Minggu, 03 Juni 2012

Partikel: Cara Bijak Memaknai Bumi


(seri catatan asal-asalan Blogger NTT)

Partikel
Partikel itu Zarah. Zarah itu Partikel.
Begitu kesan pertama saya saat membaca Partikel, seri ke-4 Supernova karya Dee, nama pena untuk Dewi Lestari. Butuh 8 tahun bagi penggemar Supernova, setelah kelahiran Petir tahun 2004, untuk menatikan kelanjutan apa yang hendak disodorkan Dee untuk pembacanya. Pada masa vakumnya Supernova itu, Dee tentunya gak prouktif, ia melahirkan Filosofi Kopi, Rectoverso, Perahu Kertas hingga Madre. Tapi bagi banyak orang, Supernova adalah Dee, dan Dee adalah Supernova.
Boleh dibilang karya berseri Supernova adalah yang paling fenomenal, yang pertama kali mengangkat namanya dari deret selebritas-penyanyi, penulis lagu menjadi seorang penulis perempuan Indonesia yang patut diperhitungkan. Goenawan Muhamad bahkan dalam pengantar untuk Filosofi Kopi, menyebutkan, ‘Dee adalah tangkisan atas sebutan sastrawangi’ yang kala itu memang menghebohkan jagat kepenulisan, sebab tiba-tiba muncul gelombang baru yang isinya sederet penulis wanita dengan kapasitas yang mumpuni, salah satunya Dee.
Saya pertama kali membaca karya Dee ketika kuliah semester awal di Jogjakarta sekitar tahun 2005, dikenalkan teman sekelas saya, Ratih. Tapi bukan Supernova seri 1, Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh, melainkan Petir (seri ke-3 Supernova). Tapi kemudian karena sudah tertawan, akhirnya saya mengulagi rute sebenarnya, membaca dari seri pertama.
Bagi saya, seri Ksatria, sungguh lumayan berat untuk pembaca pemula seperti saya. Karena Dee terlalu besar menyodorkan porsi Sains ke dalam karya perdananya itu. Kemudian, setelah Akar lalu Petir, saya sudah bisa menikmatinya dengan lebih enak. Nuansa dramanya ada, sehingga kening saya gak melulu mengkerut untuk menangkap maksudnya membicarakan sains, budha, filosofi timur, dsb. Saya akhirnya mulai tertawan dalam menikmati cara Dee berutur. Cerkas, kata bung GM. Pola-pola menarik itu lantas saya temukan dalam Filkop, misalnya, atau Madre. Dee selalu pandai berututur, sehingga membuat kita gak bisa berhenti sedikitpun untuk membiarkan rasa ingin tahu kelanjutan di halaman berikutnya akan seperti apa. Kadang ia bisa begitu mudahnya membuat kita mengalir. Lancar jaya, tapi kemudian berhenti sejenak, terdiam, berpikir, ketawa, lantas lanjut membaca.  Artinya Dee piawai dalam memilih kata yang mampu menggerakkan ritme dan emosi.
Lantas bagaimana dengan Zarah, dengan Partikel?
Bagi saya, dari keempat seri Supernova, Partikel adalah wujud nyata dari kedewasaan Dee menulis. Kali ini Dee berhasil membawa topik sains seperti jamur dan segenap kekuatan maha dahsyatnya, alien/ sejenis reptoid, bumi (yang juga diwakilkan secara keseluruhan oleh symbol di sampul buku), Enteogen, Shaman atau Iboga sebuah tanaman yang ternyata sudah dipakai ribuan tahun oleh para shaman di berbagai belahan bumi untuk melakukan prosesi perjalanan seseorang menuju dunia spirit.
Disini, Dee juga mengungkap persinggungan antara cara pandang agama terhadap fenomena semesta raya. Dee juga mengkritik lewat tokoh Zarah tentang makin hilangnya hutan bagi orang utan, pencemaran laut pasifik, bagaimana Bumi sudah begitu mekanis dan kehilangan keseimbangan.
Bagi pembaca pemula, Partikel tidak terasa sulit, meskipun belum membaca seri sebelumnya. Hanya  ada 1 bab kecil di akhir buku, Dee kembali menyelipkan sebuah tanda tanya besar, ketika tokoh utama dalam Petir yakni Elektra akhirnya bertemu dengan Bodhi dari seri Akar. Nah ini nih yang menarik. Sebab setelah ini Dee sudah mempersiapkan 2 seri pamungkas lanjutannya, Gelombang dan Inteligensi Embun Pagi. Entah seperti apa wujud dari benang merah yang mengaitkan semua seri Supernova.
Partikel, sungguh menarik. Risetnya matang, di godok dengan baik pula di batcave – gua imajiner Dee. Tentu ada kekurangannya, tapi sejauh ini saya membaca dan menikmati semuanya, dan merasa bahwa jarang ada novel dengan genre seperti ini, dimana sains adalah intinya. Terlepas dari masalah konsep yang dibawa Dee harus kita percayai atau tidak, tapi untuk memperluas cakrawala berpikir, bolehlah. Untuk apa? Untuk melihat Bumi ini dengan lebih bijak…
Salut untuk Dee.

Liliba-Kupang, 30 Mei 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...