Sebuah Profil
Suatu ketika
saya diajak mengikuti perjalanan menyiarkan sabda Tuhan oleh seorang teman baik
sekaligus kakak senior di komunitas. Nama penanya Amanche Frank OE Ninu atau
dikenal juga sebagai Romo Amanche. Beliau adalah pegiat sastra sekaligus
pendiri komunitas sastra Dusun Flobamora, menulis buku humor dan buku kumpulan
cerpen dan pantun. Tak hanya itu saja, Romo Amanche adalah penyanyi yang baik
(sehingga adik menangis melebihi satu malam!) dan seorang guru nan kreatif di
SMAK Giovanni Kupang. Lengkap sudah. Dan saya secara pribadi selalu
mengapresiasi cara beliau dalam menempatkan diri sebagai seorang pastor yang
punya ‘tuntutan profesi’ untuk melayani gereja dan menyiarkan kabar baik dari
Tuhan sekaligus bertanggungjawab mengembangkan iman dan karya nyata umat
(terutama kaum muda) lewat jalan kreativitas.
Dua pegiat di DF: Rm Amanche (baju merah) dan Rm Patris |
Di hari Minggu
pagi yang cerah itu kami menuju dua kapel di pinggiran Kupang, yakni kapel St.
Agustinus Belo dan kapel Santa Maria Fatima Noelsinas. Ini merupakan kali
ketiga saya ikut bersamanya merayakan misa hari Minggu bersama umat di
kapela-kapela di pinggiran kota Kupang. Dulu pertama kalinya saya diajak ke
kapel Fetonai di Kupang Barat (lalu terciptalah cerpen Ada Kisah Tentang
Lukisan Ikan di Fetonai). Lalu saya diajak ke kapela Usapi Sonbai di Nekamese,
dan dari sana lahirlah inspirasi saya untuk menulis cerpen Gugur Sepe Usapi
Sonbai. Keduanya saya tulis sebagai pengalaman iman saya merayakan ekaristi
bersama umat Tuhan yang sederhana di pinggiran kota. Pada saat yang bersamaan,
saya pun turut serta dalam usaha teman baik dan kakak saya, Romo Amanche,
menyiarkan kebaikan Tuhan dengan cara dan formula yang paling dekat di hati
umat yakni dengan pantun, dengan lagu bermelodi lokalitas, dengan puisi, dengan
bahasa dan logat yang kental. Dengan hal-hal itu, sabda dan perintah Tuhan
dapat diresapi dengan kenyataan sukaria dalam jiwa umat. Sesederhana itu saya
memaknai kehadirannya sebagai gembala umat.
Teringat lagu,
“gembala baik, bersuling nan merdu...”, dari Kidung Jemaat yang kerap saya
nyanyikan kepada kakek nenek saya di masa kanak dulu. Sebuah lagu dengan syair
yang mendamaikan hati, sekaligus melestarikan iman. Gembala baik seumpama
telaga bening yang menyimpan air bagi semua makhluk hidup di atas lembah
permai. Air yang memberikan kesegaran, menghijaukan rerumputan yang merupakan
santapan para domba. Saya rasa, semua itu menghalau ketakutan kita semua akan
kondisi para imam dewasa ini yang diam-diam mulai disangsikan dan dikhawatirkan
oleh sekalian umat. Imam yang dinilai sudah terlalu asyik pada kehidupan dunia
dan mulai melupakan tugas utamanya menanamkan benih-benih sabda Tuhan dalam
setiap hati umatnya. Katanya sih begitu.
Saya melihat dari
kacamata awam, bahwa masing-masing imam punya cara sendiri-sendiri untuk
menerjemahkan sabdaNya lewat karya harian mereka, lewat sikap dan perilaku,
lewat hobi dan pekerjaan mereka. Dan apa yang dilakukan romo Amanche (dan
beberapa romo lainnya yang aktif bergiat bersama kami para awam di komunitas
sastra DF) adalah pilihan yang baik, menurut saya.
Sabda adalah
sastra atau sebaliknya, sastra adalah sabda. Saya memaknai kalimat ini, ketika
misa telah usai di kapela St. Agustinus Belo dan kami bersiap untuk melanjutkan
misa berikutnya di kapela Santa Maria Fatima Noelsinas, kira-kira 5 km dari
Belo. Saya memaknai itu, setelah tiga kali atau lebih, melakukan perjalanan
pastoral bersama romo Amanche (atau Romo Sipri, atau romo Patris Neonub dan
romo Arky Manek). Cieeh, perjalanan pastoral? H-HAHA....kadang umat sampai
mengira bahwa kami yang menyertai para imam ini, adalah sekelompok frater
(misalnya saya, Mario F Lawi atau Djho Izmail). Tapi memang kadang aktivitas
tersebut juga dilakukan bersama dengan frater betulan, seperti bro Januario
Gonzaga, Ishack Sonlay, Saddam HP. Mereka ini frater yang gemar bersastra juga.
Ini bukan saja bahwa sabda-sabda Tuhan dulunya ditulis oleh para nabi dan murid
dengan gaya bersastra yang kental, namun kini para imam, yakni teman, saudara
dan kakak-kakak saya juga memilih jalan yang sama dalam menyiarkan sabda Tuhan.
Entah dalam tulisan, kotbah mingguan, di akun facebook, hingga di
komunitas-komunitas anak muda, mereka hadir dan mengabarkan kebaikan Tuhan
lewat puisi, cerpen, pantun, humor atau karya fotografi yang puitik. Dan saya
melihat sendiri, bahwa umat begitu tertarik dan antusias dengan model imam
seperti ini yang membawakan sabda atau taurat Tuhan dengan cara yang mudah
dimengerti, indah dan real: sastra itu sendiri. Maka izinkanlah saya memaknai
proses menarik ini dengan sebutan ‘menyabdakan sastra Tuhan’.
Ketika menutup
misa di Belo, romo Amanche sempat berpantun yang memang sengaja dibuat spontas
di atas altar. Isinya bernas dan seimbang, bahwa intinya beliau mengangkat
realitas kehidupan rohani umat Belo 40 %, unsur teologis 50 % (kala itu tepat
dengan perayaan ‘Tubuh dan Darah Kristus’) serta unsur humornya 10%. Keren
bukan? Sebagai umat awam, saya memang merindukan isi kotbah atau misa secara
keseluruhan yang tidak terlalu tinggi membahasakan teologia. Apalagi imam yang
terbiasa berkotbah dengan teks, jadinya malah kaku dan tidak leluasa untuk
membicarakan hal-hal spontan dan kontekstual yang terjadi pada detik itu juga.
Apalagi sampai beredar kabar bahwa imam tertentu hanya membacakan ulang
renungan yang ada di majalah Hidup, dsb. Pasti imam tersebut tak pernah membaca
karya sastra atau terbiasa mengapresiasi karya sastra. Hehe.. iya lho,
alasannya sudah saya paparkan di paragraf sebelumnya.
Tak hanya itu,
romo Amanche terbiasa membawa jurnal Sastra Santarang atau buku sastra lainnya
ke kapela dan membagikan beberapa eksemplar secara gratis kepada umat. Misalnya
saat di Belo, Romo menyerahkan dua eksemplar buku Kuyup Basahmu (buku puisi
karya frater Ishack Sonlay) kepada salah satu anggota koor dan seorang bapak
pembaca pengumuman mingguan. Dan pada saat itu, Romo Amanche memaparkan bahwa
ia pernah meminta doa kepada umat Belo sebulan lalu ketika membagikan Santarang
(jurnal sastra), dan katanya lagi, doa tersebut terkabul karena bulan ini akan
ke Makassar guna mengikuti sebuah event sastra Internasional. (Dan beliau juga
banyak memotivasi dan mengapresiasi kehadiran orang lain dengan memperkenalkan
karya dan dedikasi mereka di setiap kesempatan ia memimpin misa).
Ketika selesai
misa kedua di Noelsinas, saya bukan saja merasa bahwa mungkin berkat saya akan
dobel karena merayakan pesta Tubuh dan Darah Kristus dua kali, atau bahwa
perjamuan kami hari itu ditutup dengan menyantap se’i babi di Baun, tapi saya
percaya dengan cara Romo Amanche dalam karya-karya pastoralnya. Berbeda memang
tetapi saya rasa itu adalah sebuah keniscayaan besar bagi pengembangan Gereja
sesuai tuntutan zaman. Saya rindu akan pastor yang open minded, yang komunikatif dan kreatif.
Hingga detik
ini, saya punya keinginan besar untuk mendokumentasikan perjalanan Komunitas
Sastra Dusun Flobamora dalam sebuah karya dokumenter. (Dan berharap bisa
memiliki kamera digital/ handycam sendiri, minimal yaaa..). Kenapa? Komunitas
ini dan anggota-anggotanya telah melakukan banyak langkah baik dalam karir dan
kegiatannya. Ada pencapaian tersendiri yang patut didokumentasikan. Bagaimana
keberagaman latar belakang anggota telah tumbuh-menyatu dengan baik dalam
komunitas ini. Ide tersebut kok ya muncul di kepala saya adalah sebuah film
dokumenter. Dokumenter ini mungkin bukan saja akan memotret karya DF tetapi
juga memotret keseharian anggota DF yang menggunakan sastra atau seni pada
umumnya untuk menyebarkan kabar baik bagi sesama, seperti yang sudah dilakukan
Romo Amanche. Misalnya, sebuah spontanitas bernanyi atau berpantun, di tengah
umat di sebuah pedusunan, saya rasa itu juga sebuah potret yang sangat baik
sekali bagaimana pada akhirnya Komunitas ini juga turut memberikan andil yang
besar dalam tugas pewartaan tadi kan?
Luar biasa...
Pada akhirnya, saya
menutup tulisan ini dengan terima kasih yang besar kepada Tuhan dan untuk kita
semua, atas setiap pengalaman baik yang kita ciptakan bersama untuk kebaikan
bersama.
Salam
FYI: Amanche adalah penyanyi dari single 'Adik Menangis Satu Malam', sebuah lagu parodi yang direkam secara spontan tanpa ada niat lebih. Namun kemudian menjadi booming di pertengahan hingga akhir tahun 2012 lalu. Amanche sendiri adalah salah satu dari 16 penulis Indonesia yang lolos dalam seleksi di ajang Ubud Writers And Readers Festival tahun 2012, lewat cerpen Tape Recorder di Kampung Kami.
copyright foto: Patris Allegro
****
Christian
Dicky Send. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bergiat di Komunitas
Sastra Dusun Flobamora dan Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community). Menulis
buku puisi Cerah Hati dan Kanuku Leon (segera terbit). Saat ini bekerja sebagai
konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...