Senin, 25 Januari 2010

Baliwood, Setelah Hollywood dan Bollywood!

Semua orang tahu raksasa bernama Hollywood. Raksasa yang juga sudah sukses dibayang-bayangi raksasa lain di belahan Timur bernama Bollywood. Mereka adalah raksasa dalam dunia perfilman. Percayalah bahwa Bollywood bahkan sudah mampu memproduksi sejumlah film jauh melampaui jumlah produksi film di Hollywood, dedengkotnya perfilman dunia. Hollywood adalah raksasa yang berdiri di tanah Amerika, raksasa dunia. Dan dari Timur, India tempat industri Bolywood berpijak kini juga semakin menyatakan mimpinya sebagai raksasa ekonomi dunia yang baru. Maaf jika kata-kata saya diatas terlalu bombastis tapi bukankah itu kenyataanya?

Lalu apa itu Baliwood? Kebetulan sekali jika bunyi katanya memang hampir mirip, Bolly, Holly dan Bali, namun apakah nasib mereka kini dan nanitnya juga akan mirip secara Baliwood memang baru dalam ‘wacana’. Saya tak tahu persis apa masih dalam rupa janin, sudah berbentuk bayi atau malah baru dalam rencana ‘pembuahan’?

Yang pasti saya lumayan kaget membaca sebuah iklan di hamalan 23 majalah film CINEMAGZ edisi Februari 2010. Dari Swadeshi Bali Foundation yang selama ini telah mengadakan Bali International Film Fest hingga yang ke 7 kalinya ternyata juga telah melaunching ‘the New Branding for Bali: BALLIWOOD!’. Suatu keberanian dan optimisme yang cukup tinggi mengingat (meski) hanya menggunakan kesamaan bunyi bahasa (i/y-wood) tapai pastinya ada beban tersendiri mengingat kedua raksasan sebelumnya sudah jelas membuktikan eksistensinya. Dan bagi Bali secara khusus atau Indonesia secara umum dari segi perfilman jelas belmu menjadikan sebuah industri yang menjanjikan dari segi kualitas dan kuantitas. Bolehlah jika dari segi statistik angka pembuatan film dalam negeri mengalami peningatan signifikan setiap tahunnya namun apa sejalan dengan peningkatan kualitasnya? SAYA YAKIN BELUM! Malah mungkin seperti perbadingan terbalik malahan. Maaf untuk ketidakoptimisan saya ini.

Hal positif bahwa Bali sebagai kota wisata Internasional jelas memiliki magnet tersendiri, misalnya yang mendorong Bradd Pitt yang empunya rumah produksi mengirmkan Julia Roberts untuk datang syuting ke Bali. Setitik saja tapi saya yakin pengaruhnya akan besar. Dan secara budaya, mungkin hanya Bali lah yang sudah bisa menerima ‘kebudayaan asing’ untuk masuk dan berbaur sebagai kota yang multi-multi. Artinya Bali bisa mengadaptasikan dirinya dengan tuntutan sosial masyarakat dunia (meski nanti ada problem baru lagi soal birokrasi pemerintahan kita yang terkenal super duper RIBEEEETTT!!!). Soal keribetan birokrasi inilah yang kata Mira Lesmana, para Produser Hollywood lebih memilih Tahiland, Vietnam, Korea atau Jepang sebagai lokasi syuting film mereka. Karena pemerintah sana mendukung dan paham bahwa film bisa memacu perekonomian lokal. Atau karena kita terlalu parno dengan kehadiran budaya asing yang selalu kita takutkan akan membahayakan eksistensi budaya asli.

Berikutnya, Bali, ada berapa bioskop disana sih? Berapa yang representatif? Ada berapa gedung teater dengan skala kualitas/ bertaraf Internasional? Ada berapa gedung pertunjukan seni khusus seni seperti Kodak Theatre bukannya gedung rapat JHCC di Jakarta yang malah sering dipakai buat konser musik daripada buat rapat? Padahal jelas tidak representatif?Ini jelas harus menjadi pertimbangan jika kita ingin membangun Bali dengan konsep ala Hollywood dan Bollywood di Mumbai India atau seperti apa? Dunia film jelas juga punya kaidah dan aturan atau kelaikan tersendiri tentang industri film yang bisa diterima secara Internasional, baik itu mutu/kualitas dan kuantitasnya, birokrasinya, undang-undangnya, distribusinya, termasuk juga dukungan seniman lokal (aktris, aktor, sutradara, editor, ddl) yang bisa berdaya saing secara global.

Saya percaya pemerintah sudah mencanangkan program untuk industri kreatif, film salah satunya. Semoga itu juga berakibat ke perubahan undang-undang atau birokrasinya yang semakin mendukung bukannya mengekang industri perfilman itu sendiri, apalagi jika pemerintahnya selalu mendikte keberadaanya.

Terakhir, bagi saya penting juga untuk hal kesiapan produsen film itu sendiri. Apa masih mau bergulat terus dengan membentuk selera pasar sebagai ‘tanpa kualitas cerita, akting sinematografi,dll, yang penting penonton terhibur, cukup! Yang penting box ofiice, penontonnya membludak, keuntungan berlimpah’. Karena saya melihat selera pasar kita kok makin jelek yah. Hadirkan saja Julia Perez
memakai kebaya minim dengan menggendong bakul jamu, mendesah sensual tanpa akting mumpuni, tanpa tata artisitik baik, tanpa cerita yang berbobot, tak perlu karena penonton akan berebut nonton untuk melihat belahan dada Jupe, tertawa, berfantasi liar, selesai dan pulang! KOSONG! NOL! Gak ada kesan lain selain terkesan dengan baju Jupe yang minim. Gak ada kesan kalau sutradaranya keren (tahu siapa sutradaranya pun mungkin tidak), tata artistiknya bagus, pesan moral ceritanya apa, editingnya rapi, kok begini, kok begitu. Gak ada kekritisan karena nilai edukasi, moral, etika, sosial budaya, nilai politik, nilai humanis, nilai ekonomis, nilai psikologis, dan banyak nilai-nilai positifnya NOL tadi!

Apa film-film Indonesia kini masih bisa dijadikan sarana pendidikan yang universal buat masyarakat?

AHHH….


Jogjakarta, 24 Januari 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...