Pantai Purukambera |
Sumba. Berkali-kali mendengar cerita orang tentang Sumba tanah Marapu. Berkali-kali disuguhi berbagai gambar indah tentang Sumba tapi seumur hidup belum pernah ke Sumba. Baru seminggu yang lalu akhirnya bisa kesampaian juga mimpi menginjak tanah Sumba. Beberapa bulan lalu kak Olin Monteiro dari Peace Women Across the Globe mengontak saya dan menyampaikan kabar bahwa PWAG hendak bikin sebuah mini festival di Sumba kerjasama dengan Humba Ailulu, sebuah komunitas anak muda di Waingapu.
Tentu saja saya antusias. Sumba adalah alasan penting; ini adalah kali pertama injak tanah Sumba dan di sana ada banyak teman-teman saya para penulis dan pegiat komunitas seni budaya. Barangkali di Sumba juga ada jodoh saya. Kelak. Hahaha. Tanggal 10 Agustus 2015, jam 07.15 mendaratlah saya di bandara Umbu Mehang Kunda (dulu bernama bandara Mauhau). Sudah janjian sama teman saya Yustin Eto aka Tatin. Ini pertemuan perdana saya dengan Tatin meski sudah kenal di medsos hampir dua tahun terakhir. Dalam perjalanan ke rumahnya di Kilometer 4, saya diajak Tatin keliling kota Waingapu. Kotanya ramai hampir mirip Maumere. Kami sempatkan menjemput adik bungsu Tatin, namanya Adepio (dari Padre Pio), lalu ke pasar dan memasak untuk makan siang bersama di rumah Tatin.
Pada momen itu saya memikirkan beberapa hal (kebiasaaaan yang tak penting hahaha). Pertama, saya ke Sumba dan ketemu banyak teman yang selama ini hanya akrab di media sosial, dan kalau ditarik ulur lingkarannya ya itu-itu saja. Saya kenal A dari B yang adalah temannya C dan D yang juga teman kelas saya kala SMA, misalnya seperti itu. Kedua, saya ketemu keluarga baru yang sekalipun baru kenal tapi akrabnya seperti sudah kenal bertahun lamanya. Ketiga, Waingapu itu kota yang dinamis dan menyediakan banyak sumberdaya yang oke punya bagi anak muda untuk berkumul dan berkreasi. Kalau dari kacamata saya nampaknya seperti itu. Potensi pariwisatanya besar. Tinggal kesadaran generasi mudanya juga pemerintah untuk mengelola itu dengan kekuatan sendiri tidak melulu bergantung pada investor luar. (Suatu sore di pantai Maujawa, kami bertukar pikiran soal pantai-pantai di Sumba yang sudah banyak dibeli orang luar Sumba. Kita prihatin. Tanah kita akan dikuasai pemodal asing. Asing tidak berarti bule lho ya). Tapi sekali lagi saya optimis dengan kesadaran anak muda Sumba yang aktif bergiat di komunitas, salah satunya komunitas seni budaya. Rasa cinta dan kepedulian pada kampung halaman akan terus terjaga. Keempat, keindahan alam bikin saya jatuh cinta.
Oke, harus saya akui Sumba itu keren, indah, cantik, eksotik, semuanyaaa. Paduan apik laskap dan budaya asli. Padang sabana mahaluas, langit biru, udara bersih, laut biru pasir putih, kampung-kampung tradisional, kegemaran berkuda, keindahan kain tenun, banyak hal menarik yang tak akan habis dibahas tentang Sumba. Siapa yang rela bahwa semua itu kelak akan dikuasai oleh orang asing? Dalam diskusi pengembangan komunitas seni budaya di STIE KRISWINA, masih dalam serangkaian acara Sumba Art Gathering, keluarlah kesepakatan dari mulut anak-anak muda Sumba, “Kalau bukan kita, siapa lagi?” Saya sepakat, saya ikut mendorong sesama kaum muda untuk mau peduli dengan lingkungan sekitar, kampung halamanya sendiri.
Hari kedua, 11 Agustus saya diajak Tatin ke pantai Purukambera. Fiuhhh, sepanjang jalan yang ada hanyalah hamparan sabana mahaluas. Tak terhitung berapa kali saya harus memarkir motor, membiarkan Tatin sendirian sementara saya asyik foto-foto, selfie dan mengagumi titik demi titik lanskap di depan mata. Dan pantai Purukambera, oke, saya dikasih tahu bahwa masih ada puluhan atau mungkin ratusan pantai indah di Sumba Timur, tapi kalau dibandingkan dengan pantai di Timor, ya kalah jauh lah. Saya terlalu takjub misalnya di tengah sabana ada gereja dengan arsitektur indah, atau ketika ketemu kawanan kerbau, sapi dan kuda memotong perjalanan kita di tengah jalan berliku yang sepi. Sementara pohon kom berdiri saling menjauh dan menawarkan tontonan mahal ketika senja tiba dan kuda-kuda kembali ke kandang. Atau ketika takjub mendera melihat pria tua dengan ikat kepala khas Sumba sedang menunggangi kuda dan ada perempuan tua lain yang tangannya penuh tato sedang menenun atau mewarnai benang. Jangan lupakan atap rumah tradisional yang menghujam langit biru. Film-film pendek, ya seperti itu, berputar terus menerus di kepala saya.
Baiklah, saya harus ke Sumba lagi dan menikmati surga itu lebih lama. Catatan berikutnya tentang Sumba Art Gathering akan saya tuntaskan kali berikutnya.
kru Sumba Art Gathering - Sumba Trail |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...