Jumat, 20 Maret 2009

Gaya Hidup dan Perasaan Inferioritas Manusia

Tadi siang saya bertemu kawan lama yang saya kenal saat aktif bersama sebagai volunteer di keluarga mahasiswa Fisipol UGM beberapa kali di wilayah Gunung Kidul.
Kami banyak mengobrol tentang pemilu, tentang pertelevisian tanah air hingga soal gaya hidup, bahan bacaannya saat ini, kebetulan nyambung juga karena ini melibatkan teori psikologi dan saya juga baru saja menyelesaikan mata kuliah Perilaku Konsumen, yang tugas diskusi saya juga membahas tentang gaya hidup (life style).

Teman saya sedang membaca tulisan tokoh psikoanalisis (lantas dikenal juga sebagai yang humanis ketimbang Freud), Alfred Adler, yang juga terkenal dengan psikologi individualnya. Katanya, gaya hidup sebagian besar ditentukan oleh inferioritas-inferioritas khusus (perasaan diri khusus) entah khayalan ataupun nyata. Jadi menurut Adler gaya hidup itu muncul karena kompensasi dari rasa rendah diri atau rasa ketidakmampuan secara khusus tadi, menuju pada tujuan yakni menjadi superioritas, minimal berkuasa atas dirinya sendiri, nyaman dengan dirinya, menikmati hidupnya. Hmm.
Setiap orang, menurut dosen saya, mempersepsikan, mempelajari, dan mengingat apapun yang yang cocok dengan gaya hidupnya sekaligus mengabaikan hal lainnya.

Misalnya saya mempunyai kelemahan fisik, maka hal itu akan membentuk gaya hidup saya kearah atau hal yang berwujud akan menghasilkan fisik yang kuat.

Dan konon kata teman saya ini, percaya atau tidak, bahwa dari tulisan yang ia baca ada analisa mengapa gaya hidup Napoleon Bonaparte bersifat menaklukan? karena itu bersumber kenyataan bahwa postur tubuhnya kecil.

Atau bahwa inpotensi seksualah yang menjadi alasan mengapa seorang Adolf Hitler punya nafsu besar untuk menaklukan dunia! Yang terakhir ini cukup membuat saya geli. Mungkin juga mengapa ia memakai kumis lebat, yang setahu saya itu kompensasi bagi seseorang agar membentuk imej jantan. Ah, mungkin teori ini terlalu kuno buat anda he-he.

Mungkin saja, sekali lagi mungkin logika berpikir diatas menjadi acuan untuk memahami gaya hidup metroseksual pada kalangan pria, apakah itu ada karena terkait faktor inferioritas? Entahlah. Sepertinya menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Saya mungkin bisa memberikan contoh lain lagi yang Nampak kini, misalkan saja seorang isteri yang kesepian bisa jadi membentuk perilaku atau gaya hidup wanita yang ‘shopaholic’ kali yah he-he.

Dalam tugas matakuliah seminar psikologi sosial dan kilinis saya, kebetulan sekali saya menyoroti 'body image' atau 'muscularity' yang kini marak di kalangan ABG Amerika, juga sudah mulai merambah juga ke Indonesia saya kira. Ketika standar sosial terhadap diri pria digambarkan sebagai yang berotot,
bak superhero2 ciptaan hollywood, ternyata sangat mempengaruhi konsep diri juga gaya hidup remaja disana. Mengalami gangguan makan, konsumsi obat-obatan secara berlebihan untuk menambah massa otot, waktu dihabisakn di gym hingga kebiasaan bercermin diatas 50 kali setiap harinya! Saya kira itu juga efek dari ketakutan laki-laki Amerika dicap secara sosial sebagai yang inferior, lemah, feminin! hmmm...

Saya juga percaya dalam kaitan dengan logika pemikiran diatas mungkin sama yang terjadi pada kasus si penjagal dari Jombang, Ryan. Mungkin ada perasaan inferioritas yang berlebihan dari masa lalunya, menuju kepada pemikiran nilai diri yang dibesar-besarkan, arahan khayalan yang tidak masuk akal terhadap sesuatu, yang mendominasi gaya hidupnya, keinginan menjadi selebritis. Namun tidak disadari bahwa masih ada masalah yakni kesenjangan antara realitas si Ryan dengan khayalan-khayalan idealnya. Hal ini justru menimbulkan banyak kecemasan dan ‘kompensasi-lebih’ dengan ingin menguasai orang lain, memanfaatkan orang lain.

Atau bahkan perilaku agresif (baca= membunuh) adalah cara menjadi superior/berkuasa/ maskulin akibat dari perasaan inferior Ryan karena terkesan oleh lingkungannya sebagai yang manja, feminin, dsb. Yang keseluruhannya membentuk sebuah lingkaran setan, antara perasaan inferior (lemah-feminin) namun ingin menjadi sukses seperti selebritis lantas membentuk sebuah gaya hidup, terjadi das sollen dan das sein, muncul perasaam superior, menjadi agresif, dsb. Bisa jadi iya.

Hmm, obrolan kami terus melebar tapi menarik. Saya kemudian berinisiatif menulis kembali pemahaman dan kesimpulan sementara kami berdua disini, apa komentar anda? argumentasi anda?


(Jogjakarta, 19 Maret 2009, thanks to Mr. Yogi untuk perbincangan yang menggugah hati dan logika he-he)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...