: catatan pinggir blogger galau
Midnight In Paris, karya Woddy
Allen. Film yang merebut salah satu piala Oscar untuk kategori best screenplay.
"Midnight in Paris bercerita tentang Gil (Owen Wilson) yang berprofesi sebagai penulis, sedang menikmati hari – harinya di Paris bersama tunangannya, Inez (Rachel McAdams)
dan keluarga Inez. Hubungannya mereka sebenarnya kurang disukai oleh
orang tua Inez. Gil adalah seseorang yang sangat jatuh cinta dengan
Paris, dan mempunyai keinginan besar untuk pindah ke kota cinta itu,
tapi sayangnya Inez tidak mengizinkan hal itu terjadi. Suatu malam ketika
Gil memutuskan untuk jalan – jalan sendiri di Paris dan tersesat, dia
menemukana sebuah keanehan disaat jam menunjukkan waktu diatas jam 00.
Waktu pun berubah mundur dan membuat Gil bertemu dengan Ernest Hammingway, Salvador Dali, Pablo Picasso, dan orang – orang yang terkenal pada jaman tersebut. Bahkan ia terlibat cinlok dengan pacar Pablo Picaso, Adriana, yang diperankan Marion Cottilard. Disinilah twistnya. Menarik memang ide Allen, tentang seseorang yang terjebak cinta di dua masa yang berbeda."
Saya tergolong yang paling
belakangan menonton karya-karya Allen. Setelah film Vicky Christina Barcelona
mendapat nominasi Oscar tahun 2009. Saya kemudian menonton film-film lainnya,
seperti To Rome With Love (menampilkan Roberto Benigni), Cassandra's Deram, atau Melinda and Melinda (mengambil set di Paris juga) dan menemukan ada keunikan tersendiri dari karya-karya sutradara kelahiran tahun 1935 ini. Meskipun hidup di dunia sinema Hollywood (lahir di New York), karya-karya Allen
malah banyak menyuguhkan aroma sinema Eropa ketimbang yang berbau Amerika. Dan
memang filmnya sendiri banyak bersettingkan kota-kota di Eropa. Menurut saya
sinema Eropa itu asyik saja, elemen-elemen artistiknya kental, secara lansekap,
musik, makanan, dan budaya Eropa khasnya klasik. Allen, menurut saya selalu
paling bisa menangkap nuansa-nuansa tersebut, lihat saja semacam Vicky
Christina Barcelona yang berhasil menangkap sisi artistic kehidupan perkotaan
di Barcelona atau You Will Meet a Tall Dark Stranger dan Midnight In Paris
yang sama-sama bersettingkan kota Paris. Di tangan Allen, kota-kota yang
artistic tadi digarap maksimal, baik dari pemilihan warna yang cerah dan soft
khas musim panas, kostum pemain yang juga punya selera khas pakaian orang
Eropa, dsb. Dulu, Allen juga menjadi alasan kenapa akhirnya saya ketika di
Jogja, mengulik habis-habisan sinema Eropa, mulai dari film-filmnya Pedro
Almodovar yang banyak menceritakan tentang Spanyol. Ada juga sineas Italia
semacam Francis Ford Capolla atau Bernardo Bertolucci. Ada juga Roman Polanski,
hingga film2 (Amelia, film prancis). Film Eropa kebanyakan dramaturginya kuat,
bergeraknya lamban, didukung lansekap kota-kotanya yang memang indah-indah,
juga kebudayaan masyarakatnya yang makin menguatkan sebuah cerita.
Lantas bagaimana dengan Midnight In
Paris?
Kota Parisnya tergambar dengan baik
dan rapi. Saya gak heran jika Allen memenangkan kategori best screenplay.
Setiap adegan terstruktur dengan baik, seba sudah ditunjang denga tata kota
Paris yang indah dan rapi, selera seni mereka (taman, interior rumah, gaya
berpakaian, pilihan warna apapun entah untuk pakaian, interior rumah, dsb).
Kita juga bisa melihat ‘keteraturan’nya orang Eropa, yang seolah-olah menjadi
khasnya sinema-sinema mereka. Musiknya
juga khas Allen. Beliau paling suka kalo memakai satu jenis instrumental entah
itu gitar atau biola, pasti dari awal hingga akhir film musiknya pasti itu
semua. Tidak membuat bosan juga, karena instrumental yang dipilih juga sudah
mewakili keseluruhan dari karakter film, sehingga music yang sama itu mau
ditaruh di adegan apa saja, kok yah
nyambung saja yah? Itulah khasnya menonton film Woody Allen. Dari teknis, sudah
deh, untuk genre drama romatic, beliau salah satu jagoan saya.
Bagaimana dengan deretan aktornya?
Marion Cotillard yang paling banyak
menarik perhatian saya, bahkan melebihi dua actor utamanya Rachel McAdams dan
si hidung bangir Owen Wilson. Kalo public dunia kemarin sih banyak membicarakan
nama Carla Bruni (istri predisen Perancis Nicolas Sarkozy). Ada juga peran
kecil Andiren Brody (The Pianist) yang cukup menarik.
Oh yah ketika menonton film ini
saya memang sengaja tidak menggunakan subtitle Bahasa Indonesia. Yah
hitung-hitung menonton sambil melatih kepekaan Bahasa Inggris saya
hahahaha…meski efeknya saya kemudian harus menonton ulang dengan subtitle,
sekedar untuk melengkapi pengertian saya saat nonton sebelumnya. *Lol*
Eh film ini keren, ayo tonton untuk
lebih kenal lagi budaya Eropa.
Hmm mantap kalau tentang Woody Allen-nya. tapi saya lebih suka melihat Paris lewat orang-orang Prancis sendiri.
BalasHapus