Minggu, 30 November 2008

Kearifan Lokal Masyarakat Mollo

Beberapa tahun belakangan ini ketika penambangan marmer di daerah yang termasuk dalam gugusan pegunungan Mollo (utara hingga selatan), salah satu bagian geografis Kabupaten TTS, mendatangkan pro dan kontra, antara penguasa dan pengusaha versus masyarakat di seputaran daerah penambangan tersebut. Lantas mengapa masyarakat lokal begitu gigih menolak penambangan tersebut? Jawabannya tak lepas dari yang namanya kearifan lokal atau kebijaksanaan lokal atas tatanan kehidupan di sekitarnya, antara manusia, alam dan sang pencipta. Hal yang saya kira sudah menjadi bagian siklus kehidupan masyarakat yang mendiami suatu wilayah. Suatu simbiosis mutualisme antara manusia, alam dan Tuhan sang pencipta alam semesta itu sendiri. Sikap positif yang kini mulai ditinggalkan oleh manusia, bahkan diinjak-injak atau diporak-porandakan.



Teringat isi novel terbaru dari penulis kebanggan saya, Ayu Utami, Bilangan Fu. Suatu bentu kegalauan Ayu atas kondisi kehidupan manusia abad ini yang makin jauh dari yang namanya keselarasan, keseimbangan atau kearifan lokal tadi. Ayu dengan cerdas dan gamblang merunut ‘lingkaran setan’ yang dianggap bertanggungjawab atas kondisi dunia sekarang. Setting dan plot cerita yang bagi saya hampir antara masyarakat pesisir pantai selatan Jawa dengan gugusan pegunungan kapur / karst (bentuk lain dari marmer) yang kaya akan mitos (bentuk lain sebagai usaha menyelarskan hidup dengan alam, dan sang pencipta) sekaligus tempat terbaik dalam menyerap dan menampung air (bertalian dengan mitos, 7 buah mata air ‘bertuah’).

Sayang seribu sayang, kearifan lokal yang terjaga ribuan tahun itu lenyap (dan dipaksa lenyap!) oleh tiga raksasa bernama MODERNISME, MILITERISME DAN MONOTEISME. Ayu dengan gamblang merangkai keterkaitan antara ketiganya yang digambarkan bersimbiosis ‘menghancurkan’ bangunan bernama kearifan lokal berserta mitos-mitos turunannya. Modernisme? Jelas tujuanya hutan, air dan batu-batu kapur itu sendiri. Akibatnya jelas, 7 mata air yang merupakan sumber hidup masyarakat sekitar kering kerontang.

Militerisme (setting cerita era Orde Baru!) digambarkan begitu represifnya bermain ‘untunng-untungan’ dengan MODERNISME. Tahulah jadinya jika Militer dengan segenap kekuatan dan legalitasnya memanfaatkan hal tersebut demi tujuannya. Lantas Monoteisme? Ayu benar-benar membuat saya anak 21 tahun yang tak ada apa-apanya jika berbicara kaitannya dengan itu terkaget-kaget namun makin penasaran. Monoteisme (mono=satu, ‘tuhan’ adalah satu) jelas punya tujuan tersendiri jika dilihat kondisi masyarakat pantai Selatan Jawa yang kental dengan ‘kepercayaan’ lokalnya, masih berteguh dalam kearifan budaya asli, berkutat dengan mitos yang bagi saya justru membantu cara berpikir dan bertindak manusia dalam hidupnya untuk tidak egois, hidup selaras dengan makhluk ciptaan yang lainnya.


Lantas jika dikaitkan dengan situasi yang terjadi di perbukitan karst/marmer Mollo saya kira akan mirip. Berbicara modernism jelas tujuannya, hanya ingin menggaruk sebanyak-banyaknya kekayaan alam demi kepuasan diri semata, tanpa peduli sekitarnya, efek bagi kehidup selanjutnya. Dan yang diuntungakan disini sebagaimana sejatinya sebuah ‘lagu lama’ bahwa rakyat, masyarakatlah yang lagi dan lagi yang akan sengsara? Tak ada di pikiran mereka (pengusaha dan penguasa) berapa pohon/vegetasi yang hilang, berapa juta liter (atau berapalah ukurannya) yang kehilangan tempat resapannya? Berapa nyawa yang terancam nantinya bahwasanya tak dipungkiri perbukitan Mollo adalah rajanya mata air bagi sebagian besar daerah di pulau Timor? Akan seperti apa wajah pulau yang sudah terkenal kering ini akan tambah kerontang lagi? Orang-orang sudah berteriak awas ‘global warming’ dan kita masih sepenuhnya belum sadar bahwa ke depan pulau yang kerontang ini yang paling besar mendapatkan ‘tumbal’nya? Lagi dan lagi manusia sudah terlalu egois.

Maka yang perlu dijaga kini adalah kelangsungan kehidupan ini, cerahnya anak dan cucu kita semua. Sifat dan Sikap kearifan lokal yang mengglobal. Saya pun kian bangga dengan warisan budaya nenek moyang masyarakat Mollo. Suatu hal yang begitu mulianya yang sudah dirintis sejak ribuan tahun lalu, bahkan sebelum mereka mengenal yang namanya MONOTEISME, MILITERISME DAN MODERNISME. Yang kuno tidak selalu jelek. Dalam masyarakat Mollo yang merupakan bagian dari suku besar, Dawan, mengenal filosofi ‘uim bubu’ (dari ‘ume = rumah). Rumah dengan tonggak utama amnesat, nij dan tefi.

Amnesat atau dasar, fondasi, diibaratkan dengan oekanaf (air) yang disangga oleh fatukanaf (fatu = batu, sama dengan watu dalam bahasa Jawa dalam cerita Ayu) dan haukanaf (hau = kayu).

Nij adalah tiang, diibaratkan sebagai afu (tanah, abu) tempat bercocok-tanam, beternak, dan membangun rumah.

Tefi berarti atap, diibaratkan dengan jerih payah (pena nok ane. Pena = jagung, nok = dengan, serta, ane = ). Yang secara keseluruhan berproses dengan memanfaatkan oekanaf, fatukanaf, haukanaf nok afu (air, batu, kayu serta tanah). (Sumber: Jurnal Perempuan, edisi 57).


Filosofis yang khas dari daerah dengan latar masyarakat pertanian sebagaimana sama terjadi pada masyarakat lain di luar Mollo.

Ada juga lambang-lambang yang dimitoskan, erat kaitannya dengan konsep pertanian, simbol-simbol yang kerap ditemui di rumah adat, lumbung, dsb. Betapa orang-orang di zaman dulu sudah begitu akrabnya, hormatnya, arifnya, bijaksananya, berbagi kehidupan dengan makhluk-makhluk lainnya. Suatu kombinasi dan ketertautan yang indah. Keramahan sebagai bagian dari kisah penciptaan. Keselarasan hidup sebagaimana yang dikehendaki sang pencipita.


(Tulisan ini dibuat ketika teringat berita salah satu partisipan milis ‘akademia NTT’ soal rencana penambangan marmer di pesisir selatan kabupaten Ende (Nangapenda). Saya kemudian membayangkan bagaimana rasanya masyarakat sekitar merelakan rasa kearifannya yang menipis terkikis habis, saya yakin itu ).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...