Rabu, 07 November 2012

Kami Yang Kepanasan vs Pawang Hujan


(catatan ajaib menjelang tidur siang)
 
Paling tidak sudah dua minggu ini sejak minggu ke-4 hingga awal November ini warga Kupang merasakan suhu panas yang luar biasa. Sangat ekstrim. Kegerahan itu bahkan sudah terasa mulai pukul 8 pagi hingga jam 5 sore. Padahal di TV dalam siaran perakiraan cuaca, anehnya, seluruh propinsi di Indonesia sudah merasakan hujan, tapi tidak dengan NTT. Hal ini kemudian melahirkan banyak spekulasi dan lucunya banyak orang beranggapan bahwa ini diakitabkan masih banyaknya proyek pembangunan atau pemeliharaan (seperti jalan raya dan pipa air bersih) yang masih berlangsung hampir di setiap sudut kota Kupang saat ini. Terus? Ha-ha-ha, dari obrolan yang saya dengar di kantor atau di atas bemo, orang-orang kemudian merujuk alasan tadi dengan kemungkinan besar dimanfaatkannya profesi pawang hujan untuk ‘menahan’ hujan.
Teman saya berujar dengan nada agak sewot, “Iya nih, pasti gara-gara pawang hujan. Buktinya ini panas rasanya beda, seperti terbakar api!
Orang –orang yang saya temui punya alasan yang sama. Saya pun akhirnya ikut mengamini. Mungkin saja benar. Okelah, faktanya memang Kupang adalah kota di atas karang yang cenderung panas dan gersang, tapi kan harusnya sudah masuk ke musim penghujan di November ini. Kita (termasuk saya lho yah!) mungkin lupa bahwa sebuah perubahan suhu bumi ekstrim sedang terjadi. Inilah pemanasan global sebenarnya. Ketika sebagian hujan badai dan banjir, sebagian belahan bumi lainnya malah sedang panas gak karuan. Bahkan yang berada dalam satu garis musim pun gak serentak merasakan perubahan musim yang sama. Nah lho. Seperti kejadian di Kupang ini. Ketika saya menulis ini dan tak habisnya berpikir (atau sengaja memikirkan soal profesi pawang hujan tadi) eh di Facebook, teman saya di Ende memposting sebuah foto yang menggambarkan kota Ende yang sedang dipenuhi awan gemawan gelap dan hujan petir besar pun beriringan menandakan dimulainya musim penghujan itu. Tapi kapan itu terjadi di Kupang? Saya membatin. Banyak pertanyaan menggelitik (dan mungkin setengah tolol setengah konyol-sesuai dengan tingkat IQ saya).
Terlalu banyakkah proyek yang tertunda di ibukota propinsi tercinta ini? Sehingga sudah melewati musim panas pun belum selesai sehingga harus menggunakan jasa pawang hujan segala. Akh, tentang pawang hujan itu sendiri, tak ada bukti pasti. Tapi bahwasannya mereka bekerja dengan melihat tanda-tanda kiriman alam, lantas apakah salah jika orang-orang awam seperti kami ini juga bisa membaca tanda-tanda alam yang gak beres ini dan kemudian mengartikan dengan cara kami, menghasilkan kesimpulan sama: panasnya beda, panas gegara pawang hujan? Maybe yes, maybe no, Dicky!
Dan jika memang itu terjadi, sungguh sudah terjadi banyak penyelewengan di dunia ini, yang berujung pada ketidakteraturan sistem kerja alam semesta. Cieeh, canggih bener, Dick.
Maksud saya begini, okelah, global warming terjadi karena ulah manusia. Saya dan kalian, kita semua yang terlalu tamak untuk merusak semua tatanannya: hutan-hutan utamanya. Merusak karena kami anak manusia terlalu cepat beranak-pinak sehingga mengacaukan semua tatanan alam semesta yang ada: hutan jadi pemukiman, nyampah sembarangan, boros energy. Kacau pokoknya.
Tamak. Pemimpin kita jadi tamak. Proyek fasilitas umum dikerjakan serampangan karena sebagian dananya sudah dikorupsi. Hasil akhirnya tiap tahuuuun saja harus direvitalisasi, diperbaiki atau dibuat baru. Akibatnya, terlalu banyak proyek yang menumpuk (bisa dibaca: sengaja dibuat tumpuk dan diperbanyak, biar peluang korupsinya makin kencang) sehingga satu periode musim panas dalam setahun saja tidak cukup untuk proses revitalisasi tadi dan kita perlu untuk ‘mengorupsi’ waktu musim hujan hanya untuk proyek-proyek tadi.
Pawang hujan pada akhirnya sudah materialistis. Dulu, pawang hujan lahir sebagi penengah yang akan menyeimbangkan kehidupan alam semesta dengan manusia agrasis yang ada di muka bumi ini. Mereka lahir dari nafas kebijakan hati. Dan kini tumbuh dalam sebuah ‘konspirasi’ manusia-manusia tamak seperti saya dan anda. Toh mereka juga punya alasan klisenya sendiri, ‘pawang hujan juga butuh makan’. Dan mereka pun harus pandai menjual diri. Hingga akhirnya pandai pula untuk sedikit (atau banyak?) memanipulasi dan merombak sistem semesta raya ini.
Hahaha apakah sampai pada poin ini, Anda yang membacanya makin bingung? Selamat bingung ria, artinya anda masih manusia dan saya juga (masih) manusia. *sebuah pembelaan diri*
Tapi, maksud saya begitulah prosesnya. Bukankah hidup ini memang seperti sebuah jaring laba-laba besar, satu sama lain saling berkaitan?

Mari binggung dan berpikir bareng-bareng.

4 komentar:

  1. Serahkan saja sama Alloh SWT pencipta alam semesta

    BalasHapus
  2. topik yang fenomenal dan menyedot perhatian,,, merasa miris segalikus dongkol karna korupsi sudah merambah ke dunia perikliman,,, perasaan was2pun timbul,,,
    warning! (jangan sampai Tuhan menjadi benar2 jenuh dengan kita),,, Wuaaaaaaaaa!!

    BalasHapus
  3. hai sobat,,,, topik yang fenomenal sekaligus menyedot atensi,,, merasa miris serta dongkol menyaksikan ternyata 'korupsi' sudah merambah ke dunia perikliman,,, perasaan was-was pun muncul,,, Warning! jangan sampai Tuhan menjadi benar2 jenuh dengan kita,,,*garuk2 kepala =p

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...