Senin, 01 Agustus 2011

Semalam di Orte


 (sebuah catatan perjalanan Rm. Sipri Senda, Pr)

Jumat siang, 29 Desember 2006. Saya sementara istirahat di kamar karena terserang pilek. Tiba-tiba telpon berdering. Romo Leo Mali menelponku mengucapkan Selamat Natal dan menawarkan sebuah rencana untuk berkunjung ke Monache Benedettine di Orte. Seakan lupa akan pilek, saya langsung menyatakan setuju. Dia kontak ke Orte dan ternyata Madre setuju menerima kunjungan kami. Tanggal 30 Desember 2006, kami berdua menuju Orte. Kami menginap di sana selama semalam. Pengalaman ini sangat menarik. Kami berdua diterima dengan penuh kegembiraan dan kasih persaudaraan. Ada banyak hal menarik yang patut direfleksikan. Saya hanya bisa mencatat beberapa hal berikut ini.  

Kunjungan Natal dan Persaudaraan

Saya menulis kalimat itu di atas kertas yang diberikan kepada Rektor untuk menjelaskan kepergian saya selama semalam dengan alasan mengadakan kunjungan natal dan persaudaraan. Biasanya kami di Collegio San Paolo, bila keluar kota Roma dan menginap, harus menyampaikan penjelasan tertulis kepada Rektor tentang alamat, berapa lama dan alasan. Pada bagian alasan itulah saya tulis kalimat di atas. Sebuah kalimat sederhana. Sepintas biasa-biasa saja, dan memang saya tulis juga apa yang terlintas ketika itu di kepala saya. Ternyata kalimat ini sarat makna. Saya ingat akan kunjungan Maria ke Elisabet sesudah ia mendapat kabar gembira. Sebuah kunjungan yang membawa kegembiraan. Natal adalah kegembiraan dari surga bagi dunia. Kunjungan natal adalah kunjungan membawa kegembiraan. Kunjungan Maria juga adalah kunjungan persaudaraan beralas kasih. Di mana ada kasih, di situ Tuhan hadir. Di mana Tuhan hadir, di situ ada sukacita. Itulah momentum Kairos, keselamatan yang hadir dalam pengalaman manusiawi yang konkret. 

Collegio San Paolo, Roma
Sehabis merayakan Natal, kami berdua ingin membagi kegembiraan natal dengan kunjungan persaudaraan beralaskan kasih, ke saudari-saudari kami di Orte, yang juga akan berkarya di Keuskupan Agung Kupang. Ternyata memang, semalam di Orte menghadirkan kegembiraan bagi kami semua. Bukan hanya kami yang hadir membawa kegembiraan natal, tetapi juga para suster hadir membawa kegembiraan natal bagi kami berdua. Berbagi sukacita dalam kasih persaudaraan, dalam komunitas iman dan dalam keteguhan pengharapan. Dunia yang sumpek oleh dendam, kebencian, kejahatan, kekerasan, sungguh membutuhkan kunjungan yang membawa damai, sukacita, kebahagiaan, pengampunan, kelembutan hati. Sesungguhnya sang Damai telah datang. Natal adalah kunjungan dari Allah kepada dunia. Tugas murid Kristus kini adalah berkunjung ke tengah dunia, membawa damai sejahtera, kasih, sukacita, pengampunan, kelembutan hati. Keuskupan Agung Kupang tengah menanti kunjungan atau kehadiran para suster Benedettine Orte yang akan membawa sesuatu yang berarti bagi perkembangan iman-pengharapan-kasih umat.


Doa bersama; lagu Gregorian



Selama ini saya hanya mendengar kisah atau membaca di buku tentang ordo kontemplatif yang menghayati hidup doa dengan teratur. Kali ini saya mengalami langsung bagaimana mereka menghayati hidup doa yang demikian kaya. Saya terbawa dalam suasana doa yang khusuk, bersama mereka mendaraskan masmur pada doa suku jam. Mereka menyanyikan masmur dengan begitu merdu dan indah. Lagu gregorian yang terkenal itu, yang kini mulai marak dinyanyikan kembali dalam liturgi di Indonesia, dinyanyikan dengan begitu padu. Seperti paduan suara para malaikat. Saya terkagum-kagum sampai tidak ingin ikut nyanyi, hanya mendengarkan suara mereka, sambil mendaras dalam hati. Apalagi saya lagi pilek, suara pun semakin jelek. Mereka berlatih lagu gregorian setiap hari selama satu jam. Tidak heran bila mereka nyanyi begitu bagus, di samping memang mereka punya bakat menyanyi yang dianugerahkan Tuhan. Saya teringat sebuah pepatah latin: Qui bene cantat bis orat. Dia yang bernyanyi baik, berdoa dua kali. Saya kira, para suster, ini selalu berdoa dua kali, karena mereka menyanyikan masmur dengan begitu baik. Sempurna! Madre mengatakan pada kami, berdoa dengan sabda itu penting! Dan itulah doa mazmur. Mazmur adalah cetusan jiwa yang kaya. Gregorian adalah melodi ajaib yang pernah dianugerahkan Tuhan kepada manusia lewat Paus Gregorius Agung.

Diskusi dan Sharing

Kami berdua mendapat kesempatan istimewa di Orte untuk berdiskusi dan sharing banyak hal. Selama di Roma, kami jarang ketemu karena masing-masing sibuk dengan kuliahnya. Apalagi kami berbeda tempat tinggal. Romo Leo di Collegio San Pietro, saya di Collegio San Paolo. Maka kesempatan ini kami gunakan untuk berdiskusi dan sharing. Kami bicara beberapa hal kecil mengenai keuskupan dan masa depannya; tentang kehadiran para suster kelak di Kupang, dan  juga sharing pengalaman iman. Diskusi dan sharing ini kian meneguhkan kami satu sama lain dalam perjuangan panggilan hidup sebagai imam maupun sebagai studen di Roma. Masih banyak hal yang harus dikerjakan. Komitmen pada tanggung jawab kian terolah. Di atas semua itu, kami percaya pada rahmat, pada penyelenggaraan ilahi. Tuhan mengatur semuanya baik pada waktunya. Biarlah semuanya mengalir dalam sungai rahmat. Pada titik ini, saya merasa sepertinya kehadiran kami di Orte semacam rekoleksi kecil yang sangat bermakna buat kami berdua.  Bagaimanapun rekoleksi adalah bagian tak terpisahkan dari hidup seorang imam. Menarik diri ke tempat sunyi untuk berdoa, merenung dan mengolah pengalaman hidup dalam terang Sabda merupakan saat-saat penting dalam hidup imamat kami berdua. Maka kesempatan ini kami pandang sebagai rekoleksi; rekoleksi sebagai rahmat.

Pertemuan Akhir Tahun

Para suster mengadakan pertemuan akhir tahun, semacam evaluasi umum di akhir tahun. Usai pertemuan Madre bersama beberapa suster datang ke ruang makan kami dan bercerita rupa-rupa hal. Mereka menyampaikan permohonan maaf karena terlambat menyediakan makan malam, sebab masih pertemuan. Saya merekam hal ini sebagai sesuatu yang sangat berarti. Pertemuan evaluasi. Betapa hal ini begitu penting dalam kehidupan kita, terutama kehidupan gerejawi, lebih khusus lagi dalam hidup berparoki. Saya teringat akan harapan Bapak Uskup agar pengelolaan paroki-paroki di keuskupannya sungguh ditata dengan baik dalam sistem manajemen paroki yang sesuai zaman. Salah satu unsur penting dalam pengelolaan paroki seperti itu adalah evaluasi. Seberapa jauh paroki-paroki di Kupang mengimplementasi manajemen paroki sesuai harapan Bapak Uskup, saya tidak tahu. Pertemuan evaluasi menyiratkan bahwa ada pertemuan penyusunan program, dan ada pelaksanaan program. Setidak-tidaknya para suster ini telah menghayati manajemen hidup komunitas yang rapi dan teratur. Saya lalu melamun, seandainya semua pastor paroki di Keuskupan Agung Kupang menghayati manajemen paroki yang rapi dan teratur……. Akhh


Makanan Indonesia-Italia

Kami betul-betul menjadi tamu istimewa para suster. Mereka menyediakan makanan yang lezat, masakan indonesia maupun italia, juga kombinasi keduanya. Lidah kami yang selama ini lebih banyak mencicip masakan italia kini mendapat hadiah istimewa berupa makanan indonesia yang lezat. Makanan yang sehat, bergizi, lezat dan diolah dengan ragam cara menjadi sumber kekuatan jasmani untuk hidup dan karya pelayanan. Syukur bagi Tuhan yang menganugerahkan aneka hal menjadi makanan manusia. Sebagaimana tubuh memerlukan makanan yang bergizi, demikian pula jiwa memerlukan makanan yang bergizi: Sabda Tuhan. Manusia hidup bukan saja dari roti, tetapi dari Sabda yang keluar dari mulut Allah (Mt. 4:4). Bahan makanan bergizi: Sabda Tuhan, sudah ada, sudah tersedia bagi umat di Kupang, dan cara pengolahan-penyajian yang  ada cukup menolong umat untuk bertumbuh sehat dalam iman-pengharapan-kasih kristiani. Namun rupanya cara pengolahan-penyajian yang lain juga perlu bagi umat Kupang. Kehadiran para suster Benedettine dengan cara mengolah dan menyajikan makanan rohani Sabda Tuhan tentu menjadi satu pilihan alternatif yang menunjang perkembangan umat dalam hidup gerejawi.


Misa bersama Don Giuliano

Minggu, 31 Desember 2006, kami merayakan misa Keluarga Kudus Nazareth bersama Don Giuliano, pastor paroki, bersama para suster dan umat yang hadir. Sang pastor paroki memimpin misa, saya membaca injil dan Romo Leo membawakan renungan. Romo Leo memberikan kesaksian hidup iman dalam keluarganya yang mengikuti teladan keluarga kudus Nazareth, bagaimana hidup dalam iman, pengharapan dan kasih akan Allah. Perspektif yang diberikan Romo Leo ini sungguh berbeda dengan yang lazimnya diterima oleh umat dan para suster dari Don Giuliano. Saya melihat hal ini sebagai sesuatu yang bermakna bagi mereka untuk melihat, meneropong hidup, merenung dan mengolahnya dalam perspektif yang bertumpu pada ajaran iman yang telah diketahui selama ini. Kita semua lahir-dibesarkan-belajar-hidup dalam keluarga. Keluarga adalah basis; sekolah kemanusiaan yang pertama dan utama. Pengalaman pergumulan hidup dalam iman-pengarapan-kasih dari orang lain, sungguh menukilkan inspirasi hidup yang kaya untuk juga mengolah hidup dalam perspektif yang terbuka luas bagi kekayaan rahmat. Kita semua mengalir dalam sungai rahmat yang tak pernah kering. Pengalaman hidup keluarga kudus Nazareth menjadi contoh bagi semua kita untuk menghayati hidup dalam iman, pengharapan dan kasih.


Keliling: Kebun, Laboratorium, Perpustakaan

Usai misa kami diizinkan masuk ke bagian dalam biara, yang bisa dimasuki oleh orang luar dengan izinan Madre. Halaman tengahnya terdapat sumur. Di situ kami berfotoria sejenak, lalu ke kebun dan laboratorium. Para suster ini hidup dengan semboyan Ora et Labora yang terkenal itu. Berdoa dan bekerja. Banyak hal dikerjakan oleh mereka di kebun maupun terutama di laboratorium. Mereka menghasilkan obat-obatan, madu, sampo dll, yang dikirim ke mancanegara. Produk mereka sungguh bermutu. Hal ini membuat saya merenung, betapa para suster ini begitu kreatif, inovatif, dan terpelajar. Romo Leo mengatakan pada saya, banyak penemuan ilmiah di Eropa pada zaman dulu dihasilkan justeru dalam monache (biara-biara). Saya langsung ingat pelajaran biologi yang saya dapat di Seminari Lalian dulu, tentang genetika, yaitu Hukum Mendell. Mendell adalah seorang rahib yang meneliti genetika tumbuhan kacang. Dia menjadi perintis ilmu genetika moderen. Keterpelajaran dan kreativitas  para suster ini memberikan inspirasi, tetapi juga gugatan terhadap saya sebagai imam, untuk juga punya semangat belajar sepanjang hidup dan kreatif dalam pelayanan. Alangkah menyedihkannya bila, seorang pastor, setelah tamat dari seminari tinggi, lupa belajar, lupa baca, lupa doa, miskin kreativitas pelayanan, tetapi malah sibuk dengan hal-hal yang tidak menunjang pelayanan imamatnya. 

Saya berharap, kehadiran para suster dengan keterpelajaran dan kreativitas mereka ini  di Kupang, dapat menggugat dan menggugah para pastor untuk terpelajar dan kreatif juga dalam karya pelayanan. Sampai di perpustakaan mereka, saya geleng-geleng kepala. Betapa terpelajarnya para suster ini. Mereka tinggal dalam biara saja, tetapi tidak berarti mereka ketinggalan dalam ilmu pengetahuan moderen. Para suster belajar juga filsafat dan teologi, kitab suci dan liturgi. Rupanya semua ilmu gerejawi dipelajari oleh mereka. Suster Veronika bercerita bahwa dia juga punya perpustakaan di kamarnya, biarpun kecil saja. Saya merasa ini sebuah pukulan yang keras terhadap kami imam projo Kupang generasi Santo Mikhael. Seorang suster punya perpustakaan pribadi. Sementara kami, entah berapa orang yang punya, dan lebih dari itu, berapa orang punya semangat baca, yang akan berbuah pada daya refleksi dan analisis yang memadai kala berdiskusi atau berkotbah. Saya ingat, kadang-kadang, waktu Natal atau Paska, Bapak Uskup menghadiahkan kami buku-buku. Tentunya beliau punya maksud untuk mendidik kami para imamnya untuk selalu membaca. Long life education, belajar seumur hidup, hendaknya menjadi semboyan hidup para imam projo Kupang juga, terutama yang muda-muda ini. Apalagi dalam konteks sekarang, semakin banyak orang pintar, semakin banyak umat awam yang pintar, mau tak mau para pastor juga harus terus belajar.



Lukisan Ikon

Satu kreativitas diperlihatkan lagi pada kami: Ikon, atau lukisan orang kudus yang dikerjakan sendiri oleh mereka. Katanya ada tujuh orang suster muda dari Indonesia yang belajar melukis ikon dan mereka ternyata bisa melukis dengan baik. Satu hal yang menarik bagi saya adalah proses melukis itu. Mereka melukis dengan seluruh hati-jiwa-batin, seluruh kenyataan diri aktual, dalam suasana meditasi atau doa. Maka ikon itu menjadi ekspresi jiwa orisinal yang kaya dimensi. Meskipun ketujuhnya melukis satu objek yang sama, hasilnya akan berbeda. Tidak akan pernah sama satu sama lain, karena setiap orang unik. Gerakan jiwa seseorang berbeda dari yang lain.
Suatu kreativitas yang langka. Dan akan hadir di Kupang. Inipun menginspirasikan banyak hal bagi hidup dan pelayanan kami para imam, tetapi saya tidak mau mengulasnya. Hanya ini yang saya mau ungkapkan: kreativitas yang mengalir dari dalam kontemplasi jiwa.

Sharing menjelang keberangkatan: Penyelenggaraan ilahi

Tak terasa waktu untuk berpisah segera tiba. Usai makan siang, kami bergegas ke kapela untuk berdoa jam ke-9. Lagi-lagi saya hanyut dalam mendengarkan alunan suara merdu para malaikat. Usai doa, kami berbincang-bincang. Banyak sekali yang diperbincangkan. Tetapi bisa tersimpul dalam ungkapan ini: la providenza divina, Penyelenggaraan ilahi. Tuhan mengatur semuanya baik pada waktunya. Manusia berusaha secara manusiawi sesuai tanggung jawab yang diberikan Tuhan dan selebihnya akan diatur oleh rahmat Tuhan. Sekali lagi, kita semua mengalir dalam sungai rahmat. Banyak harapan terungkap untuk kehadiran para suster di Kupang. Harapan bersama demi kemuliaan nama Tuhan, dan keselamatan jiwa-jiwa.


Ole-ole: Apa yang bisa kami beri untuk kamu?

http://www.collegiosanpaolo.it
Dalam perbincangan itu tercetus kata-kata ini: apa yang bisa kami beri untuk kamu? Saya terkesima dengan ungkapan itu. Di situ ada keterbukaan hati untuk memberi. Sebuah spiritualitas memberi. Mereka telah menerima dengan cuma-cuma, maka memberi juga dengan cuma-cuma. Setiap kita adalah saluran rahmat. Kita menerima rahmat dari Tuhan, tidak menyimpan untuk diri kita, tetapi meneruskannya juga untuk sesama. Di sini saya ingat spiritualitas Danau Galilea dan Laut Mati. Danau Galilea menerima air dari Gunung Hermon, menampung dan menyalurkannya. Di situ ada kehidupan. Tetapi Laut Mati menerima air dari Sungai Yordan, menerima, menampung dan terus menampung untuk diri sendiri, tanpa menyalurkan. Di situ tidak ada kehidupan, maka disebut Laut Mati. Rahmat yang mengalir berbuah kehidupan. Itulah spiritualitas memberi. Dan kami pun diberi ole-ole yang banyak: obat-obatan, susu, madu, pisang, jeruk, keju. Tas kami penuh dengan ole-ole. Bagi saya, bukan materi itu yang penting, tetapi hati yang memberi. Hati yang mencintai. Alangkah indahnya hidup dalam kasih!


Obat yang kudambakan

Dari antara pemberian itu, saya mendapat obat yang saya dambakan selama ini. Saya punya penyakit bawaan yang yaitu pilek bila cuaca dingin. Gejala sinusitis kata dokter. Maka para suster yang baik hati ini memberikan obat dari produksi mereka. Indah betul penyelenggaraan Tuhan. Ketika saya butuh obat, Dia mengantarku untuk bertemu dengan para suster yang baik hati ini. Di Ortelah saya mendapat obat pilek yang mujarab ini. Terima kasih Tuhan.

Pancaran cahaya ilahi

Kupandang wajah para suster ini. Aneh, semuanya ceria! Tidak ada yang terbalut mendung duka. Ada cahaya yang memancar dari wajah mereka. Begitu pula kesan dari Romo Leo. Kegembiraan, kebahagiaan, ketulusan yang memancar dari pribadi mereka bersumber dari pengolahan spiritual yang tertata apik.
Dengan harapan bertemu kembali, kami berangkat ke Roma dengan setumpuk kenangan indah yang memberikan inspirasi hidup kaya arti. Kita akan bertemu lagi, suatu hari nanti, usai meniti hari-hari sibuk, dengan doa dan karya. Bagaimanapun, kita tetap satu dalam doa.

Selamat tinggal Orte. Sampai jumpa lagi!


Roma, 1 Januari 2007
Rm. Sipri Senda, Pr (nnakfatu@yahoo.co.id)
Kini bertugas di Seminari Tinggi St. Mikhael, Penfui, Kupang
Alumnus Fakultas Teologi Univ. Urbaniana Roma

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...