Sabtu, 19 Januari 2013

Mengkritisi Jembatan Penyebrangan Jalan A. Yani Kupang (Seri Pejalan Kaki)

Ini adalah gambar Jembatan penyebrangan di jalan A. Yani Kupang, tepat berada di kompleks persekolahan SMP St Theresia, SDK Donbosko 1-4, SMP Giovanni, SMA Giovanni , SMKN 2 dan Univ Widya Mandiria. Sudah barang tentu lokasi di sekitar sini ramai dan macet. Dan mungkin rawan kecelakaan sehingga mungkin hal tersebut menjadi alasan kenapa jembatan penyebrangan ini dibangun, bukan sebuah zebra cross melintang di badan jalan. Ini penyakitnya Indonesia. Saya pribadi gak setuju sama keberadaan jembatan penyebrangan. Saya lebih suka kalau di badan jalan, cat zebra cross tetap mentereng sepanjang tahun dan masyarakat dididik untuk aktif menyebrang di zebra cross tidak di sembarang tempat. Sekaligus jadi pelajaran berlalulintas yang baik buat para pengemudi kendaraan bermotor (roda 2 maupun lebih) bahwa di jalanan ada zebra cross yang sewaktu-waktu bisa digunakan pejalan kaki untuk menyebrang, jadi sang pengemudi gak boleh egois. Tentu saja ini penting. Sebab di Indonesia yang saya lihat, pengguna kendaraan bermotor sangat dimanja dan mereka (juga saya yang belakangan mengemudikan motor) menjadi egois dan acuh tak acuh dengan pejalan kaki. Gak heran, kasus tabrak lari yang dialami para pejalan kaki juga tinggi di Indonesia. Maksud saya begini. Anda tentu tahu di kota besar, megapolitan yang super padat, di luar Indonesia lho yah, misalnya di jantung kota di Tokyo atau Manhattan- New York, apa ada jembatan penyebrangan? Tidaak! Silahkan cek sendiri di Google.Tapi mereka punya zebra cross yang catnya mentereng dan lebar-lebar. Dan ada harmoni antara pejalan kaki dengan pengemudi. Bahkan ada lampu lalulintas untuk pejalan kakinya juga. Kapan mereka harus menyebrang. Sepadat itu jalan mereka tapi tetap saja teratur. Sama sekali gak ada pihak yang egois untuk memonopoli jalan raya. Gak ada grasak grusuk, terobos sana sini. Ini soal bagaimana saya dan kita semua belajar tertib di jalan, saling menghargai dan terus membudayakan itu semua. Di Jalan A. Yani ini, ada bekas zebra cross tapi sudah pudar. Dan memang gak dicat lagi. Toh yang dipikirkan sudah ada jembatan penyebrangan. Jembatan yang kerap dipakai untuk kencing (sebab tertutup papan reklame rokok. Oh, God! Rokok!). Yang kerap kali dipakai untuk kongkow dan mabuk-mabukan oknum pelajar dan mahasiswa. Atau pacaran. Bahkan siswa saya pernah ngeluh bahwa ketika mereka SD dulu, area jembatan penyebrangan dijadikan tempat untuk pungli, terutama dilakukan pelajar SMA kepada pelajar SD. “Kami akhirnya kapok, pak, lewat jembatan itu. Apalagi baunya pesing” kilah siswa saya. Sebab jembatan itu tertutup papan iklan rokok gede jadi segala kejahatan gak kelihatan. (kejahatan yang menutup kejahatan, hohohoho...). Siswa lain berkilah, “malas pak, terlalu tinggi. Bikin capek dan ngos-ngosan naik turun tangga.” Ujung-ujungnya para pelajar dan mahasiswa di jalan A Yani lebih sering menyebrang secara serampangan (karena zebra cross-nya juga sudah pudar). Pada akhirnya menurut saya, jembatan penyebrangan sama sekali dibuat bukan untuk―katanya mau menyelamatkan atau memudahkan akses pejalan kaki. Sama sekali tidak. Jembatan itu hanya dibuat untuk menghindarkan para pejalan kaki (yang dianggap penganggu) dari jalan raya yang sudah menjadi monopoli pemilik kendaraan bermotor. Jembatan penyebrangan sekaligus telah menjadikan pengemudi raja di jalan raya. Raja yang membuat mereka boleh ugal-ugalan dan egois ketika mengendarai kendaraan bermotor milik mereka. Jembatan penyebrangan dibuat sekaligus sebagai tempat menggantung papan iklan yang hanya bisa disewa oleh perusahaan rokok (sila cek di kota-kota di seluruh Indonesia, sama saja!). Karena hanya perusahaan rokoklah yang bisa membayar pajak iklan gede bagi Pemda. Boro-boro mikirin agar papan tersebut dipasangi, misalnya, iklan ‘Anti Narkoba’, iklan KB, atau human trafficking. Ini soal jembatan penyebrangan, yang sama naasnya dengan kondisi trotoar. Pejalan kaki kan juga warga negara yang bayar pajak kan? Entah kapan kita bisa berlaku adil dan hormat bagi para pejalan kaki. Saya lebih suka jika di depan Unika dibikin zebra cross yang lebar dan semua pejalan kaki harus menyebrang di zebra cross pantang diluar jalur. Dan bagi para pengemudi, hormatilah pejalan kaki. Dalam karikatur Etho Kaju siswa Giovanni, di Jurnal Sastra Santarang edisi November 2012, katanya "lewat jembatang layang uang hilang, lewat jalan raya nyawa melayang"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...