Jumat, 15 April 2011

Pengalaman Misa di Afrika Selatan (sebuah kisah)

by: Sipri Senda


Misa hari Minggu di Paroki

Minggu, 5 Juli 2009, kurayakan misa di dua tempat. Yang pertama di paroki bersama Thabo. Paroki ini berpelindungkan St. Antonius, terletak di Randfontein, di luar kota Johannesburg. Gerejanya kecil. Cukup banyak umat yang hadir. Misa dalam bahasa inggris dengan banyak sekali perubahan pada jawaban umat. Misalnya jawaban atas sapaan pastor: the Lord be with you. Dulu jawabannya: And also with you. Tapi sekarang berubah: and with your spirit. Bahkan Thabo yang memimpin misa pun mengaku agak bingung dan canggung dengan banyak perubahan ini. Banyak umat kulit putih juga hadir dalam misa ini, tapi kelihatan bahwa apartheid sekarang tidak ada lagi. Hitam dan putih duduk bersama, saling membaur, dan berdoa bersama. Sayang sekali, tidak ada koor, padahal kuingin mendengar juga bagaimana mereka bernyanyi. Satu lagu akhirnya dinyanyikan tapi itupun dimulai oleh pastor dan diikuti oleh umat, saat komuni.

Gereja ini memiliki satu ruang khusus yang disebut CRY ROOM, terletak di sayap kiri altar, dipisahkan dari panti imam hanya dengan kaca transparan kedap suara. Di ruang itulah para ibu dengan bayi-bayi yang rewel bisa mengikuti misa walaupun anak-anak mereka menangis. Dengan demikian, mereka tidak mengganggu umat lain.

Sesudah misa kami berdua diberitahu koster dan misdinar untuk berarak ke pintu depan, lalu berdiri di sana menanti umat yang keluar untuk bersalaman dengan mereka. Rupanya ini satu kebiasaan baik di paroki ini. Thabo pun baru mengalaminya. Kami berdua berdiri dan satu per satu umat keluar menyalami kami berdua mengucapkan selamat pagi, atau selamat hari minggu, atau selamat datang di Afsel. Mereka tampak senang ada pastor asing datang di paroki mereka.

African Mass (Misa Africa) di Gereja Our Lady of Africa

Pastor Paroki, Rm. Victor semalam telah berangkat ke Gereja Our Lady of Africa untuk mempersiapkan misa di sana. Gereja ini merupakan bagian dari parokinya. Kompleksnya cukup besar, lengkap dengan pastoran dan halaman parkir. Di gereja inilah setiap minggu dirayakan African mass yaitu perayaan misa dalam bahasa Zulu dengan koor, lengkap dengan alat musik gendang khas Afrika. Semua umat bernyanyi dan bergoyang, menari di tempat, bertepuk tangan seturut irama musik dalam paduan gerakan yang asri. Semua menampakkan kegembiraan. Misa menjadi sebuah perayaan, sebuah pesta syukur, sebuah ungkapan kegembiraan dalam doa, lagu dan tarian meriah. Aku teringat cerita temanku Gabriel Faimau yang dulu menjadi misionaris SVD di Botswana, bahwa di Afrika liturgi adalah hidup dan hidup adalah liturgi, berangkat dari pengalaman perayaan misa yang begitu meriah dengan lagu dan tarian. Bahkan untuk mengantar derma seratus rupiah pun, dia akan menari dalam perarakan panjang sebelum sampai ke kantong kolekte. Apa yang dikatakan temanku itu pada hari ini kulihat, kusaksikan dan kualami langsung melalui perayaan misa afrika. Akupun larut dalam kegembiraan ini, bernyanyi dan menari mengikuti paduan suara dan gerakan tarian umat, pastor paroki serta frater dan diakon.

Sesudah kotbah ada pelantikan tiga anggota baru Catholic Women’s League. Mereka diberi mantol warna biru, buku pegangan, medali dan lilin bernyala. CWL adalah gerakan awam wanita yang mempunyai misi membantu pastor paroki dalam beberapa kegiatan pastoral khas seperti memperhatikan kesejahteraan pastor, melayani orang miskin dengan memberi makanan, pakaian dan kebutuhan lain, serta mengorganisir agen adopsi anak dari keluarga miskin. Pelindung mereka adalah Santa Maria Immakulata. Dalam perayaan ini mereka hadir dengan pakaian resmi mantol biru.

Our Lady of Africa
Saat persembahan, dua petugas berdiri di depan altar dengan kantong kolekte. Umat berarak satu persatu membawa persembahan mereka sambil menyanyi dan menari. Koor benar-benar berfungsi sebagai sponsor, karena begitu mereka memulai menyanyikan sebuah lagu, selanjutnya seluruh umat dalam gereja bernyanyi dan menari. Masing-masing secara kreatif dan bebas membentuk suara 2, suara 3 dan suara 4. Begitu padu dan enak didengar. Asri pula dengan paduan gerakan tarian baik di tempat maupun dalam perarakan menuju kantong kolekte. Kami berempat di panti imampun tidak ketinggalan bernyanyi dan menari. Anak-anak kecil yang sudah bisa berjalan ikut dalam perarakan sambil bernyanyi dan menari, membawa kolektenya sendiri. Sedangkan yang masih dalam gendongan ibu diberi sekeping uang logam dan dilatih untuk mempersembahkannya di depan altar. Dengan itu sejak kecil mereka telah terbiasa memberi derma.

Misanya dalam bahasa Zulu, namun karena hadir seorang asing yang tidak berbahasa Zulu maka pastor paroki mengecualikan bacaan injil dan doa syukur agung dalam bahasa Inggris. Aku diminta membacakan Injil. Dipilihnya doa syukur agung kedua sehingga memudahkanku juga untuk mendoakan bagian yang harus diucapkan oleh imam konselebran. Sesudah komuni, diberinya kesempatan untuk berbicara sedikit kepada umat. Aku memperkenalkan diri dan menyatakan terima kasih serta kesan khusus mengikuti perayaan meriah ini.

Sesudah itu ternyata masih ada satu kolekte lagi yang disebut kolekte ulang tahun. Dibuat satu kali dalam setahun pada salah satu hari minggu di bulan Juli. Setiap umat memberi derma berdasarkan jumlah usianya pada ulang tahun di tahun ini. Misalnya aku berusia 39 tahun, maka kuberi derma 39 Rand. Pastor paroki diminta berdiri di depan altar dan memegang kantong kolekte. Mulai dari yang berulang tahun bulan Januari. Masing-masing maju membawa dermanya sesuai jumlah usia, tentu saja sambil bernyanyi dan menari. Begitulah seterusnya sampai bulan Desember. Setiap pergantian bulan, diikuti pula dengan pergantian lagu. Mereka memiliki banyak sekali lagu yang meriah, yang pas untuk perarakan sambil menari. Asyik sekali menyaksikan anak kecil berusia 3-5 tahun membawa sendiri derma ulang tahun mereka sambil menyanyi dan menari. Begitu pula oma-oma dan opa-opa yang sudah bungkuk, tak mau kalah dalam bernyanyi dan menari menuju depan altar. Misa berlangsung selama 2 jam 30 menit. Ini masih mendingan dibanding perayaan paska yang berlangsung selama 8 jam, sebagaimana dialami-diceritakan temanku Gabriel Faimau SVD.


Rm. Sipri Senda
Johannesburg, 5 Juli 200

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...