Senin, 02 Februari 2009

Pagi yang Putih di Sebuah Panti Wreda!




Namanya Dyah, perempuan berusia 78 tahun, asal Semarang, sudah dua tahun lebih menghuni di salah satu panti wreda di kota Jogja. Inilah informasi awal yang saya terima dari mulut Oma Dyah sendiri, ketika pagi itu matahari pecah setelah gerimis panjang menyisakkan suhu yang cukup membuat tubuh saya basah, saya sedang memulai praktik lapangan sebagai mahasiwa psikologi. Hari dimana saya pertama kali akan memulai jam perdana itu menuju jam yang tinggi menggantung diatas sana yang dekat dengan profesionalisme. Untuk itu saya mau, praktik pertama saya ini benar-benar sukses. Saya ingin menggerakkan seluruh potensi dan tenaga saya untuk ini.
***
Panti yang hangat jompo, panti jompo yang bersahaja. Kali pertama ini kami mulai dengan pengenalan situasi panti, bertemu dan berkenalan langsung dengan para perawat dan terutama para lansia itu sendiri. Saya dan teman-teman saya diterima dengan hangat sekali oleh Oma-oma disana. Saya menduga ini karena rasa kekosongan, kehampaan dan kesepian yang selalu menguntit hari-hari mereka disana, dan ternyata dugaan saya tidak meleset. Lamat-lamat kata-kata yang keluar dari mulut mereka mengarah kepada dugaan saya tadi. Tantangan pertama untuk mengasah rasa empati saya sudah dimulai! (saya kira empati adalah modal awal seorang psikolog).
Karena keterbatasan waktu kami hanya sempat menemui kira-kira sepuluh lansia dari 35 orang penghuni panti. Menarik bahwa kerinduan yang besar untuk membunuh rasa sepi dan hampa itu begitu besar seolah terobati dengan kedatangan kami. Maka mulailah segala curahan isi hati itu tertumpah! Saya memaklumi itu. Betapa bertahun-tahun hidup seolah di tempat pengasingan, jauh dari keluarga dekat, jauh dari orang-orang terkasih, tanpa ada sandaran hati, karena senyatanya mereka membutuhkan itu, mereka membutuhkan dukungan sosial yang ekstra, bahkan lebih dari itu, mereka sangat membutuhkan dukungan emosional dari orang-orang terdekat untuk mengimbangi efek dari penurunan daya tahan tubuh, penurunan fungsi-fungsi fisiologisnya. Saya membaca dukungan itu masih terlalu jauh buat mereka. Keputusan penilaian yang justru saya ambil dari awal pertemuan ini.
Dari beberapa lansia yang saya temui tadi yang paling nampak jelas adalah soal penurunan fungsi tubuh yang berimplikasi ke penyakit-penyakit ‘andalan’ para lansia, ya kesulitan berjalan karena syaraf-syaraf mulai terganggu, ya asam urat, ya jantung, ya eksim di kulit, ya demensia atau kepikunan. Ini efek fisiologisnya. Lain halnya dengan efek psikologis, meski dalam beberapa kasus akan berhubungan antara fisiologis dan psikologis, melahirkan yang namanya psikosomatis, gangguan psikologis namun yang terasakan pasien adalah gangguan fisik. Pertama, saya melihat ada perasaan kesepian, perasaan kurang diperhatikan baik oleh keluarga maupun oleh para perawat di panti itu sendiri. Ada juga perasaan seolah di jauhkan oleh keluarga sendiri, ada perasaan menolak keadaan dalam hidupnya kini. Misalnya saja Oma Dyah, yang datang dari keluarga besar (mempunyai anak delapan orang), namun masa senjanya ini seolah ‘dilabuhkan’ sendiri oleh keluarganya, tanpa ada sedikitpun keinginannya untuk ada disini. Sehingga perasaan kurang berharga dan perasaan menolak nasib itu begitu besarnya, sepanjang yang saaya tangkap dari pembicaraan empat mata selama kurang lebih 1 jam khusus dengan beliau. Perlahan suaranya bergetar sehingga titik-titik air itu tak kuasa terbendung lagi dari sudut matanya. Ahh, ibu.
Kedua, ada perasaan kurang nyaman karena berada di tempat yang kondisinya jauh-jauh berbeda dari kondisi dahulu. Soal tempat tinggal, soal makanan, soal hubungan baik dengan sesama penghuni lainnya. Hal ini memicu rasa ketidaksukaan, meratapi kenyataan hidup yang tidak menyenangkan bahkan seolah menolak nasib tadi. Ini karena kualitas pelayanan panti bergantung kepada ongkos yang dibayar oleh pihak keluarga/donatur kepada pihak panti, misalnya sekian rupiah per-bulan untuk sekamar berempat atau sekian rupiah lainnya untuk sekamar hanya berdua. Hal ini juga kadang menimbulkan kecemburuan sosial sehingga menambah beban perasaan bahwa dirinya tidak diperhatikan ketimbang si A yang diperhatikan dengan tanda bahwa jenis kamar si A lebih baik dengan jenis kamar yang ia tempati. Dan soal bergosip satu sama lain juga ada disana, membicarakan kejelekan satu sama lain, bahkan menambah beban batin lansia itu sendiri, sperti halnya yang dialami Oma Dyah tadi.
Saya pun ikut sedih, namun saya sampai pada titik pikiran bahwa saya tidak boleh menilai jelek keluarga yang menempatkan bagian dari keluarganya itu ke panti ini. Bagi saya akan terlalu terburu-buru, ketimbang saya menilai hambatan-hambatan psikologis yang mereka alami selama pembicaraan kami berlangsung. Tentu keluarga punya alasan tersendiri dari tingkat yang paling tidak masuk akal hingga yang paling masuk akal. Entahlah. Bagi saya yang penting adalah bagaimana agar kesejahteraan para lansia ini bisa terpenuhi dengan baik dan penuh sebgaimana lansia-lansia lainnya yang ada di luar panti. Toh mereka juga sama-sama manusia, yang diberi hak sama oleh Tuhan, juga mendapatkan hak yang sama dari saya atau anda atau dari pihak pemerintah. Yang terakhir ini saya kira jelas karena sudah termaktub dalam falsafah dasar dan konsitusi Negara kita.
Ada hal-hal menarik dari pembicaraan kami, misalkan saya Oma Dyah begitu antusias membahas isu-isu sosial semacam tindakan kriminil masyarakat sekarang ini, soal perilaku seks beresiko yang melanda para kawula muda masa kini hingga soal ekonomi megeri yang carut-marut ini. Wah, saya makin kagum sama beliau, terlepas dari indikasi dirinya yang sedikit cemas. Ternyata di usia 87 ini Oma Dyah masih mampu mengkritisi keadaan sekitar. Salut deh.
Ternyata waktu terasa begitu cepat berlalu hingga membawa pembicaraan emosional kami harus berakhir. Mereka begitu bahagia dan seakan sulit melepaskan kami, pasalnya beberapa menit berikutnya mereka pasti sudah berhadapan dengan tembok yang bisu, dengan baik buruknya perilaku sesama penghuni panti, dengan ketatnya peraturan yang mungkin bagi sebagian dari mereka terlalu berlebihan, sulit dilakukan atau malah akan tidak bernilai apa-apa dalam bilik terdalam perasaan mereka.
Sebelum berpisah kami menyempatkan diri berfoto bersama. Oma Dyah begitu antusiasnya berfoto dengan saya, katanya, ‘‘nak Chris, jangan lupa yah entar di cetak, dikirim kesini yah…’’. Saya memegang tangan Oma Dyah dengan erat, merapatkan sisi tubuh saya, tersenyum dan…cheeeeeers!!!! Ah, bahagianya hari ini. Katanya dengan terbata-bata, ‘Oma sudah siap mati, setiap malam oma berdoa kepada Tuhan Yesus supaya Oma diberi kekuatan, di beri ampunan, agar nantinya Oma bisa pergi dengan tenang, dengan damai, dengan hati yang lega…’. Amin, jawab saya. Dalam hati saya berdoa agar Tuhan memberikan ketenangan hati dan pikiran buat Oma Dyah dan semua penghuni panti, bisa mengisi waktu senjanya dengan menanam kasih, berbagi kasih dan hidup dalam kasih, kasihNya yang putih dan abadi…
***
(Pengalaman tadi membawa pikiran saya jauh melayan, menembus batas ruang imaji saya, dan menyisakan sebuah lingkaran berisi sebuah pernyataan ke pertanyaan besar: saya masih hidup dan mungkin akan hidup lebih lama hingga tua nanti, adakah rasa syukur saya biosa terus berkumandang dalam hati, dalam hidup harian saya? Sungguh saya membutuhkan waktu untuk menjawabnya. Bagaimana dengan Anda?)
(Bumijo Lor, 2 Februari 2009)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...