bersangkutan membacanya) bahwa orang banyak telah mengenal kita, dan setiap saat orang akan menyorotkan matanya ke arah kita. Maka bijaklah menulis status di akun semisal Facebook dan bersikaplah yang baik di tempat umum. Terbiasa berkata-kata kasar di timeline itu bukan hal yang menarik simpati, malah akan menimbulkan hujan antipati. Sekali dua kali bertemu, kesan positif saya padanya langsung runtuh. Kok ‘kangan ranga’ begini ya? Ingat lho, kamu itu pemain film yang diluar sana mendapat banyak pujian. (ups, maaf).
Pada problem sejenis ini, biasanya saya suka mengkomparasikan dengan profil diri aktor Nicolas Saputra dan Dian Sastro juga Mariana Renata. Saya selalu menganggap bahwa ketiganya adalah pemain film yang paling piawai menjaga attitude dan citra diri mereka. Jarang atau tidak sama sekali menunjukkan citra buruk (tampil nyeleneh,  berkata kasar atau menghujat orang lain di infotainment, dll). Efeknya apa? Keuntungan besar selalu berpihak pada mereka. Mereka jadi terlihat ‘berkelas’ dan berkualitas. Tidak ecek-ecek.
Pada akhirnya saya memberanikan diri menulis ini, dengan menggunakan inisial, tanpa ada niat menyindir, namun ingin agar kita sama-sama belajar untuk menggunakan kesempatan emas kita dengan baik. Pencitraan itu baik dan penting. Keberuntungan anda besar: sudah main film dengan sineas kenamaan. Jika diikuti dengan attitude dan nilai-nilai yang saya sebutkan di atas, saya rasa akan ada banyak keberuntungan yang datang menghampiri kita (efek dominonya besar lho PM!). Sudah ada banyak contoh, bagaimana karir seorang aktris runtuh seketika karena ia sendiri yang merusak citra dirinya dengan melakukan banyak tindakan ceroboh. (Ingat bagaimana karir menjulang Luna Maya, roboh seketika karena tersangkut masalah sex tape).
Saya anggap ini juga pelajaran bagi saya dan kita semua. Untuk menjaga sikap dan perilaku dalam bidang pekerjaan kita masing-masing, sebagai guru, dokter, pastor, perawat, karyawan, pendeta, pelajar, mahasiswa, polisi, dll.
Sekali lagi saya menulis ini tanpa ada niat menghujat. Ingin rasanya perfilman NTT maju. Banyak seniman film berkualitas lahir di NTT. PM sudah memulainya dengan baik, yuk kita dukung. Mungkin anda dan saya berikutnya menyusul PM? Amiiin...
Salam

Christian Dicky Senda, blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Menulis buku puisi Cerah Hati dan buku cerpen Kanuku Leon. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community). Saat ini bekerja sebagai konselor di SMP St. Theresia Kupang. 

2 komentar:

  1. baca Mariana Renata, sa jadi ingat dua minggu lebih berinteraksi dengan dia dan nicholas saat syuting di pulau seram. sa tidak kenal sama sekali. selesai syuting. pulang ke ambon dan googling baru sadar kalo dia itu artis terkenal.. *tepok jidat*

    BalasHapus
  2. iya...tp mereka jd bernilai dan bermakna krn sonde pernah bikin sensasi di infotainment. meski resikonya kurang dikenal. tp biasanya yang begitu imej dan branding mereka kuat sekali...sonde ecek2 lah...

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...