(catatan ajaib menjelang tidur siang)
Paling tidak sudah
dua minggu ini sejak minggu ke-4 hingga awal November ini warga Kupang
merasakan suhu panas yang luar biasa. Sangat ekstrim. Kegerahan itu bahkan
sudah terasa mulai pukul 8 pagi hingga jam 5 sore. Padahal di TV dalam siaran
perakiraan cuaca, anehnya, seluruh propinsi di Indonesia sudah merasakan hujan,
tapi tidak dengan NTT. Hal ini kemudian melahirkan banyak spekulasi dan lucunya
banyak orang beranggapan bahwa ini diakitabkan masih banyaknya proyek
pembangunan atau pemeliharaan (seperti jalan raya dan pipa air bersih) yang
masih berlangsung hampir di setiap sudut kota Kupang saat ini. Terus? Ha-ha-ha,
dari obrolan yang saya dengar di kantor atau di atas bemo, orang-orang kemudian
merujuk alasan tadi dengan kemungkinan besar dimanfaatkannya profesi pawang
hujan untuk ‘menahan’ hujan.
Teman saya berujar
dengan nada agak sewot, “Iya nih, pasti gara-gara pawang hujan. Buktinya ini
panas rasanya beda, seperti terbakar api!
Orang –orang yang
saya temui punya alasan yang sama. Saya pun akhirnya ikut mengamini. Mungkin
saja benar. Okelah, faktanya memang Kupang adalah kota di atas karang yang
cenderung panas dan gersang, tapi kan harusnya sudah masuk ke musim penghujan
di November ini. Kita (termasuk saya lho yah!) mungkin lupa bahwa sebuah perubahan
suhu bumi ekstrim sedang terjadi. Inilah pemanasan global sebenarnya. Ketika
sebagian hujan badai dan banjir, sebagian belahan bumi lainnya malah sedang
panas gak karuan. Bahkan yang berada dalam satu garis musim pun gak serentak
merasakan perubahan musim yang sama. Nah lho. Seperti kejadian di Kupang ini.
Ketika saya menulis ini dan tak habisnya berpikir (atau sengaja memikirkan soal
profesi pawang hujan tadi) eh di Facebook, teman saya di Ende memposting sebuah
foto yang menggambarkan kota Ende yang sedang dipenuhi awan gemawan gelap dan
hujan petir besar pun beriringan menandakan dimulainya musim penghujan itu.
Tapi kapan itu terjadi di Kupang? Saya membatin. Banyak pertanyaan menggelitik
(dan mungkin setengah tolol setengah konyol-sesuai dengan tingkat IQ saya).
Terlalu banyakkah
proyek yang tertunda di ibukota propinsi tercinta ini? Sehingga sudah melewati
musim panas pun belum selesai sehingga harus menggunakan jasa pawang hujan
segala. Akh, tentang pawang hujan itu sendiri, tak ada bukti pasti. Tapi
bahwasannya mereka bekerja dengan melihat tanda-tanda kiriman alam, lantas
apakah salah jika orang-orang awam seperti kami ini juga bisa membaca
tanda-tanda alam yang gak beres ini dan kemudian mengartikan dengan cara kami,
menghasilkan kesimpulan sama: panasnya beda, panas gegara pawang hujan? Maybe yes, maybe no, Dicky!
Dan jika memang
itu terjadi, sungguh sudah terjadi banyak penyelewengan di dunia ini, yang
berujung pada ketidakteraturan sistem kerja alam semesta. Cieeh, canggih bener,
Dick.
Maksud saya begini, okelah, global
warming terjadi karena ulah manusia. Saya dan kalian, kita semua yang terlalu
tamak untuk merusak semua tatanannya: hutan-hutan utamanya. Merusak karena kami
anak manusia terlalu cepat beranak-pinak sehingga mengacaukan semua tatanan
alam semesta yang ada: hutan jadi pemukiman, nyampah sembarangan, boros energy.
Kacau pokoknya.
Tamak. Pemimpin
kita jadi tamak. Proyek fasilitas umum dikerjakan serampangan karena sebagian
dananya sudah dikorupsi. Hasil akhirnya tiap tahuuuun saja harus
direvitalisasi, diperbaiki atau dibuat baru. Akibatnya, terlalu banyak proyek
yang menumpuk (bisa dibaca: sengaja dibuat tumpuk dan diperbanyak, biar peluang
korupsinya makin kencang) sehingga satu periode musim panas dalam setahun saja
tidak cukup untuk proses revitalisasi tadi dan kita perlu untuk ‘mengorupsi’
waktu musim hujan hanya untuk proyek-proyek tadi.
Pawang hujan pada
akhirnya sudah materialistis. Dulu, pawang hujan lahir sebagi penengah yang
akan menyeimbangkan kehidupan alam semesta dengan manusia agrasis yang ada di
muka bumi ini. Mereka lahir dari nafas kebijakan hati. Dan kini tumbuh dalam
sebuah ‘konspirasi’ manusia-manusia tamak seperti saya dan anda. Toh mereka
juga punya alasan klisenya sendiri, ‘pawang hujan juga butuh makan’. Dan mereka
pun harus pandai menjual diri. Hingga akhirnya pandai pula untuk sedikit (atau
banyak?) memanipulasi dan merombak sistem semesta raya ini.
Hahaha apakah
sampai pada poin ini, Anda yang membacanya makin bingung? Selamat bingung ria,
artinya anda masih manusia dan saya juga (masih) manusia. *sebuah pembelaan
diri*
Tapi, maksud saya
begitulah prosesnya. Bukankah hidup ini memang seperti sebuah jaring laba-laba
besar, satu sama lain saling berkaitan?
Mari binggung dan
berpikir bareng-bareng.
Serahkan saja sama Alloh SWT pencipta alam semesta
BalasHapustopik yang fenomenal dan menyedot perhatian,,, merasa miris segalikus dongkol karna korupsi sudah merambah ke dunia perikliman,,, perasaan was2pun timbul,,,
BalasHapuswarning! (jangan sampai Tuhan menjadi benar2 jenuh dengan kita),,, Wuaaaaaaaaa!!
hai sobat,,,, topik yang fenomenal sekaligus menyedot atensi,,, merasa miris serta dongkol menyaksikan ternyata 'korupsi' sudah merambah ke dunia perikliman,,, perasaan was-was pun muncul,,, Warning! jangan sampai Tuhan menjadi benar2 jenuh dengan kita,,,*garuk2 kepala =p
BalasHapustes
BalasHapus