Sabtu, 08 November 2014

Perjalanan


 
Di atas ferry penyebrangan dari Kupang menuju Larantuka, masa lalu menjadi penting bagi saya. Laut Sawu begitu jinak malam ini. Di dek atas saya tiduran di bawah kolong kursi plastik oranye yang berderet serupa ruang tunggu kantor pos. Di samping ada lelaki yang amat saya kagumi. Polisi hebat di masanya. Kepala keluarga yang tangguh.
“Setelah lulus tes polisi pada Maret 1963, saya merantau dan baru kembali ke kampung 14 tahun kemudian.” Ia selalu berbicara dengan santun dan tenang. Saya menyimak dan mencoba mengingat. Ketika tengah malam ia sudah benar-benar lelap, giliran saya menulis ulang semua kisahnya di buku harian saya. Kisah yang sedang anda baca ini. 

***

Di banyak kesempatan saya selalu memuji sosok Bapatua, ayah kandung saya. Ia pribadi paling setia dan bijaksana yang pernah saya kenal. Bapatua... kami terbiasa menyebutnya demikian. Itu terjadi ketika tahun 1995 ia punya cucu pertama. Sang cuculah yang memanggilnya demikian. Ia lahir tanggal 18 September 1940 dengan nama baptis Ignasius di sebuah desa kecil bernama Seroara di perbukitan dekat Paga, kota kecil pesisir di perbatasan Ende dan Sikka. Umur 10 tahun ia baru masuk sekolah rakyat di Paga. Tiga tahun di sekolah rakyat, ia berniat menyusul kakak lelakinya yang sudah masuk sekolah guru. Niatnya untuk melanjutkan studi ke Sekolah Guru Bawah di Boawae gagal karena terkendala biaya. Untunglah di saat yang sama seorang misionaris di Paga baru saja mendirikan sebuah SMP bernama Al Vares.
            Bapatua lahir dari keluarga guru agama nan sederhana di Seroara. Ayahnya dikenal di berbagai kampung karena berhasil membaptis banyak orang dan mendidik anak juga remaja untuk menerima komuni pertama. Ia bahkan dipercaya punya kesaktian karena beberapa benda ajaib yang dimilikinya. Ketika guncangan gempa bumi maha dahsyat mengguncang Flores pada tahun 1992, ia selamat dari reruntuhan rumah tembok, ditemukan meringkuk persisi di sudut kamar dengan sebuah patung perempuan cantik di tanganya. Tak ada luka lecet setitikpun!
Bapatua punya dua kakak laki-laki dan empat adik perempuan. Dulu aturan keluarga, yang boleh bersekolah adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan hanya bisa membantu di kebun sambil menunggu ada lelaki yang akan mengantar belis.
Setelah tamat SMP, Bapatua diajak teman sebangkunya Lamud Landjar untuk bekerja di Maumere. Lamud itu keturunan Arab pertama yang menetap di pesisir Paga. Di Maumere, Lamud bekerja di studio foto yang dikelola keluarganya. Ia pula yang merekomendasikan Bapatua untuk bekerja di sebuah koperasi milik pamannya, Mohamad Saleh, kepala kampung Beru yang seorang Masyumi. Di Maumere ia bekerja selama satu setengah tahun dengan gaji Rp. 5 dan sekantong beras dan beberapa kali pindah tempat tinggal mulai dari dari rumah saudara di kampung Kabor hingga numpang tidur di rumah petak yang disewa sahabatnya persis di samping pabrik sabun cuci dekat pelabuhan. Maumere pada tahun 60an awal adalah kota pelabuhan ramai di Flores. Banyak kapal mampir membawa beras, pakaian dan banyak kebutuhan warga dari Jawa dan sebaliknya akan pulang membawa kopra, kemiri dan hasil bumi lainnya.
Bapatua adalah pekerja yang jujur. Oleh sang majikan ia dipercaya untuk membantu cabang koperasi di Geliting, sebuah kampung yang ramai di timur kota Maumere. Kata Bapatua, di Geliting ia tinggal di rumah bapak besarnya yang sehari-hari berjualan sirih pinang di pasar. Semua penghuni rumah sudah harus keluar rumah mencari kerja paling lambat jam 7 pagi dan baru boleh pulang malam harinya. Bagi yang sudah punya penghasilan, layak mendapat makan malam di rumah, sebaliknya yang pekerjaanya masih simpang siur, jangan harap banyak. Aturan itu berlaku bagi semua anak kandung maupun anak saudara yang menumpang di rumah itu. Bapatua tentu saja beruntung sebab gaji Rp. 5 dan sekantong beras menjadi jaminannya untuk mendapat makan malam di rumah. Ia melirik saya dan tertawa.
Dua tahun kemudian Bapatua mendapat kabar dari bapak besarnya jika ada pendaftaran bagi calon polisi. Dua puluh pemuda terbaik akan dikirim ke sekolah polisi negeri di Kupang. Mereka hanya memeriksa kesehatan kami dan menyuruh kami olahraga, kenangnya. Dua belas orang terpilih, termasuk dirinya.
“Saya hanya membawa beberapa potong pakaian yang ditaruh dalam sebuah kopor yang terbuat dari kaleng. Itu sangat mirip dengan kaleng kerupuk, ha-ha-ha-ha...”
Kapal Reni membawa ia dan sebelas temannya menyusuri pantai di timur Flores, mampir sebentar di Alor lalu menuju Kupang.

***
Apa yang paling menarik dari kisah masa silam seorang manusia? Saya selalu menempatkan tiga tonggak kehidupan; kelahiran, perkawinan dan kematian sebagai catatan penting dalam buku harian saya.
Setelah lulus sekolah polisi negara, Bapatua ditugaskan di wilayah Timor Tengah Selatan hingga menikah dengan perempuan asal Mollo, yang kelak memberinya 8 anak termasuk saya si bungsu. Bapatua datang dari keluarga Katolik taat dan sebaliknya, Mamatua dari keluarga Protestan yang juga tak kalah taatnya. Ada semacam janji nikah yang unik dan terus mereka pelihara hingga usia pernikahan ke-45 tahun. Tak ada jalan berseberangan di rumah kami. Dari dua sudut yang berbeda, ada keadilan, kesetiaan dan seabrek nilai luhur yang putih. Dari sudut yang berbeda itu, segala nilai bergerak dengan seimbang. Dari sudut yang berbeda itu, titik yang dituju toh sama.
Lelaki yang kupuja ini pernah berujar,
Ia bahkan menjadi sangat Timor ketimbang isteri dan anak-anaknya. Dua puluh enam tahun bertugas mengelilingi hampir semua kecamatan di Timor Tengah Selatan, ia pensiun di usia yang masih muda, 49 tahun, dengan pangkat pembantu letnan dua. Kala itu usia saya baru 3 tahun. Ia yang lahir dari keluarga petani kemudian memilih aktifitas bertani dan memelihara ternak hingga kini. 


**

Kami sudah berada di atas kuburan keluarga besar Bapatua di Seroara. Lilin dibakar dan ditempatkan di atas batu nisan bersama dengan bergelas-gelas kopi panas dan berpiring-piring kibi, filu, kue kembang goyang, termasuk beberapa jenis kukis kering yang kami bawa dari Timor. Sedikit ritual pati ka kami lakukan. Pati ka adala memberi makan untuk arwah orang meninggal. Makanan cukup diletakkan di atas kuburan dengan lilin dan doa sebanyak mungkin. Biasanya adik-adik perempuan Bapatua yang selama ini menjaga kampung akan melengkapinya dengan serentetan tuturan dalam bahasa adat. Mereka juga akan menyelinginya dengan nyanyian yang memilukan. Bukan sedih yang ingin dirayakan. Ucapan syukur atas segala keajaiban hidup saja yang ingin mereka gali dari memori. Setelah ritual itu berakhir, biarkanlah anak-anak bahagia dengan tugas mereka; menghabiskan semua makanan dan minuman di atas kuburan.
“Ari-ariku di tanam di kampung ini. Jika ada yang terpecah-pecah dalam relasi keluarga, ari-ari itu memanggilku pulang.” Kulihat Bapatua mengangkat mukanya. Kurasakan dadanya sesak.
“Jika akhirnya tugasku selesai, semoga ada yang bisa melanjutkan misiku.”
Aku merasa kalimatnya itu membuatku bisu.
 “Kau lihat itu?” Ia mengarahkan tangan kanannya ke belakang rumah tua milik ayahnya. Aku melihat sosok yang entah mengapa tak membuatku takut sama sekali. Seekor ular piton besar, melilit di tiang-tiang lumbung.
“Ada saatnya kau akan mengetahui segala sesuatu tentangnya...”
Buku harian ini saya tutup sementara. Catatan tentangnya mungkin akan sangat panjang. Sepanjang umurnya. Ia pernah bilang, dekat dengan keluarga memperpanjang usianya. Termasuk jalan di depanku.


Mollo Utara, 2014

Catatan: Kibi makanan tradisional suku Lio, terbuat dari beras yang direndam, lalu disangrai dan ditumbuh hingga pipih. Filu adalah kue sejenis cucur, namun lebih padat dan keras. Filu dan kibi akan lengkap jika dinikmati dengan kopi Flores panas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...