Jumat, 15 Februari 2013

Ende: Lebih Dari Nongkrong, Tak Ada Omong Kosong

(Catatan ulang tahun ke-4 Flobamora Community)
Christian Dicky Senda

Awal: Ende dan Blogger NTT
Di awal Februari 2013 saya berkesempatan berkunjung ke Ende lagi, setelah terakhir kali berkunjung ke kota Pancasila itu tahun 2010 lalu. Saya dan beberapa teman dari Kupang dan Soe diundang untuk hadir dalam rangkaian kegiatan ulang tahun ke-4 Komunitas Blogger NTT (Flobamora Community) yang kali ini dipusatkan di kota Ende. Selain itu, agenda lainnya adalah berkunjung ke Syuradikara dan membicarakan beberapa agenda penting menjelang ulang tahun ke-60 almamater tercinta.
Hari Kamis, (31/1)  pesawat TransNusa membawa saya dan romo Patris ‘Allegro’ Neonub, Pr ke Ende setelah sebelumnya mampir 15 menit di Bajawa. Setibanya di Ende, kami langsung disambut oleh member Flobamora Community Ende, antara lain sang ketua FC kak Tuteh Pharmantara, ditemani ketua panitia HUT Ke-4 FC, kak Iros Tani, tak ketinggalan juga teman baik saya saat di Syuradikara, Kenisia Natalia Rohi (Telly). Rupanya romo Patris sudah dijemput juga oleh mobil utusan dari Pupas Ende tempat beliau nantinya menginap. Kamipun berpisah sejenak, sebab member FC Ende langsung mengantar saya ke rumah Telly di ‘Jalan Baru’. Ende cerah, sedikit panas. kota ini selalu spesial bagi saya, sebab kota ini juga telah andil membesarkan masa remaja saya. Petualangan dimulai.

We Are Blogger NTT


Malam harinya kami diundang makan malam dan kopdar di rumah kak Tuteh di Jalan Irian Jaya. Sebenarnya malam itu kami akan makan jagung bose oleh-oleh dari Kupang, namun karena jagung bose itu lupa saya bawa (OMG, masih muda sudah lupa kau, Dic!) makanya makan malam jagung bose batal. Mohon maaf untuk teman-teman Ende yang sudah bersemangat hadir dengan satu alasan lainnya, makan jagung bose! Untunglah kekecewaan itu bisa terobati dengan sekantung kiri-kiri (kue asin) yang dibuat khusus oleh Mamatua saya terkasih, dan dua bungkus ‘jagung airmata’ yang saya beli di Rukun Jaya. Syukurlah dua jenis snack ini laris manis malam itu.
Kami mengobrol, ngopi, tertawa dan membicarakan persiapan acara malam puncak hari Sabtunya (2/2) hingga pukul 23.00, saya dan Romo Patris harus pulang kembali ke penginapan kami masing-masing. (Setelah kami pulang itulah, ‘insiden kontes mimisan’ eh salah, ‘miss-missan’ terjadi. Kontes yang sempat menghancurkan dapur dan ruang makan kak Tuteh. Soal ini kita off record saja ya? LOL).
Seminar di Almamater Sendiri, Bangga
Paginya saya dan Telly menjemput ibu dokter terkasih, sahabat baik kami, Sandra Olivia Frans di Bandara Haji Hassan Aroeboesman. Sandra datang dengan penerbangan pagi Merpati. Dari bandara kami mampir sejenak ke rumah Telly, nitip tas Sandra, lalu meluncur ke SMAK Syuradikara tempat seminar ‘Internet Sehat dan Sejuta Manfaat Sosial Media’ diadakan.
Bagi saya, kembali ke Syuradikara ibarat akan pulang rumah. Rasanya tenang dan rindu yang membuncah, ingin tumpah saja. Cieeh. Ya, saya tidak bermaksud lebay. Syuradikara adalah rumah kedua saya. Saya punya banyak saudara dan orang tua terbaik di sana.
Tak membuang waktu lama, saya langsung menuju ke setiap ruang guru. Senang rasanya mereka masih mengenal baik diri saya. Ada yang lupa nama, tapi tentang “Si anak 3 IPA 1, aktif koor bersama pak Ferdy Levi, jarang masuk ruang guru (karena bermasalah, red), bla..bla..” cieeeh. *Ini benar lho, tanpa maksud melebih-lebihkan untuk memuji diri sendiri hhahaha*
Seminar siang itu berlangsung cukup meriah. Dari pihak Syuradikara, hadir  pak Ambros (guru Geografi saya dulu), yang kebetulan ada pendamping OSIS. Profilnya masih sama di mata saya, awet muda, enerjik dan murah senyum. Itulah Pak Ambros.
Pada kesempatan pertama, kak Tuteh sebagai Blogger NTT senior memberikan materi tentang sejarah penggunaan internet di Indonesia dan perkembangannya hingga detik ini. Bagaimana pengaruh internet bagi warga Indonesia, baik positif maupun negatif. Kemudian topik mengerucut ke progres penggunaan internet untuk wilayah NTT, berserta peran Blogger NTT bagi progresivitas tersebut. Pada sesi kedua, saya mulai dengan sebuah video pendek yang saya edit ala kadarnya 2 jam sebelum berangkat ke bandara El Tari.
Saya lebih menegaskan lagi apa yang sudah diungkapkan kak Tuteh tentang Internet Sehat dan peran Blogger di NTT. Dalam video pendek itu, saya secara pribadi mengangkat contoh-contoh kecil yang sudah saya dan kawan-kawan blogger NTT lakukan terkait dengan pemanfaatan teknologi iformasi dan komunikasi. Bagaimana bisa lewat blog, facebook, twitter, BBM dan milis, kami membuat kelompok menulis online MudaersNTT, bikin buku puisi dan cerpen dari kebiasaan menulis atau ‘curhat’ di blog, menggalang dana (crowd funding) untuk pembuatan buku 5900 Langkah: Antologi Cerita Alumni Syuradikara, membuat film pendek inspiratif dan menyebarkannya via Youtube, atau yang belakangan saya dan kawan-kawan muda di sekolah tempat saya bekerja: membuat majalah dinding dalam versi digital (e-magz) dan membagikannya gratis via blog.
Saya juga sedikit sharing, kenapa saya yang seorang Konselor (atau guru BK) tapi kok mengurus hal begituan?
Jawaban saya, bahwa saat ini tak bisa kita pungkiri, kita hidup di era digital, era teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Remaja sekarang (karena saya seorang konselor remaja) juga berada di pusaran yang sama. Mereka aktif bergaul dengan dunia tersebut. Di sisi yang lain, dunia TIK ibarat pisau bermata dua, ada positif negatifnya. Nah, saat ini banyak remaja yang terjebak pada sisi negatif teknologi itu. Saya mengalami sendiri, murid-murid saya memaki, berantem, bullying, dll di BBM, yang bermula dari status Facebook atau Twitter. Atau mereka yang kecanduan sama alat-alat ‘hibahan gratis’ dari orang tua mereka, Blackberry, Android, kamera SLR, tablet, kamera ditigal, dll, tapi menggunakan sebatas main game melulu, update status melulu. Mereka abai atau tak tahu  apalagi sadar betapa bergunanya alat-alat tersebut jika dipakai untuk hal-hal yang lebih besar dan bermanfaat bukan saja untuk diri sendiri tetapi untuk banyak orang. Nah, memancing sensivitas dan daya kreatif itulah makanannya (baca: tugasnya) seorang konselor seperti saya. Sehingga sebagai guru BK, saya pun harus ‘gahoool’ he-he, oke maksud saya adalah tidak gaptek. Saya tidak mungkin menyelesaikan kasus remaja melakukan tindakan penyalahguaan teknologi tanpa tahu betul keseluruhan teknologi itu, ya kan?
Pada saat yang sama, saya sadar betul untuk melakukan tindakan preventif. Saya sendiri melihat dan merasakan sendiri, banyak guru yang kadang menuntut siswa berubah perilakunya secara cepat (bila perlu dengan sedikit tekanan) lalu kemudian abai ketika perilaku siswa sudah berubah. Apa tindak lanjutnya supaya perilaku tersebut adekuat dan bahkan terus berkembang menjadi lebih baik. Apa tindakan preventifnya agar kejadian yang sama tidak terulang lagi? Kadang itu kurang diperhatikan para guru. Dan bagi saya sendiri, sudah tanggungjawab saya untuk menciptakan, memfasilitasi dan ikut merangkul setiap kerja kreatif mereka. Terkadang, kehadiran saya hanyalah pemicu selanjutnya biarkan mereka bereksplorasi. Hasilnya luar biasa.

***
Cafe: Antara Nongkrong dan Dialog Kosong (?)
Sorenya saya menyempatkan mampir ke rumah om saya di Sam Ratulangi untuk mengantar oleh-oleh kiriman dari Mamatua. Cepat sembuh om!
Dari Sam Ratulangi saya langsung menuju rumah Kak Tuteh, pinjam motornya dan menyusul Sandra serta Fawzya yang sudah duluan menikmati senja di Cafe D’Light, kompleks pantai Ria. Berbicara Ende dan cafe-cafenya yang mulai menjamur, saya punya kesan pribadi sendiri. Ende menjadi lebih hidup dan berwarna. Di Facebook, saya menulis, “Saya suka kehidupan malam Ende. Dinamis. Kehadiran cafe menjadi warna tersendiri bagi saluran kreatif anak-anak muda kota pendidikan ini.”


Cafe bagi saya adalah media yang mampu menampung gairah (positif) anak muda sebuah perkotaan. Cafe dimanapun telah menjadi simbol baru bagi kreativitas dan passion anak muda dan siapapun yang merasa muda. Saya percaya, cafe bukan sekedar tempat nongkrong dan menciptakan dialog-dialog kosong. (Ih diksinyaaa coba). Cafe yang murah atau mahal itu relatif, tapi ketika suasana dinamis yang diciptakannya saya rasa mampu memacu daya komunikasi, inovasi dan kreativitas menjadi lebih berarti. Beruntunglah Ende mempunyai itu. Terima kasih untuk mereka yang telah menciptakan ruang publik yang representatif ketimbang menunggu doang upaya pemerintah menciptakan ruang publik yang nyaman bagi masyarakatnya. Ada baiknya juga ketika lokasi nongkrong anak muda menyebar di satu titik, misalnya di Ende, di area pantai Ria dan sekitarnya, maka akan memudahkan pihak keamanan untuk mengontrol aktivitas anak muda kota tersebut di malam minggu. (Sejak kuliah—mungkin karena pengaruh pernah tinggal di Jogja—pingin suatu saat, ketika punya duit, hehehe membangun sebuah cafe skalian perpustakaan, sekalian ruang diskusi, sekalian ruang pameran sekalian markas anak-anak muda/komunitas sastra-film-fotografi-psikolgi ngumpul dan sharing sambil ngopi-ngopi dan makan roti bakar.)
Berbicara Pantai Ria, Kupang juga punya pantai Ria, namun ketika pantai itu kemudian di ‘privatisasi’ oleh Subasuka, rasanya ada yang hilang. Pantai itu kemudian menjadi ‘mahal’ dan tak terjangkau kalangan bawah. Sayang.

Di D’light cafe kami juga menyempatkan bereuni dengan teman seangkatan di Syuradikara dulu, Sofi Kusnadi, Cynthia Aten, Anita Salo, Tely Rohi dan Deny Sino. Malam itu tambah lengkap karena hadir juga Romo Patris, yang selama ini rajin merealisasikan diri sebagai ‘Blogger Katekese’, artinya lumayan intens menyampaikan katekese via media sosial blog. Saya senang, beliau selalu aktif mendampingi para blogger muda NTT, dengan gaya kerasulannya bahkan mampu memberi warna dan arah bagi kami. Luar biasa. Kami umat makin senang punya pastor yang berwawasan luas dan gak gaptek. Paus Benedictus XVI saja sudah menggunakan Twitter dalam merasul.
***
Bertemu Fransiska Eka, Penulis ‘Misterius’
Sabtu (2/2) pagi, saya, Sandra, Tely, Dhjo Izmail dan Romo Patris diundang teman sesama Blogger juga seorang penulis muda berbakat, Fransiska Eka (Wangge) untuk kopdar di tempat kerjanya di Universitas Flores yang kampus terpadunya persis di bawah kaki Gunung Wongge. Sementara itu, kak Tuteh Pharmatara, dan kawan-kawan FC lainnya sedang mendampingi relawan yang hendak mendonorkan darahnya di PMI Kompleks RSU Ende. Aksi donor darah ini menjadi agenda utama juga selain seminar dan makrab lintas komunitas di ultah ke-4 FC.
Akhirnya kami bertemu Eka, di jalan masuk menuju gedung rektorat yang super menanjak. Benar-benar siang itu seperti jalan salib ala kami, hanya untuk mencapai kantin kampus yang berada persis di sayap kiri gedung rektorat. Dan.... sesampainya di kantin, fiuuhhh, jerih lelah kami terbayar. Gilaaa, bagi saya ini view paling keren dari kantin kampus se-NTT barangkali. Lha iya, dari kantin ini, kita bisa melihat ¾ kota Ende, teluk Ende, Pulau Ende, gunung Meja dan Ia pluus langit biru kota Ende. Perfecto! Menu makan siang bakso yang kuahnya agak keasinan bahkan jadi sangat enak karena mata telah mengalahkan lidah. Ecieee....
Selesai makan (danke Eka untuk traktirannya) kami langsung menuju ke Museum Bung Karno di Kelurahan Kota Ratu, namun sayang karena masih dalam tahap pasca pemugaran jadi belum dibuka lagi untuk umum. Oke tak apalah, numpang foto-foto di luar pagar saja.
Dari Museum Bung Karno kami menuju ke Katedral Christo Rei yang arsitekturnya unik. Sayangnga (lagi dan lagi) pintunya terkunci sehingga kami tak bisa menikmati keindahan ornamen atau kaca patri di dalam Katedral. (Saya adalah pengagum kaca patri yang ada di gereja-gereja. Rasanya khas gereja Katolik.)
Perjalanan selanjutnya adalah menuju Museum Tenun Ikat tempat malamnya kami akan pentas sekalian makrab lintas komunitas se-kota Ende. Museumnya keren, berarsitektur rumah adat khas Ende Lio dengan halaman yang luas, bersih dan hijau. Museum ini persis berada di samping Taman Pancasila dan Museum Bahari juga gedung Baranuri. Limapuluh meter dari Lapangan Pancasila (dulu lapangan Perse) juga dengan jarak yang sama untuk menjangkau D’light cafe dan kawan-kawannya di kawasan pantai Ria.

Saya dan romo Patris menyempatkan memotret dan dipotret di kawasan taman yang hijau dan adem karena ditumbuhi lebih dari 5 pohon beringin raksasa. Luar biasa. Ketemu ‘kanuku leon’ di Ende hehehe...*kode*
Bersama Sandra kami lantas menepi sejenak di pinggir lapangan Pancasila tempat deretan pedagang kaki lima biasa nongkrong. Es kelapa mudanya enaak. Dengan perasan jeruk nipis pula. Saya kalap dan buntutnya amandel foe!

***
Beruntunglah Ende Punya Anak Muda Kreatif
Pukul 19.00 acara puncak HUT ke-4 FC, makrab dan pentas seni yang melibatkan sedikitnya tiga komunitas yang ada di Ende: FC sendiri, Rapper Family Clan, Komunitas Pencinta Alam (KPA) Laskar Ambruk. Juga komunitas tamu yang hadir dan mendukung, Komunitas Sastra Dusun Flobamora.
Acara yang sempat tertunda sejenak karena hujan, dibuka dengan penampilan pemain pianika dan penyanyi cilik (saya lupa namanya), lalu ada tarian kontemporer: perkawinan tari tradisional Ende, shufle dan permainan tradisional (o mai gaat, sinjau-sinjau adi kaka sudah jau hampir jau...bla..bla dan Mari Yeti mari yooo..sontak memancing memori masa kecil saya.).
Selanjutnya saya membacakan penggalan cerpen sahabat baik saya Mario F Lawi, Sekadar Perumpamaan Bagimu, Cinta. Ah, berat juga ketika kak Tuteh menodong saya membaca puisi/prosa, karena saya bukan pembaca puisi yang baik. Tapi syukurlah gak ada penonton yang pamit pulang gara-gara pembacaan cerpen tersebut.

Berbicara di Syuradikara


Acara semakin meriah, ketika trio MC berhasil menarik kembali mood penonton pasca hujan, kak Tuteh, Oscar dan Kharisma. Teman-teman Laskr Ambruk yang selama ini konsen melakukan penghijauan di beberapa gunung dan bukit yang mengitari kota Ende, membawakan sebuah aksi teater tentang upaya penyelamatan lingkungan. Super. Apalagi bahwa faktanya kebanyakan mereka adalah pelajar SMA. Sementara pada sesi puncak dan pamungkasnya, teman-teman rapper Ende, Xella, dkk berhasil menaikkan tensi kami untuk ikut menari dan menghentakkan kaki dengan 3 lagu kerennya. Bahkan lagu Happy Birthday yang dikemas ala rap berulang-ulang kami nyanyikan, tak ada bosan-bosannya. Fiuhh!
Tak terasa, dua tiga hari bertemu, malam itu puncaknya perasaan ini berkecamuk: yeyyy, kami bersaudara!
***
Jagung Rebut Km 12 dan Hampir Gagal Terbang
Besoknya, Minggu (3/2) pagi pukul 5.30 saya menjemput romo Patris di Puspas langsung tancap gas menuju ke Kapela St.Mikhael Syuradikara. Saya punya niat khusus ketika datang dari Kupang, saya harus merayakan misa di Syuradikara. Ada rasa rindu untuk menyanyi dan berdoa di kapela itu. Rasanya baru kemarin saya bersekolah dan misa di tempat itu.
Misa menjadi makin spesial karena dipimpin oleh Pater Ama Petu, pastor yang dulunya menjadi guru bahasa Jerman saya, berperawakan tinggi besar (saya selalu menyamakan beliau dengan tokoh Hagrid dalam serial Harry Potter hehe), asli Wina Austria. Romo Patris menyebutnya mirip dengan imam Ortodox karena brewoknya hehehe.
(Sementara kami misa, Sandra sudah terbang duluan ke Kupang dengan Merpati).
Selesai misa kami pulang. Pagi itu saya merasa benar-benar letih. Malam sebelumnya kak Tuteh sudah menjanjikan untuk plesir sebentar ke pantai Cincin, sebelum terbang ke Kupang jam 14.45. sayang karena semuanya kecapean, rencana ke pantai Cincin gagal. Pilihan selanjutnya adalah makan jagung rebus di km 12  jalur trans Ende-Maumere. Lagi-lagi Ende punya buanyaaak alternatif nongkorng. Tempat makan jagung rebus ini sederhana saja, berupa rumah dari bambu lengkap dengan bale-bale. Viewnya juga keren, berada di pemukiman penduduk yang diapit bibir bukit terjal dan sungai deras. Sejuk. Nikmatnya lagi, jagung rebus tak sekedar dimakan dengan sambal doang, tapi ada menu tambahan ikan selebar dua telapak tangan saya yang dikeringkan lalu digoreng. Surga.
Sampai-sampai kami hampir ketinggalan pesawat. Untung ada Sofi Kusnadi yang punya jaringan dengan orang bandara sehingga untuk saya, loket chek in boleh dibuka lagi khsusus untuk saya. Oh, God, jangan terulang lagi.
Terima kasih kawan-kawan mudaers Ende. Tiga hari disana tak sekedar bernostalgia dan bersenda gurau semata, tetapi ada banyak ilmu yang sudah kita bagi dan sharing satu sama lain. Happy rasanya bisa berbagi pengalaman dengan banyak orang, khususnya orang-orang muda di Ende. Saya pun banyak belajar dari kalian. Ende bahkan di luar dugaan saya, telah bertumbuh menjadi kota kecil yang dinamis dan berwawasan luas. Komunitas anak mudanya tumbuh subur. Saya dengar di Ende ada juga komunitas belajar musik dan not balok gratis untuk siapapun, itu wow sekali! Sayang kita tidak sempat bertemu komunitas tersebut.
***
Danke, kaka...
Akhirnya siang itu kami bergegas menembus hujan dan kota Ende yang kian padat menuju bandara Aroeboesma. Pada perhentian terakhir, kami harus berpisah dan menyadari motor kami telah penuh dengan debu yang dikirimkan Rokatenda. Terima kasih kak Tuteh, dkk untuk selendang Ende-nya. Terima kasih untuk kenyamanan yang diberikan untuk kami bertiga, saya, Romo Patris dan Dokter Sandra dari Kupang dan Soe. Rencana ke Kelimutu yang gagal berarti akan ada kunjungan berikutnya ke Ende.
Mata yang perih mungkin karena sedih, mungkin juga karena debu-debus halus Rokatenda.

Salam Flobamorata!
Christian Dicky Senda, penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Blogger di Komunitas Blogger NTT, kuli puisi dan cerpen di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Founder MudaersNTT kelompok menulis online, penulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan kumpulan cerpen Kanuku Leon (segera terbit). Konselor di SMPK St. Theresia Kupang. Editor di Speqsanthers +, kelompok jurnalisme pelajar SMPK St. Theresia. Sedang belajar bikin film dan... jomblo! Uhuiii. #modus.



bersama kak Tuteh, ketua umum Blogger NTT






Foto-foto: Patris Allegro dan Fernando Wajong

1 komentar:

  1. mantab kak.. pngalamannya kak, buat sy berdecak kagum..
    sy bgt brsmangat 45' membaca tulisannya kak
    kapan sy bisa dptkan kmpulan crita2nya kak ? hehehe


    salam kuning putih dan FLOBAMORATA :)

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...