Saya
tak tahu harus menulis pemikiran saya ini dimulai dari mana. Sering saya
menahan diri untuk tidak menulis hal berikut. Takutnya menyinggung, tapi ya
sudah saya tulis saja. Tanpa bermaksud menyudutkan siapapun.
Saya
percaya pada keberuntungan yang didapat seseorang. Saya sendiri pung sering
mengalami sesuatu keberuntungan. Tapi keberuntungan itu biasanya tak datang
dengan sendirinya. Biasanya karena sudah diawali pikiran dan energi dari tubuh
dan diri kita yang postif yang memicu lahirnya keberuntungan tersebut. Artinya
ya tetap ada usaha, sadar atau tanpa sadar. Sering terjadi bahwa doa dan
harapan yang sehari-hari tumbuh dalam benak juga hati kita kelak akan
melahirkan sang keberuntungan itu.
Setahun
atau dua tahun lalu, sebuah proyek film digarap di Timor. Saya secara pribadi
adalah seorang penikmat film. Dan sebagai anak NTT, saya bangga bahwa ada lagi
produksi film berlatar NTT dan melibatkan pemain-pemain asli NTT. Kita punya
potensi yang besar, misalnya dari segi kekayaan alam dan budaya yang bakal
bernilai tinggi dalam medium film/movie/sinema. Kita tentu ingat dengan apa
yang pernah digarap maestro sinema Indonesia, Garin Nugroho dalam membesut
Surat Untuk Bidadari yang berlatar kebudayaan Sumba. Sebuah sinema poetica yang hingga kini masih
diingat oleh penikmat sinema Indonesia.
Kedua,
potensi pemain lokal yang baik. Saya rasa secara budaya, orang-orang NTT telah
hidup dalam tradisi seni yang kental. Kesenian tradisional tersebut pada
akhirnya juga telah menumbuhkan karakter orang NTT yang khas, baik dalam
tarian, nyanyian, ritual adat, permainan tradisional, dsb. Artinya bahwa
karakter tersebut bisa menjadi nilai plus dalam sebuah produksi sinematik,
apalagi yang berlatar kebudayaan NTT.
Singkat
cerita, dari sebuah audisi terbuka, didapatlah pemain-pemain lokal yang
diharapkan. Tersebutlah seorang pemeran utama wanita dan dua orang pemeran
utama pria. Saya termasuk yang begitu antuasias untuk mengikuti progres film
tersebut dari awal mereka melakukan riset, proses casting, hingga produksi.
Dari
social media, saya mengetahui seluk
beluk riset, casting dan proses syutingnya, hingga profil pemain film tersebut.
Pertama kali, saya sengaja mencari nama-nama tersebut di jejaring sosial. Saya
termasuk yang suka berspekulasi atau menilai sendiri dari sudut pandang saya
terhadap sesuatu obyek, dalam hal ini produksi film tersebut. Saya baca
sinopsisnya, saya pantau cara mereka riset dan memilih set (meski cuma dari
twitter), hingga melihat profil pemain, minimal dari akun jejarning sosial
mereka. Anggaplah ini aktivitas saya yang terlalu berlebihan. Lebay. Tapi jujur
saya memang paling tertarik untuk belajar tentang perfilman. Saya bukan tipe
cinemania yang cuma bisa duduk manis di depan layar TV atau bioskop, lalu
selesai. Saya biasanya akan utak atik informasinya di internet, juga kepo berat
sama proses ‘behind the scene’ mereka. Itulah menariknya mengapresiasi sebuah
karya sinema.
Maka
akhirnya saya temukan akun Facebook sang pemeran utama wanita. Sebut saja
namanya PM. Saya add dan dia menerima
permintaan pertemanan saya. Lalu saya juga berteman dengan si pemeran utama
prianya, sebut saja GS. Dari akun FB
saya memantau aktivitas mereka (duuh, saya kepo ya? Lol). Sekali lagi, niat
saya tak lebih: ini kesempatan emas bagi kita orang NTT, lucky us. Ayo raih, dan manfaatkan dengan baik kesempatan ini. Saya
mau bahwa pengalaman mereka bisa jadi pengalaman buat semua orang NTT (termasuk
saya) bagaimana secara profesional terjun ke dunia perfilman. Siap sonde siap,
tentu harus siap mental dan fisik. Terlebih mental, nah ini yang biasanya
beraaat. Dan akhirnya saya ‘terpaksa’ menulis kisah ini, karena pada akhirnya
saya menyimpulkan bahwa salah seorang teman kita itu (mungkin juga nanti termasuk
juga saya dan anda) belum siap secara mental untuk terjun ke dalam sebuah
produksi film berskala nasional (bahkan internasional, karena diikutkan dalam
beberapa festival film mancanegara).
Mental
yang bagaimana?
Merujuk
ke film yang sebagian besar syuting dilakukan di Atambua, pemain yang dicari
tentunya pemain yang punya karakter lokal yang kuat. Ia haruslah mewakili citra
manusia lokal yang utuh dan otentik. Tetapi di luar frame kamera, ia dituntut
untuk manusia yang universal, yang mewakili karakteristik dan sifat yang umum
yang harus dimiliki seorang pemain film (aktris atau aktor). Profesional,
pekerja keras, tangguh, disiplin, komunikatif, memperhatikan penampilan fisik,
berkepribadian menarik, santun, dan sekian banyak nilai hidup yang harus dianut
oleh seorang pekerja film.
Hal
pertama mungkin mudah baginya, sebab ia memaikan karakter sehari-harinya, ia
yang lugu dan sederhana, yang terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa daerah.
Namun, yang kedua, ia harus berubah sesuai dengan tuntutan-tuntutan yang
biasanya disematkan kepada seorang artis film. Apakah mereka siap? Sekali lagi,
siap sonde siap harus siap...!!
Saya kira ini
pengalaman penting bagi GS dan PM. Terlibat dalam sebuah produksi film yang
digarap sutradara dan produser kawakan tentu sangat membanggakan. Tapi apa
lantas sampai disitu saja? Apa kesiapan mentalmu selanjutnya? Sebab biasanya
perjuangan baru akan dimulai setelah kita lepas dari proyek perdana tadi.
Saya
percaya, keberuntungan pertama bisa saja di akan memicu dan memperngaruhi
keberuntungan berikutnya untuk mampir kepada kita. Artinya jika kita telah
sukses melampaui ‘ujian’ pada keberuntungan pertama tadi. ‘Ujian’ yang saya
maksudkan disini adalah terkait kesiapan mental kita untuk menghadapi
perubahan. Tadinya orang biasanya, sekarang menjadi luar biasa. Tadinya tak
dikenal, sekarang kemana-mana dikenal, tadinya cuek soal penampilan diri,
sekarang jadi harus lebih memperhatikan penampilan. Kita tak bisa lagi
seenaknya. Ketika mengambil pekerjaan itu (apalagi dengan niat memang ingin menjadi artis/pemain film), dengan sendiri
kita telah menjadi ‘milik’ publik. Dengan sendirinya kita akan menyematkan
‘citra artis’ yang telah menempel pada kita. Konsekuensinya jelas. Harus jaga
sikap dan attitude. Nah, biasanya
banyak masalah terjadi di sini. Yang tidak siap dan terbiasa akan menjadi
sedikit (atau banyak) stres. Di luar sana, ada yang ekstrim, yakni depresi dan
bunuh diri (misalnya di Korea) karena tuntutan yang besar atas citra diri
seseorang sebagai artis.
Lalu
bagaimana dengan ketiga pemain film di atas?
Yang
saya lihat, dua pemain prianya seperti memilih untuk kembali ke kehidupan awal.
Mungkin masih ada niat jika ditawari main film lagi, tetapi itu bukan fokus
utama saat ini. Nah, bagi si wanitanya yang saya lihat memang punya niat besar
untuk menjadi pemain film profesional. Itu niat yang keren. Sebab setahu saya
belum ada aktor dan aktris profesional asal NTT saat ini. Sekali lagi potensi
kita besar, tergantung niat dan kesiapan mental.
Saya
biasa melihat aktivitas PM di timeline, beberapa kali bertemu langsung saat ada
acara pertunjukan seni di Kupang, sempat mengobrol sebentar dan melihat
langsung bagaimana ia membawa dirinya (dan berkomunikasi dengan orang lain)
sebagai PM yang baru, seorang aktris dari film besar berlatar tanah leluhurnya,
bla bla bla...
Kesan
saya sebagai ‘seorang apresiator film nasional dan lokal (amatiran)’, PM telah
membawa dirinya dengan baik. Ia secara pede menampilkan citra barunya sebagai
seorang pekerja seni peran yang punya pengalaman langsung bekerjasama dengan
sineas nasional. Secara sah ia boleh berbangga karena menjadi bagian dari
produksi film tersebut dan mengetahui seluk belum pembuatan film, cara
penyutradaraan, berbicara dengan wartawan, hingga bagaimana rasanya berada di
red carpet Gala Premiere.
Akan
tetapi, yang agak sedikit mengganggu saya sebagai ‘pengamat dan apresiator
amatiran’ adalah bagaimana ‘kita’ harus berperilaku di jejaring sosial atau
dalam acara-acara yang melibatkan banyak orang (pernah yang bersangkutan
sendiri langsung keceplosan berkata, ‘aduh mati su kak Dicky nanti sindir
beta...” ketika saya menyaksikan ia ber’ulah’ di sebuah acara konser amal). Tanpa
bermaksud menyindir, tetapi ingin mengingatkan (jika yang bersangkutan
membacanya) bahwa orang banyak telah mengenal kita, dan setiap saat orang akan
menyorotkan matanya ke arah kita. Maka bijaklah menulis status di akun semisal
Facebook dan bersikaplah yang baik di tempat umum. Terbiasa berkata-kata kasar
di timeline itu bukan hal yang menarik simpati, malah akan menimbulkan hujan
antipati. Sekali dua kali bertemu, kesan positif saya padanya langsung runtuh.
Kok ‘kangan ranga’ begini ya? Ingat
lho, kamu itu pemain film yang diluar sana mendapat banyak pujian. (ups, maaf).
Pada
problem sejenis ini, biasanya saya suka mengkomparasikan dengan profil diri
aktor Nicolas Saputra dan Dian Sastro juga Mariana Renata. Saya selalu
menganggap bahwa ketiganya adalah pemain film yang paling piawai menjaga attitude dan citra diri mereka. Jarang
atau tidak sama sekali menunjukkan citra buruk (tampil nyeleneh, berkata kasar atau menghujat orang lain di
infotainment, dll). Efeknya apa? Keuntungan besar selalu berpihak pada mereka.
Mereka jadi terlihat ‘berkelas’ dan berkualitas. Tidak ecek-ecek.
Pada
akhirnya saya memberanikan diri menulis ini, dengan menggunakan inisial, tanpa
ada niat menyindir, namun ingin agar kita sama-sama belajar untuk menggunakan
kesempatan emas kita dengan baik. Pencitraan itu baik dan penting.
Keberuntungan anda besar: sudah main film dengan sineas kenamaan. Jika diikuti
dengan attitude dan nilai-nilai yang
saya sebutkan di atas, saya rasa akan ada banyak keberuntungan yang datang
menghampiri kita (efek dominonya besar lho PM!). Sudah ada banyak contoh,
bagaimana karir seorang aktris runtuh seketika karena ia sendiri yang merusak
citra dirinya dengan melakukan banyak tindakan ceroboh. (Ingat bagaimana karir
menjulang Luna Maya, roboh seketika karena tersangkut masalah sex tape).
Saya
anggap ini juga pelajaran bagi saya dan kita semua. Untuk menjaga sikap dan
perilaku dalam bidang pekerjaan kita masing-masing, sebagai guru, dokter,
pastor, perawat, karyawan, pendeta, pelajar, mahasiswa, polisi, dll.
Sekali
lagi saya menulis ini tanpa ada niat menghujat. Ingin rasanya perfilman NTT
maju. Banyak seniman film berkualitas lahir di NTT. PM sudah memulainya dengan
baik, yuk kita dukung. Mungkin anda dan saya berikutnya menyusul PM? Amiiin...
Salam
Christian
Dicky Senda, blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Menulis buku puisi
Cerah Hati dan buku cerpen Kanuku Leon. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun
Flobamora dan Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community). Saat ini bekerja
sebagai konselor di SMP St. Theresia Kupang.
baca Mariana Renata, sa jadi ingat dua minggu lebih berinteraksi dengan dia dan nicholas saat syuting di pulau seram. sa tidak kenal sama sekali. selesai syuting. pulang ke ambon dan googling baru sadar kalo dia itu artis terkenal.. *tepok jidat*
BalasHapusiya...tp mereka jd bernilai dan bermakna krn sonde pernah bikin sensasi di infotainment. meski resikonya kurang dikenal. tp biasanya yang begitu imej dan branding mereka kuat sekali...sonde ecek2 lah...
BalasHapus