Sabtu, 31 Desember 2011

Ferdy Levi, Syuradikara dan Saya


Oleh: Christian Dicky Senda

Tiba-tiba saja kepingin untuk menulis salah pengalaman hidup paling berharga berikut ini.
Saat itu kira-kira akhir Juli 2002, bulan-bulan awal penyesuaian diri saya di SMU Katolik Syuradikara Ende. Informasi dari beberapa orang teman sekelas saya, diantaranya Verna Papo bahwa pak Ferdy Levi seorang guru bahasa Inggris dan pelatih paduan suara sekolah bahwa ada semacam ‘audisi terbuka’ bagi calon penyanyi di kelompok paduan suara inti sekolah, yang memang sengaja dipersiapkan juga oleh beliau untuk menjawab undangan SMU Katolik Giovanni Kupang yang waktu itu akan berulang tahun yang ke-40 tahun.  Maka bergegaslah saya, dan beberapa teman saya seperti Gerald Fori, Maxi Magang dan Fendi untuk pergi mendaftarkan diri ke pak Levi. Oh yah, asal tahu saja Ferdy Levi adalah seorang komposer lagu-lagu gerejawi yang namanya sangat dikenal (dan dihormati, mungkin) di kalangan masyarakat gereja di NTT, khusunya di daratan Flores. Buku kumpulan lagunya yang terkenal salah satunya adalah Exultate.
Maka saat yang dinantikan pun tiba. Dari informasi yang kami dapatkan bahwa beliau meminta kami untuk bertemu dengannya di sore hari saja, saat jam latihan koor dimulai. Deg-degan juga sih karena dipikiran saya ‘audisinya’ akan sangat berat- mungkin dengan tes membaca not segala. Soal membaca not angka sih lumayanlah masih bisa sebab sejak SD hingga SMP saya lumayan aktif nyanyi di gereja. Kami bertemu beliau di naungan hijau, salah satu lokasi di halaman tengah Syuradikara yang memang rimbun oleh banyak pepohonan ditambah rumputnya yang hijau jaya raya. “Oh, kalian yang mau ikut koor inti?” ia langsung menyapa kami dengan ramahnya sambil mengusap-usap bahu kami satu per satu. “Mari kita ke ruang 1 saja..” ajaknya bersahabat. Ruang 1 itu letaknya persis di samping pendopo utama,  biasanya dipakai sebagai ruang bahasa Jerman-nya Pater Ama Petu atau Pater Wilfried Parera.

Sedikit ketegangan memudar.
Satu per satu kami masuk ke ruangan. Dimulai Gerald, lalu Maxi, saya dan terakhir Fendy. Ketika giliran saya masuk ruangan, beliau langsung menyambut saya dengan senyum lebarnya. “Ana sai?” Tanya beliau. Tapi karena waktu itu entah karena gugup ditambah kurang pahamnya saya dengan bahasa Ende Lio bahasa leluhur saya sendiri, respon saya malah seperti orang kikuk. Waduuh, percuma nih pikul marga Senda, malu-maluin saja, Dik. “Nama, siapa?” serta merta ia mengganti pertanyaanya sambil terus tersenyum. “Dicky, pak…”
“Kau suka menyanyi?”
“Ia, pak…”
“Asal dari mana?”
“SoE , pak..” (meski sebenarnya saya tinggal di Kapan, sebuah kota kecamatan kecil di utara kota SoE, tapi saya harus menyebut dengan SoE saja karena itu lebih familiar di telinga mereka. Alas an kedua, biar orang tidak bertanya lanjut,
“Hah, Kapan? Dimana itu?
“ Dekat SoE “
“Oww…tidak tahu saya”
Kan mutung juga he he he.

“Bisa baca not?” lanjut beliau
“Bisa sedikit, pak…”
Dengan cepat ia langsung mengambil sebuah garpu tala kecil dari dalam saku bajunya dan mengetok kecil ke kepalanya lalu mendekatkan ke layar telinganya. Dengan memejamkan mata ia mencoba menangkap nada dasar dari garpu talanya.
“Do..Mi…Sol…Miiiiii…” ia menyebut nada-nada itu seperti membaca mantra saja. Secepat kilat lalu ia meminta saya untuk mengulang not-not yang ia nyanyikan dari nada yang paling rendah hingga nada tingginya, lumayan tinggi sehingga saya sempat kesulitan mengukutinya. Katanya, “Ini namanya teknik falsetto..” sambil ia member contoh caranya menyanyikan nada tinggi dengan teknik falsetto.
“Good…’ katanya mengapresiasi usaha kecil saya
“Sekarang kita ulangi lagi. Perutnya ditahan yah…ayo nyanyi sudah” lanjutnya pelan sambil menekan perut saya.
“Bisa…bisa…” ia menganggung-angguk tanda setuju
“Anak e, kau cocoknya di kelompok suara Tenor…”
Jiaaahhh, leganya sore itu. Akhirnya saya resmi menjadi anggota paduan suara inti Syuradikara. Dipikiran saya, ‘ayiiik, bisa pergi ke Kupang…” karena jujur saja yang membuat saya tertarik ikut ‘audisi’nya karena iming-iming ‘yang tergabung akan tampil di Kupang”.

Kena Sikat kalau Pitch Controlnya Kacaaauu
Latihan pertama, kedua, wah menyenangkan. Berikutnya, makin ketahuan kalau gaya melatihnya kadang bisa melunak kadang bisa super keras, he-he-he. Kebanyakan seniman kok umumnya begitu yah, kadang sangat dipengaruhi mood. Sesekali galaknya keluar, tapi kebanyakan enaknya kok. Betul-betul beliau itu guru dan seniman sejati deh. Salah satu kehebatannya yang bikin saya salut, selaian kelihaiannya mencipta lagu, juga caranya melatih, dari yang paling mentah (yang suaranya pas-pasan, yang kaku baca not dan yang belum tahu teknik menyanyi yang benar) bisa disulap beliau menjadi tim yang solid dan jempolan. Apalagi ketajaman telinganya, wiiih, angkat dua tangan deh untuk beliau. Seumur hidup saya baru ketemu seorang seniman yang telinganya super peka: dari piluhan orang yang nyanyi beliau bisa dengan sikap menyimpulkan kelompok mana yang fals, atau siapa individunya yang pitch controlnya (meminjam istilah keren Trie Utami) kacauuu!
Beliau itu paling sebal kalau dikasih tahu cara yang benar, sudah berulang-ulang tapi masih salah. Wah, siap deh kena bentak. Kedua, beliau itu sebal juga kalau tidak disiplin. Karena melatih tapi personelnya belum lengkap akan bikin moodnya terkikis. Alamatnya, yang fals akan kena marah dobel, atau beliau akan pergi. Biasanya pergi sejenak ke rumahnya, ke mana saja yang mungkin itu dilakukan untuk merefresh kembali moodnya biar oke lagi. Dan kita biasanya akan kompakan rasa bersalahnya, trus menunggu sampai beliau balik ke tempat latihan. Biasanya sudah tidak marah-marah lagi. Makanya anak-anak sudah paling hafal dengan karakter Bapatua, makanya dengan sendirinya kita sudah belajar untuk mengendalikan diri biar emosinya stabil, misalnya dengan tidak telat datangnya, tidak ngobrol sendiri, apapun permintaanya ikuuut aja deh. Karena pada dasarnya orang itu brilian, so kalau moodnya bagus, ia tidak akan sekikir untuk membagi-bagi ilmunya ke kita. Jadi giliran kita yang harus pandai bersikap. Itu pelajaran moralnya yang bisa saya pahami.
Dan dulu anak asrama yang sering datang latihan telat, soalanya di asrama airnya susaaah. Harus rela ngantri mandi di komunitas atau di biara bruder SVD tetangga sebelah.

***

Makan Gratis, Jalan-jalan Hingga Naik Bus Kayu, Enjoy Ajaa…
Di masa saya, paduan suara masuk dalam program ekstrakurikuler (dapat penilaian juga di raport). Karena tidak semua siswa punya kesempatan bergabung, pokoknya menjadi bagian dari koor inti sekolah sudah paling keren deh. Apalagi ada sosok Ferdy Levi disana. Ditambah lagi namanya sudah sangat dikenal di kota Ende. Hal itu juga yang menjadi keuntungan kami tersendiri dimana bersama pak Levi kami sering ikut lomba paduan suara, sering diajak tampil di berbagai event penting di Ende, sering di ajak nyanyi di misa nikah, misa requiem, diajak jalan-jalan. Seru. Selalu saja ada kegiatan bagi kami: latihan, pentas di lokasi A, latihan, pentas di lokasi B, latihan, lomba…dst. Secara pribadi, kemampuan baca not saya menjadi lebih baik, tahu teknik menyanyi yang baik, bisa bertemu banyak orang penting di Ende  dan bisa makan enak. Kami bahkan secara regular diberi kesempatan untuk menjadi penanggung koor di Paroki Onekore. Benar lho, kami sering diminta menyanyi di berbagai acara misa syukur yang ada acara makan-makannya. Namanya anak asrama, yah enjoy-enjoy aja kan?
Dulu saya ingat betul, salah satu keluarga yang paling sering mengundang kami menyanyi adalah keluarga doter Regina (wuiih, sampe hafal mati kan? Ha ha ha). Dari acara nikahan, ulang tahun, 40 hari kematian, setahun kematian, semua misa syukur, pasti paduan suara Syuradikara diundang. Hingga pada suatu saat pasca kemenangan kami di salah satu perlombaan menyanyi antara SMA se-Ende, kami yang mendapatkan sejumlah uang, menggunakannya untuk berwisata bersama ke danau Kelimutu (peristiwa perdana saya!), lalu ke Air terjun di desa Moni, sebelumnya menginap di rumah perkebunannya dokter Regina di dekat Moni (saya lupa namanya). Daerah yang super dingin (mungkin 3 kali lipat dengan dinginnya Kapan, kampung saya). Sampai-sampai air di bak mandinya memutih seperti salju yang baru saja meleleh. Di kebun itu saya pertama kali melihat pohon strowbery. Gubraaak. Ha-ha-ha-ha…
Dulu karena seringnya berkegiatan kesana sini maka salah satu moda transportasi yang paling diandalkan adalah bus kayu Santu Mikhael miliknya Syuradikara. Bus kayu itu sebenarnya truk yang bak kayunya dipasang bangku-bangku panjang dan diberi atap makanya mirip bus. Moda transportasi semacam ini banyak dijumpai di seluruh daratan Flores. Sudah berpakaian rapi dan wangi, naiknya bus kayu. Tapi seru. Tahulah anak-anak SMA. Yang penting seru, dilakukan bareng-bareng, bisa ketawa dan teriak sepuasnya, pokoknya bebas, kita sih suka-suka saja. 

Ternyata Masih Keluarga
Awalnya pak Levi tidak tahu kalau sebenarnya kami masih berkeluarga. Tiga bulan setelah saya masuk paduan suara baru deh beliau tahu. Itupun setelah saya sakit dan harus dirawat di rumah orang tua wali saya, om dan tanta (keluarga dari pihak ayah). Saat itu om saya pergi melaporkan ke sekolah kalau saya sakit. Nah waktu itu, pak Levi adalah salah satu guru yang bertugas di bidang keamanan dan ketertiban siswa (saya lupa istilahnya) salah satu tugasnya juga adalah mendata siswa yang tidak masuk karena alpa, izin atau sakit atau bolos. Ketika om saya melapor, beliau langsung Tanya, “Sai? Ana Sai?” Siapa yang sakit? Anak siapa? Karena setahu beliau om saya tidak punya anak yang bersekolah di Syuradikara. Maka ceritalah om saya ke beliau. Dari situ cerita sejarahnya makin jelas. Hubungan kekerabatan kami adalah dari pihak ayah saya, yang bukan kebetulan karena sama-sama dari kecamatan Paga, datang dari satu rumah adat yang sama, namun statusnya lebih tinggi keluarganya pak Levi karena garis keturunan dari ayahnya itu adalah pemimpin rumah adat kami, mosalaki, isitilahnya. 

Pesta Emas dan Rekaman!
Senang juga menjadi angkatan yang merasakan pesta emas, 50 tahun Syuradikara. Saat yang juga menjadi kesibukannya koor inti sekolah. Berbulan-bulan kami berlatih. Uniknya untuk acara ini, pak Levi merekrut hampir seratus anggota koor baru untuk melengkapi koor inti menjadi ‘koor akbar’ hehe. Pakaian kami pun dijahit baru (sebelumnya setia dengan kemeja kuning biru   menyaladari kain chiffon yang liciiiiin, terkadang memakain semi jas dari kain tenun, seragam wajib hari kamis). Baju barunya berwarna kuning pucat lebih mendekati coklat dipadu merah. Itu seragam yang didesain khusus untuk pesta EMAS.
Pasca pesta emas, ketika kelas 3 saya akhirnya dipercaya pak Levi untuk menjadi salah satu solois pria yang pernah berduet dengan Anita Seru dan Lia Letor (dua teman saya ini asli suaranya bagoooos).  Nah, kalau saya? Gak tahu alasannya apa. Padahal ada juga dari teman-teman di Tenor yang suaranya lebih bagus dari saya. Oh semoga saja bukan KKN kami saya masih kerabatnya pak Levi. Ah, tapi waktu itu juga tidak ada kesan anak emas kok. Beliau itu adil. Kalau baik kesemuanya. Waktu itu sempat menyanyikan lagu Permata Cinta Syuradikara, lagu yang diciptakan khusus untk mengenang para pendiri dan penjasa Syuradikara yang telah meninggal dunia. Keren lagunya. Masih hafal lho saya…
Soal rekaman, lucu ceritanya. Kejadian ini pasca pesta emas, kita dikasih tahu kalau akan rekaman. Wih pada senang. Rencananya akan dibikin versi VCD untuk dijual. Maka mulailah proses rekaman itu. Jangan disangka rekamannya di studio. Trus dimana dong? Rekamannya langsung di kapela syuradikara dan gedung aula. Jadi sistemnya bikin video klip tapi suara kita juga langsung direkam saat itu juga. So memang hasilnya tidak maksimal. Tapi tak masalah, toh hasilnya berupa VCD sudah saya pamer-pamer ke keluarga saya waktu itu dengan bangga. Ha-ha-ha…

Perpisahan
Sedih rasanya waktu itu harus meninggalkan Syuradikara. Memang sih bulan-bulan awal harus dilwati dengan kesulitan beradaptasi, kesulitan dalam bidang akademisnya juga. Pernah merasa tertekan juga dengan kehidupan berasrama yang dibilang sebagai akibat dari senioritas. Tapi bagi saya itu hanya berjalan di semester pertama saja, setelahnya semua sudah enakan. Hingga akhirnya sudah waktu harus angkat kaki, malah rasanya kepengen SMA terus.
Tradisi perpisahannya juga unik. Seperti pada awal kita masuk, diterima dengan sebuah misa syukur maka diakhiri juga dengan misa syukur. Kami yang sudah disebut alumni kembali lagi berarakan dari pendopo sekolah menuju kapela. Memakai selempang kebesaran berwarna kuning putih dan memegang lilin. Memakai untuk terakhir kalinya, seragam kebanggan kami seragam kuning putih rasanya beraaat. Seusai misa perpisahan, di belakang pendopo saya masih bertemu pak Levi, saya dipeluk, beliau berpesan
“sukses yah buat dirimu…ingat teruslah menyanyi!”
“Pak, foto dulu pak..” saya memintanya sambil mengambil kamera dari saku. Bukan kamera digital seperti sekarang ini, masih kamera biasa dengan film negatifnya yang super sensitive itu. Beliau memeluk pundak saya dengan erat sambil tersenyum lebar khas beliau.
Setahun kemudian, saya harus balik lagi ke Syuradikara untuk mengambil Ijazah. Waktu itu kuliah dengan Ijazah sementara, yang aslinya terlambat keluar. Ketemu lagi dengan pak Levi di ruang admin sekolah. Beliau masih ingat nama saya, “Dicky, kan? Heh, bagaimana sudah kau pung kuliah? Aduuuh saya punya ini…” seperti biasa ia memeluk erat pundah saya sambil melayangkan tempeleng ringannya ke pipi saya.
Itu pertemuan terakhir higga sekarang. Setahun lalu saat kembali lagi ke Syuradikara, sudah tidak ketemu lagi, karena beliau juga bukan lagi staf guru di Syuradikara. Sudah di PGSD Universitas Flores.
Beberapa bulan lalu saya mendapat SMS dari teman saya, Tanti Pano yang kini menjadi perawat di RS TC Hillers Maumere, mengabarkan kalau pak Levi sedang dirawat di RS tempatnya bekerja. Ah, tidak percaya. Katanya, ada foto-foto beliau yang diposting seorang alumni di grup alumni Facebook. Ternyata iya. Beliau terkena stroke. Semua teman-teman turut sedih dan mengirimkan doa demi kesembuhan beliau. Dalam hati saya berujar, ah mungkin ini berat bagi beliau sebagi seorang pencipta lagu sering jadi konduktor juga. Apalagi orangnya terkenal aktif. Diam-diam saya mengingat lagi, kesaksiannya sendiri, yang selalu dia sampaikan dalam banyak kesempatan dulu, tentang devosi khusunya kepada Bunda Maria yang sudah banyak member I jawaban bagi doa-doanya. Bunda Maria, sosok yang kerap ia perkenalkan kepada kami murid-muridnya, baik ketika di kelas, maupun ketika dalam istirahat latihan nyanyi, ia terus dan terus member kesaksian itu. Saya kira, pengalaman batin seperti itulah yang akan menguatkan dia disaat-saat seperti ini. Cepat sembuh yah pak….
Ketika selesai menulis ini, saya ingat lagi sebuah lagu berbahasa Jerman terpanjang yang pernah ia berikan untuk kami. Judul dan liriknya sudah saya lupa. Panjangnya mungkin lebih dari 11 halaman kuarto.  Tapi dengan lagu itu, napas dan perut kami dilatih. Hingga kini kemanjurannya masih bisa dirasakan. Tekniknya membekas sempurna di memori kami.

Terima kasih pak Levi.

Taubneno, SoE, Desember 2011
Christian Dicky Senda: Blogger, penikmat sastra, film, psikologi dan kuliner. Penulis kumpulan puisi Cerah Hati (IBC Jogja, 2011). Kini sedang menyiapkan proyek barunya, ‘Kanuku Leon’ sambil terus ngeblog di www.naked-timor.blogspot.com. Berkicau dengannya via Twitter @dickysenda. Kini menetap di Kota Kabut, SoE.


1 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...