Rabu, 11 Maret 2015

Teater SD Rosa Mistica: Bertemu Putri Pemanah Hebat Dari Timor



Sekelompok anak mengarak beberapa lembar kain tenun motif Lio, Belu dan Ngada masuk dari arah penonton ke bibir panggung lalu menggulungnya kembali. Di sudut kanan panggung, seorang suster berbalut kain tenun berwarna serba merah duduk di atas kursi ukir besar dan disekelilingnya sudah duduk bersilah 6 hingga 8 anak-anak. Suster itu mulai mendongengkan kisah yang akan berlangsung sepanjang teater musikal dipentaskan. Sementara di sudut lainnya seorang suster  duduk dan memainkan sasando dan beberapa alat bebunyian dari bambu yang memberikan efek bunyi gemericik air, desau angin, dsb. Musik latar dari yang paling syahdu hingga yang megah gegap gempita bergantian mengiringi adegan demi adegan. Pembukaan yang sangat baik untuk sebuah pentas teater musikal yang dimainkan anak-anak SD (dan beberapa orang guru). 
Yah, saya sedang berada di Aula El Tari Sabtu, 7 Maret 2015 jam 17.30 WITA ketika acara pentas Teater Misikal Putri Cendana Wangi baru saja dimulai beberapa menit yang lalu dengan satu dua sambutan dari pejabat yang hadir.  Acara ini diselenggarakan oleh SD Katolik Rosa Mistica Kupang, sekolah bentukkan susteran RVM yang sudah menginjak usia 10 tahun. Sebelumnya sudah ada acara fashion show juga nyanyian pembuka yang agak bikin saya illfeel. Atas dasar apa coba anak SD sekitar kelas 3 atau 4 membuka acara dengan nyanyi lagu dangdut Sakitnya Tuh Di Sini sambil bergoyang meliukkan tubuhnya. Agak miris memang ketika menyaksikan anak kecil melagukan lirik seperti ini, “sakitnya tuh di sini melihat kau selingkuh, melihat kau bercumbu...” Alamaaaak!!
Untunglah segala illfeel saya diawal tadi terbalas sudah ketika barisan anak pembawa kain tenun masuk dengan sangat meyakinkan.
Narator mulai bercerita tentang latar kisah, tokoh-tokoh yang ada di dalam kisah tersebut sambil beberapa pemeran penduduk lokal hilir mudik dengan hasil kebun mereka; pisang, ubi, labu, sayuran, sorgum dan jagung. Tubuh mereka berbalut kain adat dari beberapa kabupaten di NTT. Menarik. Lalu susul menyusul penduduk lain sedang menari Gawi dan Jai hingga tarian Foti dari Rote yang rancak itu. Kereen sekali. Saya terkesan dengan kesiapan panitia menyiapkan acara. Tak nampak kedodoran atau keteteran. Setiap penampil sudah siap di balik panggung sehingga setelah penampil sebelumnya selesai, ketika musik baru dimainkan maka penampil berikutnya langsung masuk dengan percaya diri. Begitu seterusnya nyaris tanpa jeda yang bisa memancing rasa bosan penonton. Untuk memperkenalkan setiap karakter, sembari narator berkisah, para pemeran langsung memainkannya dengan tarian, dengan ekspresi yang pas dan tentunya musik pengiring yang keren. Secara bergantian Raja, Permaisuri, putri, pengawal permaisuri (pasukan pemanah) dan para pengawal Raja (pasukan yang jago silat) menampilkan karakter mereka dengan gerak dan lagu.
Teater Musikal Putri Cendana Wangi berkisah tentang putri yang kelahirannya tak disukai sang ayah. Raja selalu ingin punya anak laki-laki sebagai penerus takhta. Sebelum pergi berburu, ia meninggalkan pesan kepada istrinya yang sedang hamil tua. Katanya, sang istri harus segera membunuh bayi jika berkelamin perempuan. Ketika raja sedang pergi jauh, permaisuri pun melahirkan. Sayang sekali anaknya perempuan. Timbul niat untuk menyelamatkan sang putri dengan menitipkannya kepada seorang perempuan dari kampung seberang. Ia bisa saja mengubur seekor anjing dan bilang pada suaminya kelak bahwa itu adalah makam putri mereka. Rencana berlangsung mulus. Ketika raja pulang, permaisuri langsung menunjukkan makam putri mereka. Kebohongan terpelihara lama.
Di kampung seberang, bertumbuhlah sang putri menjadi gadis cantik dan perkasa. Ia sangat jago memanah. Suatu ketika ada yang melapor ke istana karena seekor kambingnya baru saja dipanah oleh seorang perempuan pemanah yang hebat. Sebagai seorang pemanah ulung sang raja merasa kaget barangkali sedikit tersaingi sebab selama ini ia merasa paling jago dalam memanah di seluruh negeri. Ia memerintahkan agar perempuan pemanah itu datang ke istana. Ia tentu saja tak mau kalah apalagi jika berhadapan dengan anak muda, perempuan pula. Gengsi dong. Ia lantas menawarkan sebuah perlombaan untuk mengadu siapa yang paling jago memanah. Tentu saja akhirnya ia kalah dari perempuan muda yang tak diketahui ternyata anaknya sendiri. Ia punya rencana jahat untuk menyingkirkan perempuan muda ini. Ketika mengajak perempuan ini pergi berburu ke hutan, ia menculi perempuan ini dan mengikatnya di pohon cendana di tengah hutan. Ia berharap para raja hutan akan memangsa perempuan itu. Ia tentu saja mulai mengarang cerita bahwa sang perempuan pemanah sudah mati dimangsa binatang buas.
Ternyata sang putri selamat. Ya barangkali benar, ia adalah putri cendana wangi yang diselamatkan pohon cendana. Ia ditemukan perempuan tua yang mengasuhnya dari kecil beserta para pengawalnya dalam keadaan sehat. Akhir cerita ia melakukan perlawanan sengit dengan ayahnya sendiri. Sang ayah kalah dan mengakui ketangguhan sang putri. Mahkota kerjaan pun berpindah ke atas kepala sang putri. Begitulah kisahnya.
Ada beberapa catatan, selain yang sudah saya kemukakan di atas. Pertama, saya mengapresiasi usaha SDK Rosa Mistika untuk menggarap teater musikal ini secara serius. Apalagi pementasan yang melibatkan seluruh, sekali lagi seluruh siswa di sekolah tersebut. Pastinya bukan pekerjaan yang mudah. Kota Kupang mengalami pembangunan fisik yang cukup pesat, namun bagaimana dengan mental warganya? Jalan kebudayaan seperti pentas seni seperti ini memang masih kurang dan perlu mendapat panggung yang lebih dan lebih banyak lagi.
Kedua, saya agak terganggu dengan pemilihan lagu pembuka Sakitnya Tuh Di Sini yang dinyanyikan oleh salah satu siswi dengan genitnya. (Apalagi harus dinyanyikan ulang saat acara lelang lagu). Ya ampuun, apakah tak ada lagu anak atau kalaupun lagu orang orang dewasa tapi yang lebih universal? Hehehe, meski kata teman saya, “tapi kan bikin heboh tuh di acara pembukaan.” Heboh yang instan sih iya, tapi saya kira masih banyak pilihan.
Ketiga, salut sama om-om berbaju hitam yang berperan sebagai floor director, kelihatan lari sana sini untuk mengatur masuk keluarnya anak-anak ke panggung. Tiap acara sambung menyambung nyaris tanpa ada jeda yang bisa memancing rasa bosan. Okelaah.
Keempat, mengawinkan unsur tradisional dengan unsur pop yang lebih modern juga keren. Misalnya musik latar untuk tiap adegan yang terjaga betul emosinya. Pilihan musik orkestra ala film-film kolosal Hollywood juga mendukung suasana panggung. Dan lebih keren karena untuk mengiringi beberapa adegan dengan live music piano dan sasando, juga menyanyi secara live. Penggunaan kain-kain tradisional dan tarian daerah dari berbagai etnis di NTT bikin imajinasi saya sebagai penonton makin kaya. Ternyata bisa juga ya mengawinkan teater dengan musik pop, etnik, orkestra, dengan tarian dan baju-baju adat, dengan sastra dan dongeng. Ini pementasan yang baik yang sudah dilakukan anak-anak SD Rosa Mistica di Kupang. Sekolah lain kapan menyusul?

Salam
Christian Senda, penulis, penikmat film, sastra dan kuliner. Tinggal di Kupang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...