Jumat, 26 Juni 2009

Garuda di Dada King!

Sudah saatnya kita peduli dengan film produksi dalam negeri, peduli dengan karya kreatif anak bangsa, begitulah pesan suara hati kecil saya yang entah kenapa tiba-tiba saja sok bijaksana. Apa kabar perfilman tanah air? Masihkah dikau betah dengan ‘citarasa’ horor atau ese-esek? Apakah kita ini terlalu miskin ide kreatif sampai-sampai harus rela menerjunkan diri ke ranah plagiat? Apakah kekayaan budaya dan alam masih sudah habis untuk dieksplorasi lewat media film kedalam sebuah cerita yang asli dan menarik? Lagi-lagi segerombolan pertanyaan tadi timbul dari hati kecil yang memang suka sok bijak. Tapi kayaknya kita orang Indonesia harus bijak deh menilai, mengrapresiasi dan mengkaryakan ide-ide kreatif kita dengan jujur, tanpa ragu untuk bilang kalau perfilman kita sedang kehilangan jatidirinya. Saya iri dengan perkembangan perfilman Korea, Thailand apalagi India. Iri lantas mulai berani mengapresiasi karya dalam negeri namun tetap dengan aturan main yang jelas: nontonlah film bermutu, karya asli, bukan bajakan bukan plagiat. Tak ada salah dengan tema horor atau ‘esek-esek’ hanya saja mbok yah originalitas cerita itu dijaga, jangan latah, tidak asal-asalan, patuh sama unsur-unsur baku dalam film semisal tata artisitik, sinematografi, skenario, dsb!

Suatu sore saya pulang kerja dan diatas bus kota saya terpikirkan untuk menulis lagi tema film, menulis isi hati saya soal perfilman Indonesia dewasa ini. Ini karena saya sedang dalam proses belajar menjadi apresiator film, terutama film produksi dalam negeri. Apalagi perasaan ini diperkuat oleh 2 buah film Indonesia yang baru saja saya tonton:
GARUDA DI DADAKU dan KING. Ada banyak kesamaan dan kebetulan disini. Saya menyukai hal yang kebetulan. Kesamaan dan kebetulan yang bisa dipertanggungjawabkan, yang asli bukan tiruan harusnya. Yah, secara garis besar dua film ini bertema sama, film keluarga, latar belakang olah raga, satunya sepak bola dan satunya lagi bulu tangkis. Sama-sama punya visi membangkitkan kembali semangat Nasionalisme lewat olahraga. Secara khusus ceritanya pun hampir mirip, tokoh utama sama-sama anak-anak, penyuka olahraga, bercita-cita jadi atlet besar, satunya mengidolakan Bambang Pamungkas dan satunya lagi mengidolakan Lim Swie King, Musiknya sama-sama digarap oleh pasangan Aksan dan Titi Sjuman, sama-sama punya teman akrab yang mendukung, sama-sama punya figur orang tua yang otoriter, sama-sama menjadi film panjang perdana untuk sang sutradara, dsb. Namun saya percaya itu sama karena kebetulan.

Garuda di Dadaku berseting kemegahan kota Jakarta. Secara teknis lumayan. Hanya saja saya agak terganggu dengan ceritanya, kenapa Bayu harus ‘maksa’ bermain bola di pekuburan padahal dia punya teman yang kayaraya yang seharusnya gampang menyewa lapangan futsal sebagai tempat latihan, dsb? Kenapa pekuburan bukan yang tanah lapang biasa? Kenapa ada sosok Zahra dan Ayahnya yang misterius dan aneh? Atau sayanya yang aneh? he-he-he. Percayalah pada akhirnya mengapresiasi karya seni adalah membutuhkan RASA. Dan rasa itu subjektif sekali.

Namun saya suka akting pemeran Bayu. Maudy Kusnaedi kok bermain datar yah, kagok akting yah mbak? sayang sekali. Ari Sihasale yang bermain sebagai pelatih bola pun kesannya kurang total jadi orang Ambon (ih, jadi membayangkan akting Tio Pakusadewo jadi orang Ambon di Quickie Express, seruuu). Untung ada Ramzi yang sedikit membangkitkan suasana dengan celotehan segarnya.
Ketika 2 hari berikutnya saya menonton KING, saya kok makin yakin kalau Garuda Di Dadaku sedikit kalah dibandingkan KING, dalam beberapa aspek saya pribadi. Awalnya saya begitu pesimis karena nama Ari Sihasale di posisi sutradara. Apa bagus yah? Tapi jika melihat ke belakang, perjuangan Ari dan istrinya Nia
untuk ‘mengeksekusi’ film Denias, sedikit membangkitkan rasa percaya. Sebelum nonton, saya sudah berkali-kali mencari berita terkait di google juga melihat trilernya di youtube. Hmm, kok sense yang nampak mirip Denias yah? Nonton ahh. Dan ternyata jawaban yang saya peroleh, memang demikian adanya. King sedikit lebih baik ketimbang Garuda di Dadaku.
Kenapa sedikit lebih baik?

1.Saya suka visualisasinya, gambarnya! Perkampungan yang tenang dibawah kaki gunung di Banyuwangi, hutan-hutan yang hijau jaya raya, kawah Ijen di Jatim, rusa-rusa liar di padang rumput, hingga masjid agung Kudus dan Gedung Djarum Kudus, wah banyak deh. Dan itu secara apik dan terencana ditangkap oleh kamera. Saya kira ada nama besar Yudi Datau sebagai penata kamera juga Budi Riyanto Karung sebagai penata artistiknya. Beberapa kali teknik syuting dengan kamera dari atas/dari udara, wah makin deh objek yang ada dibawahnya. (Hmm..jadi ingat gambar-gambar indah di film ‘Home’ bulan kemarin).

2.Emosinya, sense of humor, pas. Hal ini didukung dengan cerita yang pas, musik yang memancing haru-rasa nasionalisme (salut buat Aksan Sjuman, Titi Sjuman, Ipang dan Ridho Slank!). Artinya untuk memancing rasa nasionalisme saya kira King lebih berhasil ketimbang Garuda di Dadaku. Ari dengan cerdas menampilkan beberapa humor yang mengejutkan, misalnya si pak pos yang face-nya Papua tapi Jawa medhok, atau humor-humor yang diwakilkan suporting acotrnya, si Raden kribo (Lucky Martin), yang kalau tak salah pernah muncul di iklan Axis versi ‘Layang-layang’.

3.Karakter-karakter pemainnya cukup kuat dan khas. Guntur (Rangga Raditya), Mamiek Prakoso sebagai bapak yang otoriter, Aryo Wahab, Neneknya Raden yang cerewet (Yati Surachman), Abang dari Padang yang wajahnya boleh garang tapi hatinya melow he-he. Sedikit gantung adalah permainannya Wulan Guritno, Valerie Thomas (anaknya Jeremy Thomas) dan A’a Jimmy.

4.Boleh dibilang cerita dan setting King lebih orisinil. Saya kira pasca Denias dan Liburan Seru (yang gagal itu), Ari dan Nia punya banyak waktu untuk meriset, menulis dan mengeksekusi film King ini sehingga hasilnya cukup matang.

5.Berasa dapat makanan tambahan dengan hadirnya nama-nama besar yang muncul secara spesial seperti Lim Swie King, Hariyanto Arby, Ivana Lie, hingga yang paling muda Maria Kristin.

6.Saya kira King
(juga Garuda di Dadaku) adalah air yang sedikit bisa mengobati dahaga seluruh masyarakat Indonesia, terutama generasi muda yang sepertinya mulai kehilangan makna hidup sebagai warga negara yang Nasionalis, karena sibuk mengurus perut yang kelaparan atau ujian-ujian sekolah yang memberatkan tapi lupa bahwa kita ini Bangsa yang besar, bahwa hanya semangat nasionalismelah yang bisa membuat kita kuat sebagai sebuah negara. Aha, ini menurut nurani saya yang mungkin bisa dibaca sebagai yang berlebihan he-he-he

Akhirnya, perbandingan ini hanya akan bertujuan bahwa masih banyak hal-hal menarik yang dipunyai bangsa ini yang belum terekpose oleh media, termasuk lewat media film. Kita terlalu kaya untuk terus berkarya, untuk berhenti berbuat, untuk berhenti meniru-memplagiat, untuk latah. Kita terlalu kaya, karena banyak potensi yang belum terjamah, bahkan oleh dunia perfilman tanah air kita sendiri. Kalau bukan kita siapa lagi?


(*NB: ...dan ketika harus menutup kalimat ini, saya harus menulis lagi: ‘Thanks buat pemerintah Indonesia, karena Julia Robert pasti akan syuting di Bali untuk film produksi usahanya Brad Pitt, ini karena birokrasi kita sudah tidak terbelit-belit lagi, dan pihak luar bisa syuting di negara kita. Toh pada akhirnya potensi kekayaan kitalah yang terekspose ke dunia luar dan dunia akan lebih tahu kalau tanah kita ini indah. Lagi-lagi masyarakat lokal juga yang diuntungkan karena uang akan banyak berputar disana, di lokasi syuting film kan?’*)



Jogjakarta, 26 Juni 20009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...