Minggu, 09 Juni 2013

Amanche Frank OE Ninu: Menyabdakan Sastra Tuhan di Tanah Flobamora




Sebuah Profil

Suatu ketika saya diajak mengikuti perjalanan menyiarkan sabda Tuhan oleh seorang teman baik sekaligus kakak senior di komunitas. Nama penanya Amanche Frank OE Ninu atau dikenal juga sebagai Romo Amanche. Beliau adalah pegiat sastra sekaligus pendiri komunitas sastra Dusun Flobamora, menulis buku humor dan buku kumpulan cerpen dan pantun. Tak hanya itu saja, Romo Amanche adalah penyanyi yang baik (sehingga adik menangis melebihi satu malam!) dan seorang guru nan kreatif di SMAK Giovanni Kupang. Lengkap sudah. Dan saya secara pribadi selalu mengapresiasi cara beliau dalam menempatkan diri sebagai seorang pastor yang punya ‘tuntutan profesi’ untuk melayani gereja dan menyiarkan kabar baik dari Tuhan sekaligus bertanggungjawab mengembangkan iman dan karya nyata umat (terutama kaum muda) lewat jalan kreativitas.
Dua pegiat di DF: Rm Amanche (baju merah) dan Rm Patris
Di hari Minggu pagi yang cerah itu kami menuju dua kapel di pinggiran Kupang, yakni kapel St. Agustinus Belo dan kapel Santa Maria Fatima Noelsinas. Ini merupakan kali ketiga saya ikut bersamanya merayakan misa hari Minggu bersama umat di kapela-kapela di pinggiran kota Kupang. Dulu pertama kalinya saya diajak ke kapel Fetonai di Kupang Barat (lalu terciptalah cerpen Ada Kisah Tentang Lukisan Ikan di Fetonai). Lalu saya diajak ke kapela Usapi Sonbai di Nekamese, dan dari sana lahirlah inspirasi saya untuk menulis cerpen Gugur Sepe Usapi Sonbai. Keduanya saya tulis sebagai pengalaman iman saya merayakan ekaristi bersama umat Tuhan yang sederhana di pinggiran kota. Pada saat yang bersamaan, saya pun turut serta dalam usaha teman baik dan kakak saya, Romo Amanche, menyiarkan kebaikan Tuhan dengan cara dan formula yang paling dekat di hati umat yakni dengan pantun, dengan lagu bermelodi lokalitas, dengan puisi, dengan bahasa dan logat yang kental. Dengan hal-hal itu, sabda dan perintah Tuhan dapat diresapi dengan kenyataan sukaria dalam jiwa umat. Sesederhana itu saya memaknai kehadirannya sebagai gembala umat.
Teringat lagu, “gembala baik, bersuling nan merdu...”, dari Kidung Jemaat yang kerap saya nyanyikan kepada kakek nenek saya di masa kanak dulu. Sebuah lagu dengan syair yang mendamaikan hati, sekaligus melestarikan iman. Gembala baik seumpama telaga bening yang menyimpan air bagi semua makhluk hidup di atas lembah permai. Air yang memberikan kesegaran, menghijaukan rerumputan yang merupakan santapan para domba. Saya rasa, semua itu menghalau ketakutan kita semua akan kondisi para imam dewasa ini yang diam-diam mulai disangsikan dan dikhawatirkan oleh sekalian umat. Imam yang dinilai sudah terlalu asyik pada kehidupan dunia dan mulai melupakan tugas utamanya menanamkan benih-benih sabda Tuhan dalam setiap hati umatnya. Katanya sih begitu.
Saya melihat dari kacamata awam, bahwa masing-masing imam punya cara sendiri-sendiri untuk menerjemahkan sabdaNya lewat karya harian mereka, lewat sikap dan perilaku, lewat hobi dan pekerjaan mereka. Dan apa yang dilakukan romo Amanche (dan beberapa romo lainnya yang aktif bergiat bersama kami para awam di komunitas sastra DF) adalah pilihan yang baik, menurut saya.
Sabda adalah sastra atau sebaliknya, sastra adalah sabda. Saya memaknai kalimat ini, ketika misa telah usai di kapela St. Agustinus Belo dan kami bersiap untuk melanjutkan misa berikutnya di kapela Santa Maria Fatima Noelsinas, kira-kira 5 km dari Belo. Saya memaknai itu, setelah tiga kali atau lebih, melakukan perjalanan pastoral bersama romo Amanche (atau Romo Sipri, atau romo Patris Neonub dan romo Arky Manek). Cieeh, perjalanan pastoral? H-HAHA....kadang umat sampai mengira bahwa kami yang menyertai para imam ini, adalah sekelompok frater (misalnya saya, Mario F Lawi atau Djho Izmail). Tapi memang kadang aktivitas tersebut juga dilakukan bersama dengan frater betulan, seperti bro Januario Gonzaga, Ishack Sonlay, Saddam HP. Mereka ini frater yang gemar bersastra juga. Ini bukan saja bahwa sabda-sabda Tuhan dulunya ditulis oleh para nabi dan murid dengan gaya bersastra yang kental, namun kini para imam, yakni teman, saudara dan kakak-kakak saya juga memilih jalan yang sama dalam menyiarkan sabda Tuhan. Entah dalam tulisan, kotbah mingguan, di akun facebook, hingga di komunitas-komunitas anak muda, mereka hadir dan mengabarkan kebaikan Tuhan lewat puisi, cerpen, pantun, humor atau karya fotografi yang puitik. Dan saya melihat sendiri, bahwa umat begitu tertarik dan antusias dengan model imam seperti ini yang membawakan sabda atau taurat Tuhan dengan cara yang mudah dimengerti, indah dan real: sastra itu sendiri. Maka izinkanlah saya memaknai proses menarik ini dengan sebutan ‘menyabdakan sastra Tuhan’.
Ketika menutup misa di Belo, romo Amanche sempat berpantun yang memang sengaja dibuat spontas di atas altar. Isinya bernas dan seimbang, bahwa intinya beliau mengangkat realitas kehidupan rohani umat Belo 40 %, unsur teologis 50 % (kala itu tepat dengan perayaan ‘Tubuh dan Darah Kristus’) serta unsur humornya 10%. Keren bukan? Sebagai umat awam, saya memang merindukan isi kotbah atau misa secara keseluruhan yang tidak terlalu tinggi membahasakan teologia. Apalagi imam yang terbiasa berkotbah dengan teks, jadinya malah kaku dan tidak leluasa untuk membicarakan hal-hal spontan dan kontekstual yang terjadi pada detik itu juga. Apalagi sampai beredar kabar bahwa imam tertentu hanya membacakan ulang renungan yang ada di majalah Hidup, dsb. Pasti imam tersebut tak pernah membaca karya sastra atau terbiasa mengapresiasi karya sastra. Hehe.. iya lho, alasannya sudah saya paparkan di paragraf sebelumnya.
Tak hanya itu, romo Amanche terbiasa membawa jurnal Sastra Santarang atau buku sastra lainnya ke kapela dan membagikan beberapa eksemplar secara gratis kepada umat. Misalnya saat di Belo, Romo menyerahkan dua eksemplar buku Kuyup Basahmu (buku puisi karya frater Ishack Sonlay) kepada salah satu anggota koor dan seorang bapak pembaca pengumuman mingguan. Dan pada saat itu, Romo Amanche memaparkan bahwa ia pernah meminta doa kepada umat Belo sebulan lalu ketika membagikan Santarang (jurnal sastra), dan katanya lagi, doa tersebut terkabul karena bulan ini akan ke Makassar guna mengikuti sebuah event sastra Internasional. (Dan beliau juga banyak memotivasi dan mengapresiasi kehadiran orang lain dengan memperkenalkan karya dan dedikasi mereka di setiap kesempatan ia memimpin misa).
Ketika selesai misa kedua di Noelsinas, saya bukan saja merasa bahwa mungkin berkat saya akan dobel karena merayakan pesta Tubuh dan Darah Kristus dua kali, atau bahwa perjamuan kami hari itu ditutup dengan menyantap se’i babi di Baun, tapi saya percaya dengan cara Romo Amanche dalam karya-karya pastoralnya. Berbeda memang tetapi saya rasa itu adalah sebuah keniscayaan besar bagi pengembangan Gereja sesuai tuntutan zaman. Saya rindu akan pastor yang open minded, yang komunikatif dan kreatif.
Hingga detik ini, saya punya keinginan besar untuk mendokumentasikan perjalanan Komunitas Sastra Dusun Flobamora dalam sebuah karya dokumenter. (Dan berharap bisa memiliki kamera digital/ handycam sendiri, minimal yaaa..). Kenapa? Komunitas ini dan anggota-anggotanya telah melakukan banyak langkah baik dalam karir dan kegiatannya. Ada pencapaian tersendiri yang patut didokumentasikan. Bagaimana keberagaman latar belakang anggota telah tumbuh-menyatu dengan baik dalam komunitas ini. Ide tersebut kok ya muncul di kepala saya adalah sebuah film dokumenter. Dokumenter ini mungkin bukan saja akan memotret karya DF tetapi juga memotret keseharian anggota DF yang menggunakan sastra atau seni pada umumnya untuk menyebarkan kabar baik bagi sesama, seperti yang sudah dilakukan Romo Amanche. Misalnya, sebuah spontanitas bernanyi atau berpantun, di tengah umat di sebuah pedusunan, saya rasa itu juga sebuah potret yang sangat baik sekali bagaimana pada akhirnya Komunitas ini juga turut memberikan andil yang besar dalam tugas pewartaan tadi kan?
Luar biasa...
Pada akhirnya, saya menutup tulisan ini dengan terima kasih yang besar kepada Tuhan dan untuk kita semua, atas setiap pengalaman baik yang kita ciptakan bersama untuk kebaikan bersama.

Salam
 
 FYI: Amanche adalah penyanyi dari single 'Adik Menangis Satu Malam', sebuah lagu parodi yang direkam secara spontan tanpa ada niat lebih. Namun kemudian menjadi booming di pertengahan hingga akhir tahun 2012 lalu. Amanche sendiri adalah salah satu dari 16 penulis Indonesia yang lolos dalam seleksi di ajang Ubud Writers And Readers Festival tahun 2012, lewat cerpen Tape Recorder di Kampung Kami. 

copyright foto: Patris Allegro

****

Christian Dicky Send. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora dan Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community). Menulis buku puisi Cerah Hati dan Kanuku Leon (segera terbit). Saat ini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...