Sekelompok anak mengarak beberapa lembar kain
tenun motif Lio, Belu dan Ngada masuk dari arah penonton ke bibir panggung lalu
menggulungnya kembali. Di sudut kanan panggung, seorang suster berbalut kain
tenun berwarna serba merah duduk di atas kursi ukir besar dan disekelilingnya
sudah duduk bersilah 6 hingga 8 anak-anak. Suster itu mulai mendongengkan kisah
yang akan berlangsung sepanjang teater musikal dipentaskan. Sementara di sudut
lainnya seorang suster duduk dan
memainkan sasando dan beberapa alat bebunyian dari bambu yang memberikan efek
bunyi gemericik air, desau angin, dsb. Musik latar dari yang paling syahdu
hingga yang megah gegap gempita bergantian mengiringi adegan demi adegan.
Pembukaan yang sangat baik untuk sebuah pentas teater musikal yang dimainkan
anak-anak SD (dan beberapa orang guru).
Yah, saya sedang berada di Aula El Tari
Sabtu, 7 Maret 2015 jam 17.30 WITA ketika acara pentas Teater Misikal Putri
Cendana Wangi baru saja dimulai beberapa menit yang lalu dengan satu dua sambutan
dari pejabat yang hadir. Acara ini
diselenggarakan oleh SD Katolik Rosa Mistica Kupang, sekolah bentukkan susteran
RVM yang sudah menginjak usia 10 tahun. Sebelumnya sudah ada acara fashion show
juga nyanyian pembuka yang agak bikin saya illfeel. Atas dasar apa coba anak SD
sekitar kelas 3 atau 4 membuka acara dengan nyanyi lagu dangdut Sakitnya Tuh Di
Sini sambil bergoyang meliukkan tubuhnya. Agak miris memang ketika menyaksikan
anak kecil melagukan lirik seperti ini, “sakitnya tuh di sini melihat kau
selingkuh, melihat kau bercumbu...” Alamaaaak!!
Untunglah segala illfeel saya diawal tadi terbalas sudah ketika barisan anak pembawa
kain tenun masuk dengan sangat meyakinkan.
Narator mulai bercerita tentang latar kisah,
tokoh-tokoh yang ada di dalam kisah tersebut sambil beberapa pemeran penduduk
lokal hilir mudik dengan hasil kebun mereka; pisang, ubi, labu, sayuran, sorgum
dan jagung. Tubuh mereka berbalut kain adat dari beberapa kabupaten di NTT.
Menarik. Lalu susul menyusul penduduk lain sedang menari Gawi dan Jai hingga
tarian Foti dari Rote yang rancak itu. Kereen sekali. Saya terkesan dengan
kesiapan panitia menyiapkan acara. Tak nampak kedodoran atau keteteran. Setiap
penampil sudah siap di balik panggung sehingga setelah penampil sebelumnya
selesai, ketika musik baru dimainkan maka penampil berikutnya langsung masuk
dengan percaya diri. Begitu seterusnya nyaris tanpa jeda yang bisa memancing
rasa bosan penonton. Untuk memperkenalkan setiap karakter, sembari narator
berkisah, para pemeran langsung memainkannya dengan tarian, dengan ekspresi
yang pas dan tentunya musik pengiring yang keren. Secara bergantian Raja,
Permaisuri, putri, pengawal permaisuri (pasukan pemanah) dan para pengawal Raja
(pasukan yang jago silat) menampilkan karakter mereka dengan gerak dan lagu.
Teater Musikal Putri Cendana Wangi berkisah
tentang putri yang kelahirannya tak disukai sang ayah. Raja selalu ingin punya
anak laki-laki sebagai penerus takhta. Sebelum pergi berburu, ia meninggalkan
pesan kepada istrinya yang sedang hamil tua. Katanya, sang istri harus segera
membunuh bayi jika berkelamin perempuan. Ketika raja sedang pergi jauh,
permaisuri pun melahirkan. Sayang sekali anaknya perempuan. Timbul niat untuk
menyelamatkan sang putri dengan menitipkannya kepada seorang perempuan dari
kampung seberang. Ia bisa saja mengubur seekor anjing dan bilang pada suaminya
kelak bahwa itu adalah makam putri mereka. Rencana berlangsung mulus. Ketika
raja pulang, permaisuri langsung menunjukkan makam putri mereka. Kebohongan
terpelihara lama.
Di kampung seberang, bertumbuhlah sang putri
menjadi gadis cantik dan perkasa. Ia sangat jago memanah. Suatu ketika ada yang
melapor ke istana karena seekor kambingnya baru saja dipanah oleh seorang
perempuan pemanah yang hebat. Sebagai seorang pemanah ulung sang raja merasa
kaget barangkali sedikit tersaingi sebab selama ini ia merasa paling jago dalam
memanah di seluruh negeri. Ia memerintahkan agar perempuan pemanah itu datang
ke istana. Ia tentu saja tak mau kalah apalagi jika berhadapan dengan anak muda,
perempuan pula. Gengsi dong. Ia lantas menawarkan sebuah perlombaan untuk
mengadu siapa yang paling jago memanah. Tentu saja akhirnya ia kalah dari
perempuan muda yang tak diketahui ternyata anaknya sendiri. Ia punya rencana
jahat untuk menyingkirkan perempuan muda ini. Ketika mengajak perempuan ini
pergi berburu ke hutan, ia menculi perempuan ini dan mengikatnya di pohon
cendana di tengah hutan. Ia berharap para raja hutan akan memangsa perempuan
itu. Ia tentu saja mulai mengarang cerita bahwa sang perempuan pemanah sudah
mati dimangsa binatang buas.
Ternyata sang putri selamat. Ya barangkali
benar, ia adalah putri cendana wangi yang diselamatkan pohon cendana. Ia
ditemukan perempuan tua yang mengasuhnya dari kecil beserta para pengawalnya
dalam keadaan sehat. Akhir cerita ia melakukan perlawanan sengit dengan ayahnya
sendiri. Sang ayah kalah dan mengakui ketangguhan sang putri. Mahkota kerjaan
pun berpindah ke atas kepala sang putri. Begitulah kisahnya.
Ada beberapa catatan, selain yang sudah saya
kemukakan di atas. Pertama, saya mengapresiasi usaha SDK Rosa Mistika untuk
menggarap teater musikal ini secara serius. Apalagi pementasan yang melibatkan
seluruh, sekali lagi seluruh siswa di sekolah tersebut. Pastinya bukan
pekerjaan yang mudah. Kota Kupang mengalami pembangunan fisik yang cukup pesat,
namun bagaimana dengan mental warganya? Jalan kebudayaan seperti pentas seni
seperti ini memang masih kurang dan perlu mendapat panggung yang lebih dan
lebih banyak lagi.
Kedua, saya agak terganggu dengan pemilihan
lagu pembuka Sakitnya Tuh Di Sini yang dinyanyikan oleh salah satu siswi dengan
genitnya. (Apalagi harus dinyanyikan ulang saat acara lelang lagu). Ya ampuun,
apakah tak ada lagu anak atau kalaupun lagu orang orang dewasa tapi yang lebih
universal? Hehehe, meski kata teman saya, “tapi kan bikin heboh tuh di acara
pembukaan.” Heboh yang instan sih iya, tapi saya kira masih banyak pilihan.
Ketiga, salut sama om-om berbaju hitam yang
berperan sebagai floor director,
kelihatan lari sana sini untuk mengatur masuk keluarnya anak-anak ke panggung.
Tiap acara sambung menyambung nyaris tanpa ada jeda yang bisa memancing rasa
bosan. Okelaah.
Keempat, mengawinkan unsur tradisional dengan
unsur pop yang lebih modern juga keren. Misalnya musik latar untuk tiap adegan
yang terjaga betul emosinya. Pilihan musik orkestra ala film-film kolosal
Hollywood juga mendukung suasana panggung. Dan lebih keren karena untuk mengiringi
beberapa adegan dengan live music
piano dan sasando, juga menyanyi secara live. Penggunaan kain-kain tradisional
dan tarian daerah dari berbagai etnis di NTT bikin imajinasi saya sebagai
penonton makin kaya. Ternyata bisa juga ya mengawinkan teater dengan musik pop,
etnik, orkestra, dengan tarian dan baju-baju adat, dengan sastra dan dongeng.
Ini pementasan yang baik yang sudah dilakukan anak-anak SD Rosa Mistica di
Kupang. Sekolah lain kapan menyusul?
Salam
Christian
Senda, penulis, penikmat film, sastra dan kuliner. Tinggal di Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...