Di
atas ferry penyebrangan dari Kupang menuju Larantuka, masa lalu menjadi penting
bagi saya. Laut Sawu begitu jinak malam ini. Di dek atas saya tiduran di bawah
kolong kursi plastik oranye yang berderet serupa ruang tunggu kantor pos. Di
samping ada lelaki yang amat saya kagumi. Polisi hebat di masanya. Kepala
keluarga yang tangguh.
“Setelah
lulus tes polisi pada Maret 1963, saya merantau dan baru kembali ke kampung 14
tahun kemudian.” Ia selalu berbicara dengan santun dan tenang. Saya menyimak
dan mencoba mengingat. Ketika tengah malam ia sudah benar-benar lelap, giliran
saya menulis ulang semua kisahnya di buku harian saya. Kisah yang sedang anda
baca ini.
***
Di
banyak kesempatan saya selalu memuji sosok Bapatua, ayah kandung saya. Ia
pribadi paling setia dan bijaksana yang pernah saya kenal. Bapatua... kami
terbiasa menyebutnya demikian. Itu terjadi ketika tahun 1995 ia punya cucu
pertama. Sang cuculah yang memanggilnya demikian. Ia lahir tanggal 18 September
1940 dengan nama baptis Ignasius di sebuah desa kecil bernama Seroara di
perbukitan dekat Paga, kota kecil pesisir di perbatasan Ende dan Sikka. Umur 10
tahun ia baru masuk sekolah rakyat di Paga. Tiga tahun di sekolah rakyat, ia
berniat menyusul kakak lelakinya yang sudah masuk sekolah guru. Niatnya untuk melanjutkan
studi ke Sekolah Guru Bawah di Boawae gagal karena terkendala biaya. Untunglah
di saat yang sama seorang misionaris di Paga baru saja mendirikan sebuah SMP
bernama Al Vares.
Bapatua lahir dari keluarga guru
agama nan sederhana di Seroara. Ayahnya dikenal di berbagai kampung karena
berhasil membaptis banyak orang dan mendidik anak juga remaja untuk menerima
komuni pertama. Ia bahkan dipercaya punya kesaktian karena beberapa benda ajaib
yang dimilikinya. Ketika guncangan gempa bumi maha dahsyat mengguncang Flores
pada tahun 1992, ia selamat dari reruntuhan rumah tembok, ditemukan meringkuk
persisi di sudut kamar dengan sebuah patung perempuan cantik di tanganya. Tak
ada luka lecet setitikpun!
Bapatua
punya dua kakak laki-laki dan empat adik perempuan. Dulu aturan keluarga, yang
boleh bersekolah adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan hanya bisa
membantu di kebun sambil menunggu ada lelaki yang akan mengantar belis.
Setelah
tamat SMP, Bapatua diajak teman sebangkunya Lamud Landjar untuk bekerja di
Maumere. Lamud itu keturunan Arab pertama yang menetap di pesisir Paga. Di
Maumere, Lamud bekerja di studio foto yang dikelola keluarganya. Ia pula yang merekomendasikan
Bapatua untuk bekerja di sebuah koperasi milik pamannya, Mohamad Saleh, kepala
kampung Beru yang seorang Masyumi. Di Maumere ia bekerja selama satu setengah
tahun dengan gaji Rp. 5 dan sekantong beras dan beberapa kali pindah tempat
tinggal mulai dari dari rumah saudara di kampung Kabor hingga numpang tidur di
rumah petak yang disewa sahabatnya persis di samping pabrik sabun cuci dekat
pelabuhan. Maumere pada tahun 60an awal adalah kota pelabuhan ramai di Flores.
Banyak kapal mampir membawa beras, pakaian dan banyak kebutuhan warga dari Jawa
dan sebaliknya akan pulang membawa kopra, kemiri dan hasil bumi lainnya.
Bapatua
adalah pekerja yang jujur. Oleh sang majikan ia dipercaya untuk membantu cabang
koperasi di Geliting, sebuah kampung yang ramai di timur kota Maumere. Kata
Bapatua, di Geliting ia tinggal di rumah bapak besarnya yang sehari-hari
berjualan sirih pinang di pasar. Semua penghuni rumah sudah harus keluar rumah mencari
kerja paling lambat jam 7 pagi dan baru boleh pulang malam harinya. Bagi yang
sudah punya penghasilan, layak mendapat makan malam di rumah, sebaliknya yang
pekerjaanya masih simpang siur, jangan harap banyak. Aturan itu berlaku bagi
semua anak kandung maupun anak saudara yang menumpang di rumah itu. Bapatua
tentu saja beruntung sebab gaji Rp. 5 dan sekantong beras menjadi jaminannya
untuk mendapat makan malam di rumah. Ia melirik saya dan tertawa.
Dua
tahun kemudian Bapatua mendapat kabar dari bapak besarnya jika ada pendaftaran
bagi calon polisi. Dua puluh pemuda terbaik akan dikirim ke sekolah polisi
negeri di Kupang. Mereka hanya memeriksa kesehatan kami dan menyuruh kami
olahraga, kenangnya. Dua belas orang terpilih, termasuk dirinya.
“Saya
hanya membawa beberapa potong pakaian yang ditaruh dalam sebuah kopor yang
terbuat dari kaleng. Itu sangat mirip dengan kaleng kerupuk, ha-ha-ha-ha...”
Kapal
Reni membawa ia dan sebelas temannya menyusuri pantai di timur Flores, mampir
sebentar di Alor lalu menuju Kupang.
***
Apa
yang paling menarik dari kisah masa silam seorang manusia? Saya selalu
menempatkan tiga tonggak kehidupan; kelahiran, perkawinan dan kematian sebagai
catatan penting dalam buku harian saya.
Setelah
lulus sekolah polisi negara, Bapatua ditugaskan di wilayah Timor Tengah Selatan
hingga menikah dengan perempuan asal Mollo, yang kelak memberinya 8 anak
termasuk saya si bungsu. Bapatua datang dari keluarga Katolik taat dan
sebaliknya, Mamatua dari keluarga Protestan yang juga tak kalah taatnya. Ada
semacam janji nikah yang unik dan terus mereka pelihara hingga usia pernikahan
ke-45 tahun. Tak ada jalan berseberangan di rumah kami. Dari dua sudut yang
berbeda, ada keadilan, kesetiaan dan seabrek nilai luhur yang putih. Dari sudut
yang berbeda itu, segala nilai bergerak dengan seimbang. Dari sudut yang
berbeda itu, titik yang dituju toh sama.
Lelaki
yang kupuja ini pernah berujar,
Ia
bahkan menjadi sangat Timor ketimbang isteri dan anak-anaknya. Dua puluh enam
tahun bertugas mengelilingi hampir semua kecamatan di Timor Tengah Selatan, ia
pensiun di usia yang masih muda, 49 tahun, dengan pangkat pembantu letnan dua.
Kala itu usia saya baru 3 tahun. Ia yang lahir dari keluarga petani kemudian
memilih aktifitas bertani dan memelihara ternak hingga kini.
**
Kami
sudah berada di atas kuburan keluarga besar Bapatua di Seroara. Lilin dibakar
dan ditempatkan di atas batu nisan bersama dengan bergelas-gelas kopi panas dan
berpiring-piring kibi, filu, kue kembang goyang, termasuk beberapa jenis
kukis kering yang kami bawa dari Timor. Sedikit ritual pati ka kami lakukan. Pati ka
adala memberi makan untuk arwah orang meninggal. Makanan cukup diletakkan di
atas kuburan dengan lilin dan doa sebanyak mungkin. Biasanya adik-adik
perempuan Bapatua yang selama ini menjaga kampung akan melengkapinya dengan
serentetan tuturan dalam bahasa adat. Mereka juga akan menyelinginya dengan
nyanyian yang memilukan. Bukan sedih yang ingin dirayakan. Ucapan syukur atas
segala keajaiban hidup saja yang ingin mereka gali dari memori. Setelah ritual
itu berakhir, biarkanlah anak-anak bahagia dengan tugas mereka; menghabiskan
semua makanan dan minuman di atas kuburan.
“Ari-ariku
di tanam di kampung ini. Jika ada yang terpecah-pecah dalam relasi keluarga,
ari-ari itu memanggilku pulang.” Kulihat Bapatua mengangkat mukanya. Kurasakan
dadanya sesak.
“Jika
akhirnya tugasku selesai, semoga ada yang bisa melanjutkan misiku.”
Aku
merasa kalimatnya itu membuatku bisu.
“Kau lihat itu?” Ia mengarahkan tangan
kanannya ke belakang rumah tua milik ayahnya. Aku melihat sosok yang entah
mengapa tak membuatku takut sama sekali. Seekor ular piton besar, melilit di
tiang-tiang lumbung.
“Ada
saatnya kau akan mengetahui segala sesuatu tentangnya...”
Buku
harian ini saya tutup sementara. Catatan tentangnya mungkin akan sangat
panjang. Sepanjang umurnya. Ia pernah bilang, dekat dengan keluarga
memperpanjang usianya. Termasuk jalan di depanku.
Mollo Utara, 2014
Catatan: Kibi makanan
tradisional suku Lio, terbuat dari beras yang direndam, lalu disangrai dan
ditumbuh hingga pipih. Filu adalah kue sejenis cucur, namun lebih padat dan
keras. Filu dan kibi akan lengkap jika dinikmati dengan kopi Flores panas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...