Barangkali ini masih di masa 'bulan madu' para alumni dengan almamaternya SMAK Syuradikara di Ende. Bulan september selalu jadi spesial. Bulan lahirlah sekolah menengah atas swasta pertama di NTT sekaligus bulan perayaan pelindung sekolah, St. Mikhael.
Tiga minggu terakhir saya dihubungi Jelly Lausaka (adik kelas di Syuradikara) yang menjadi salah satu koordinator acara reuni bagi alumni di Kupang. Undangan latihan koor untuk misa syukur nanti, begitu pesannya. Seperti terpanggil, bukan saja efek 'syuradikara' yang sangat melekat tapi ada banyak memori tentu saja, apalagi yang berkaitan dengan paduan suara syuradikara. Saya ikut latihan!
Menyenangkan bisa ketemu lagi dengan beberapa teman, kakak dan adik kelas. Dipimpin kak Irma Rasi, senior saya dulu, kami mulai semangat berlatih di hari Selasa, Kamis dan Sabtu. Boleh dibilang latihan kami tidak seserius yang biasa dilatukan pak Ferdy Levi hahaha. Tau to deng kak Irma Rasi, 60 % maen gila, 40 % serius! Sudah lamaa sekali tidak ngumpul seintens ini. Nostalgia masa putih abu-abu tak bisa dihindari. Alhasil disela latihan, komentar-komentar seperti: "nyanyi tu ombeng sedikit kah." Atau "Tolong e Bass dong jangan terlalu teaaar!" Hahaha kosakata ombeng, tear, hawa, gebu, dll barangkali hanyalah kosataka yang hidup di kalangan terbatas, alumni syuradikara saja. Karena itulah yang mempersatukan kami. Kata-kata itu semacam pemicu bagi kami untuk menggali sekian banyak memori yang masih tersimpan di kepala kami.
Ketika waktu misa syukur dan reuni tiba, rasanya lebih excited. Akan ada lebih banyak alumni lintas generasi yang hadir. Keseruan lebih tentu saja menjadi hal yang kami tunggu-tunggu. Semalam hadir banyak sekali alumni, orang-orang penting di provinsi ini. Pak Herman Man, pak Hyron Fernandez, pak Alo Liliweri, ibu Maria Mathildis Banda, pak Domi Mere, ibu Sabina Gero hingga adik-adik yang baru tamat tahun 2015 ini dan sementara kuliah di Kupang.
Hadir pater Didi Nai, SVD, rektor Syuradikara semasa saya SMA memimpin misa semalam. Dalam kotbahnya beliau menyampaikan satu keresahan. "Syuradikara dulu didirikan atas dasar misi kemanusiaan, bahwa dulu sulit bagi anak NTT untuk melanjutkan SMA karena harus ke Jawa dan biayanya mahal." Kala itu memang tidak semua bisa lanjut sekolah. Misionaris SVD melihat problem itu dan didirikanlah SMAK Syuradikara di Ende.Tapi sekarang, ketika SVD tidak disupport dari Roma, maka jalan keluarnya adalah menaikan uang sekolah. "Syuradikara kemudian menjadi jauh dari cita-cita dan misi awal didirikannya sekolah ini." Lanjut pater Didi, akhirnya yang bersekolah di Syuradikara hanya orang-orang mampu dari kalangan menengah ke atas. Ini yang patut kita rumah. Kita harus kembali ke misi awal dulu. Bagaimana caranya? Ikatan alumni yang dibuat ini hendaknya memberikan solusi, bagaimana supaya 'semua orang bisa bersekolah di Syuradikara." Bagaimana supaya uang sekolah tidak naik dan naik terus.
Saya sepakat dengan pater Didi. Saya punya pengalaman 3 tahun bekerja di sekolah misi suster SSpS. Dan yang saya lihat dari sekolah-sekolah swasta milik misionaris di NTT punya masalah yang sama. Ketika tidak dibantu dari luar maka satu-satunya solusi yang diambila adalah menaikkan uang sekolah. Akhirnya yang bersekolah di sekolah misi hanyalah anak orang mampu/kaya. Memang harus ada inovasi untuk menghidupi sekolah tapi tidak dengan membebankan semata kepada siswa.
Reuni malam tadi menjadi spesial bagi saya karena bisa bertemu langsung dengan penulis yang karyanya sudah saya baca sejak di Syuradikara. Beliau senior saya di Syuradikara dan merupakan salah satu sastrawan terbaik NTT: ka'e Maria Mathildis Banda. Kami mengobrol banyak dan senang saya bisa memberikan buku cerpen saya Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi kepada beliau. Satu kalimat yang beliau utarakan kepada saya, "Bagi saya menulis itu sudah bagian dari keseharian. Setiap hari saya menulis. Jika tidak menulis, kepala saya sakit!"
Malam kian seru ketika acara bebas dan semua turun melantai. Dalam pesan di akhir acara, pak Hyron Fernandes berpesan bahwa dalam waktu dekat akan ada banyak kegiatan Ikatan Alumni Syuradikara di Kupang. Sementara pak Herman menyampaikan ide lainnya, bahwa paduan suara alumni Syuradikara sudah bisa tampil keliling dari paroki ke paroki di Kupang. Satu usaha kecil untuk menyebarkan semangat syuradikara kepada semua orang.
Memang betul, hanya tiga tahun saja berada di sekolah ini, tapi kesan yang ditimbulkan tidak akan lekang oleh waktu. Rasanya semua memori manis tentang Syuradikara selalu tersimpan baik di memori dan perasaan kita. Sampai kapanpun.
Selamat ulang tahun Syuradikara ke-62, #BanggaJadiSayuradikara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...