Selasa, 17 Maret 2009

cerita tentang negeri yang kacau, pikiran yang kacau!

temanku tertegun melihat tubuh purnama menipis kemarin malam. aku ada di sampingnya. waktu itu kami berencana menertawakan kemalangan yang sedang ada digenggaman kami. aku, dia dan sepasang suami isteri yang sejak dua jam sebelumnya sedang menuai lelah setelah seharian bekerja, berdua tiduran di ata sebuah becak penuh dengan dua karung yang kata mereka berisi makanan dan pakaian mereka. kata temanku, purnama itu sedang meragu. aku bilang dia bukan ragu tapi malu karena sulit membela bumi tempat kita berpijak ini.

teman saya itu tertawa keras, katanya, ‘kenapa malu?’, dia ragu kawan, lihat kawanan awanawan serupa kapuk pengisi kasur lusuh, lihat awan-awan itu telah menyedot kekuatan purnama sehingga cahyanya tak kuasa menerangi kekalutan yang terjadi di bumi, kemelaratan hati kita, kekecewaan kedua pasutri ini.

giliran aku yang tertawa keras. ‘bukan itu kawan, rembulan yang tak bulat itu karena penghuni bumi selalu melempar gelisah ke langit malam, jadi awan beracun yang menyedot bulatan dan sinarannya, dan manusia selalu menanggung buah tangannya sendiri. dan itulah mengapa bulan malu, dia saja mencintai bumi tapi bumi malah membunuh dirinya sendiri.

kami berdua tertawa sehingga membangunkan kedua pasangan ini. kata bapak itu, ‘dek, yang tak adil bukan dunia, tapi manusia sendiri, tanganya sendiri yang juga membuat matahari dan rembulan berubah jadi murka. kita bahkan adalah korban, hanya karena ketulusan hati kita terlampau kalah dari kebejatan hati sesama kita. rumahku digusur untuk dijadikan mall, tiga tahun sudah aku ini menjadi tunawisma. kalian? rumah kalian dimana?

kami berdua serempak tertawa. ‘kami bahkan lahir di bawah kolong jembatan pak, 20 tahun yang lalu, hingga kini, di saat katanya bangsa ini sudah merdeka 63 tahun!’ sahutku.
tiga jam lebih kami mengobrol dan di ufuk timur sana, rembulan itu menyusut lagi terhisap udara malam yang kotor.

‘kalian sudah makan?’ ucap sang ibu memecah sunyi. ‘ini masih ada dua bungkus nasi yang dibagi sekelompok orang berpakain biru-biru, katanya minta doanya untuknya yang akan ke senayan. ngomong-ngomong senayan itu dimana yah dek?

‘senayan itu tempat dimana kesusahan dibiarkan terpelihara selama 63 tahun bu!’ jawab temanku lugas.

kami tak jadi makan nasi ‘caleg’ itu. kami muak. kami tak lapar. tapi apa kami akan terus miskin hingga negeri ini seratus tahun?
entahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...