Rabu, 06 Agustus 2014

Suanggi


 
Hari sudah larut malam. Kota ini sudah seluruhnya tenggelam dalam selimut kabut, nyaris menjadi kota bisu. Tak terdengar lagi deru kendaraan lalu-lalang di jalanan. Dering ponsel tiba-tiba menghentikan perjalananku menyusuri padang kata-kata yang diciptakan Albert Camus dalam The Outsider.
“Dek, mohon doanya demi istirahat yang kekal dan damai bersama Bapa di surga untuk Pak Samuel yang baru saja meninggal sejam yang lalu. Rencananya akan langsung dibawa ke kampung almarhum di Eban malam ini juga.
Aku langsung membalas SMS dengan pikiran yang berseliweran tak tentu.
“Oh, Tuhaaaan. Saya sangat sedih. Saya doakan beliau. Beliau itu guru pendidikan agama Katolik saya saat SMP dulu. Terima kasih ya, Ka’e.”
Sudah hampir pagi. Kuperhatikan lagi isi SMS, harusnya sudah masuk lima jam yang lalu. Dasaaar, umpatku kepada sinyal telepon seluler yang mati angin ini. Jika sejak awal tahu, mungkin aku bisa menyusul ke rumah duka sebelum jenazah dibawa pergi.
***
Seminggu kemudian.
ilustrasi: Arystha Pello dan Rara Watupelit
Kami sedang berada di sebuah ruang makan bercat putih, dengan suasana yang sangat hangat di hari Minggu pagi di bulan Januari. Aku selalu mencintai suasana Minggu pagi di kampungku.  Semua orang seperti bergerak begitu saja dalam rentang pagi terdamai: sinar matahari Januari yang sedikit lembab dan derap langkah orang-orang dengan baju terbaik menuju ke Gereja. Di pinggir-pinggir jalan, aneka mawar dan dahlia terbiasa memamerkan pakaian terindah mereka bagi puluhan pasangan mata yang kebetulan lewat. Tak ada makian atau umpatan. Pantang ada sesal di  hari Minggu. “Sebab hari Minggu itu waktunya bernyanyi sukaria di Gereja,” teringat pesan kakek dulu.
Harusnya selalu begitu, Kek. Tapi nyatanya tidak. Sungguh. Seperti saat ini.
Tuan rumah mempersilakan kami untuk sarapan bersama. Daging anjing yang dimasak dengan banyak rempah-rempah menggugah seleraku. RW nama makanan itu. Awalnya, pikiranku hanya terfokus pada kelezatan makanan itu, tak sedikitpun tersambung dengan topik pembicaraan beberapa orang dari antara kami.
Sudah saatnya, pesan kakek dulu itu diubah. Diputarbalikan mulut para pemakan daging anjing ini, (pelan-pelan, aku juga terseret ke pusarannya sebab aku ikut memakannya). Seperti anjing, kami mulai menggonggong.
“Beta pernah lihat waktu sore, dia pung mata sama ke kucing. Katong bakatumu di jalan pas mau pi mata air, kira-kira seratus meter dari beta pung rumah.” Si Bapak Guru Agama yang sedang pilek (sebab hidungnya merah tomat memelerkan cairan bening sejak awal pertemuan kami) membuka pembicaraan. Kulihat piringnya penuh daging RW. Orang yang sedang pilek biasanya rakus makannya.
“Aih, memang dasar e, suanggi! Lu mati su!” Perempuan gempal di ujung meja mulai bereaksi. Semenit yang lalu ia baru saja mendaratkan pantatnya pada kursi, lantas membuat sebuah tanda salib kecil. Ia berdoa.
“Ih, betul sudah, Pak. Beta ju heran dengan dong pung isi kepala itu apa e?”
Lelaki muda yang kepalanya sedikit botak ikut menyumbang suara. Kulihat RW di piringnya juga banyak. Dia Sang Pengkotbah.
Ia melanjutkan, “Tadi beta su siap memang, kalo dia muncul di Gereja langsung beta skak dari atas mimbar. Biar mau telinga panas ko apa, terserah! Keterlaluan sekali... manusia biadab!”
Aku sedikit tersentak, namun secepat mungkin berusaha untuk menutup air mukaku yang berubah drastis.
Topik suanggi di Minggu pagi. Ah, please, bukan topik yang tepat di Minggu pagi ini, bapak-bapak, ibu-ibu...
“Betul. Kalau sudah malam, katanya dia mulai keluar. Katanya dia bisa berubah jadi kucing, kadang anjing. Mau pi bikin susah orang. Orang macam itu tu sonde suka dengan kebahagiaan orang lain, he ko!” Perempuan Gempal lagi-lagi berargumen.
Katanya. Katanya. Kata siapa? Rupanya selain menjalani ritual ora et labora, penghuni rumah ini pun menyelinginya dengan gosip.
“Kakak, dia sudah punya rencana untuk buat semua istri di kompleks ini jadi janda,” kata Pak Guru Agama yang sedang pilek tadi. Hidungnya memerah. Kubayangkan ia Pinokio. Pinokio yang hidungnya panjang jika berkata dusta.
“Ia, beta ju dengar begitu,” sambung Sang Pengkotbah, “beta bisa untuk lawan dia. Ada akar satu, sakti. Kirim saja. Darat, laut, udara, semua bisa. Kalo kena, lu matiii!
Ho’o na... saya juga tahu dia punya cara. Saya bisa minta dia punya obat di saya punya Om di kampung...,” ucap Perempuan Gempal di ujung meja tak mau kalah.
Aku masih saja melongo. Merekam. Meski sensasi RW di lidah jauh lebih menendang ketimbang topik pembicaraan mereka sejak tadi. Tapi diam-diam, kurekam saja. Kelak berguna, tidak pun terserah.
“Minum kopi, Dek?” Perempuan yang lain tiba-tiba menyentak sadarku. Ia yang ternyata sejak tadi ada di sekitar ruangan, namun mencoba menjaga jarak. Mungkin karena topiknya yang kurang menarik baginya. Ia menyalakan TV dan terus menikmati makanannya ditemani acara musik pagi. Dia, Si Penjaga Jarak.
“Oh, yah Ka’e. Terima kasih. Nanti beta bikin sendiri.”
RW-ku sudah habis. Kupikir tak cocok dengan kopi. Air putih lebih menetralkan, sedangkan kopi akan menambah perih di ulu hati, kukira begitu. Aku menghindari supaya perutku tak menggonggong karena mulas. Jika dia memilih menjadi sang penjaga jarak dan lainnya adalah penggonggong, maka aku adalah penengah. Setengah menjaga jarak, setengah menggonggong, jikapun kuyakini gonggonganku benar. Meski mingggu pagi tak melulu menawarkan kedamaian, sukacita. Aku salah selama ini.
“Dia yang suanggi Pak Samuel,” Perempuan Gempal kembali mengeluarkan kalimat mautnya. Ia melirik padaku, memberi keyakinan lebih dengan sorot matanya. Bukan. Ia mendamba aminku.
“Oh, ya?” Aku melongo. Untuk menghargai, meski tak selaras dengan isi hati. Pelan-pelan, di dalam hati, aku yang kini mulai menggonggong balik atas sikap dan pernyataan-pernyataan mereka tadi. Tapi aku anjing yang cukup santun. Cuma berani menggonggong di dalam hati.
Takut.
“Tapi kenapa ya, orang kayak begitu matinya lama e?” Kali ini aku mulai melempar umpan. Meski dengan perasaan entah, apakah mereka akan meladeniku sesungguh-sungguhnya mereka mengatai janda itu seorang suanggi. Wanita kurus yang setiap senja tubuhnya akan berganti rupa jadi kucing. Atau gagak? Ia yang katanya akan mencari mangsa, ke manapun. Tapi ia akan lebih beringas jika mencium aroma sukacita dari kisi-kisi jendela. Katanya, ia membenci kebahagiaan orang.
Ia ingin semua istri di kompleks ini menjadi janda semua, menjadi sepertinya.
“Orang begitu lama mati, karena Tuhan masih kasih kesempatan untuk dia supaya bertobat, Dek,” tiba-tiba Sang Pejaga Jarak nimbrung. Namun meninggalkan kesan yang berbeda di relung hati. Seakan katanya tadi makin menebalkan temboknya sendiri dengan tembok kami. Mereka. Aku tidak.
Diam-diam aku terus menggonggong, namun dalam hati saja. Anjing yang santun. Takut.
Perempuan Gempal melirik ke arah suara tadi, meninggalkan sebuah kesan yang aneh.
“Hih, orang macam begitu sudah tidak ada guna lagi... Tidak perlu kasih kesempatan!”
Sebab mereka membutuhkan dukungan, bukan sanggahan. Kedekatan, bukan jarak.
“Tapi betul juga. Beta terlalu ingat Pak Samuel. Cuma orang bejat seperti mereka yang harusnya dapat balasan. Keterlaluan.” Ia seperti tidak berkotbah. Aku membenci kotbahnya saban Minggu. Tapi juga tak berarti aku menyukai perkataannya sekarang. Sama-sama kubenci.
“Hih, dia itu sudah kurus kerempeng. Tutup kepala terus karena kepalanya sudah botak. Mungkin gara-gara makan daging manusia terus! Hih!” Perempuan Gempal masih saja berkicau disela kunyahan RW-nya. Ia benar-benar sudah menjadi anjing yang super galak.
Ia melanjutkan, “Kau tahu, giliran doa rosario di rumahnya, sonde ada satupun tamu yang mau minum dia pung teh.”
Beta ada tunggu kapan dia pi Gereja. Pas dia ada baru beta akan singgung dia dari atas mimbar!” ancam Sang Pengkotbah.
“Mamatua deng Bapatua (yang sudah almarhum), paling kikir. Kalau ada teman guru yang bikin pesta, jangan harap dong mau datang. Pas Pak Samuel mati saja, eh, dong kunci pintu terus pergi. Padahal Pak Samuel dong pung tetangga yang jarak rumah mungkin sonde sampai 20 meter!” tambah Pak Guru Agama yang sedang flu. Sungguh, hidungnya jadi makin mirip Pinokio, umpatku sekenanya.
Akhirnya kuputuskan saja untuk duluan pamit. Sebab untuk ikut menggongong pun aku malu-malu. Menyela pun sebatas di dalam hati.
Takut. Penakut.
Sang Penjaga Jarak mengantarku melewati lorong rumah ini. Di sisi kanan kirinya adalah deretan kamar-kamar kosong, dan di salah satu kamar di ujungnya, ada yang unik menempel di pintunya... Ah, lupakan saja.
***
“Dek, selamat malam. Maaf menganggu. Tadi ngobrolin soal suanggi ya? Satu pesan singkat masuk. Dari Sang Penjaga Jarak.
“Eh, iyah, Ka’e. Selamat malam. Iya tadi pagi cuma jadi pendengar setia saja. Topiknya memang benar, suanggi,” balasku.
“Dek, saya sudah bertugas di sini 6 tahun lamanya. Sejak awal hingga tadi pagi, ya topik pembicaraan di ruang makan, di dapur, ya itu melulu. Kamu jangan dekat-dekat sama si A, dia itu suanggi. Si B sama suanggi ju...*sebagian teks hilang*”
“Kirim ulang, Ka’e. Pliiss... teksnya terpotong. He-he-he...”
“Oh yah, sudah tu, saya su kirim lagi. Maksudnya ya itu, di sini semua orang bawaanya curiga melulu. Tapi itu jeleknya, sudah curiga, omong-omong orang punya kejelekan orang pula. Gosip. Tapi lupa sama tugasnya, kalau memang ada orang seperti itu, yah kan tugas kita to untuk mengembalikan ke jalan yang benar, ‘kan?”
“Lagian, si ibu janda itu, juga anggota kelompok doa Legio Maria. Nah, Ka’e Hil (si Perempuan Gempal) kan ketua kelompok doa itu. Harusnya ‘kan bisa mendekati, membimbing si ibu janda itu. Sekalian juga membimbing perspektif orang untuk tidak melulu berprasangka buruk. Bukannya malah ikut memperkeruh, ‘kan Dek?”
“Iya juga, sih.”
“Saya malas. Bosan. Mengubah sifat mereka itu susah. Giliran saya omong, malah saya yang jadi sorotan, dilihat sebelah mata. Disingkirkan.”
“Dek, di kampung saya, ada juga yang begitu. Tinggal bagaimana kita yang waras dan katanya beriman ini yang harusnya mendoakan mereka, mengajak mereka untuk tidak menutup diri. Pelan-pelan bikin mereka berubah. Belum tentu juga to, kalo mereka itu suanggi! Apa buktinya? Kan, cuma selalu—katanya, katanya...”
“Iya, sih.”
Teringat kejadian pagi tadi.
Aku melamun. Bertanya, apa iya? Kok begitu caranya? Sebab anak si ibu janda itu, kakak kelasku dulu. Anaknya cerdas, kita dulu biasa bertukar majalah Bobo.
Seribu tanya mendesak-desak di sela lamunan, di emper rumah.
***
Kami sedang berada di sebuah ruang makan bercat putih, dengan suasana yang sangat hangat di hari Minggu pagi di bulan Januari. Aku selalu mencintai suasana Minggu pagi di kampungku. Semua orang seperti tergerak begitu saja dalam rentang pagi terdamai: sinar matahari Januari yang sedikit lembab dan derap langkah orang-orang dengan baju terbaik menuju ke Gereja.
Di pinggir-pinggir jalan aneka mawar dan dahlia terbiasa memamerkan pakaian terindah mereka bagi puluhan pasangan mata yang kebetulan lewat. Tak ada makian atau umpatan. Pantang ada sesal di  hari Minggu. Sebab hari Minggu itu waktunya bernyanyi suka ria di Gereja, teringat pesan kakek dulu.
Harusnya selalu begitu, Kek. Tapi nyatanya tidak. Sungguh. Seperti saat ini.
Namun, berada sepuluh menit pertama di ruang makan bercat putih ini, pelan-pelan aku merasakan auranya berubah. Hingga waktu dua jam berlalu. Rasanya masam, menggelisahkan.
Aku memutuskan untuk duluan pamit pulang.
Akhirnya.
 Sebab untuk ikut menggongong pun aku malu-malu. Menyela pun sebatas di dalam hati. Apalagi terang-terangan menyalak?
Takut. Penakut.
Sang Penjaga Jarak mengantarku melewati lorong rumah ini. Di sisi kanan kirinya adalah deretan kamar-kamar kosong, dan di salah satu kamar di ujungnya, ada yang unik. Pintunya setengah terbuka. Ruanganya rapi, terang. Kulihat sepintas saja. Dari jendelanya, bisa terlihat aneka mawar yang bermekaran. Angin sepoi melambaikan gorden brokat putih. Sekali lagi kulihat sepintas saja. Di pintunya yang berwarna coklat, ada tulisan:

“Senin, 25 Januari 2012, jam 15.00 WITA Rekoleksi dipimpin Sr. Maria Hilda, dilanjutkan misa, dipimpin Rm. Atanasius.
Trims”

Dua manusia itu. Sang Pengkotbah dan Perempuan Gempal.
Seperti mawar layu, dihentak sang angin lantas berjatuhan di tanah—sia-sia. Dengan gontai aku melangkah pulang.
Akan ada seribu tanya berdesakan di sela lamunan—nanti di emper rumah. Terus menerus mendesak, selama ingatanku belum pudar tentangnya dalam tanda tanya besar.
Suanggi. Adakah ia serupa kucing hitam bermata elang?

-Taubneno-SoE, 2011-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...