Hari sudah larut malam. Kota ini sudah
seluruhnya tenggelam
dalam selimut
kabut, nyaris
menjadi kota bisu. Tak terdengar lagi deru kendaraan lalu-lalang di jalanan. Dering ponsel tiba-tiba menghentikan perjalananku menyusuri padang kata-kata yang diciptakan Albert Camus dalam The Outsider.
“Dek, mohon doanya demi istirahat yang
kekal dan damai bersama Bapa di surga untuk Pak Samuel yang baru saja meninggal
sejam yang lalu. Rencananya akan langsung dibawa ke kampung almarhum di Eban malam ini juga.”
Aku langsung membalas SMS dengan pikiran
yang berseliweran tak tentu.
“Oh, Tuhaaaan. Saya sangat sedih. Saya
doakan beliau. Beliau itu guru pendidikan agama Katolik saya saat SMP dulu. Terima
kasih ya, Ka’e.”
Sudah hampir
pagi.
Kuperhatikan lagi isi SMS, harusnya sudah masuk lima jam yang lalu. Dasaaar,
umpatku kepada sinyal telepon seluler yang mati angin ini. Jika sejak awal
tahu, mungkin aku bisa menyusul ke rumah duka sebelum jenazah dibawa pergi.
***
Seminggu
kemudian.
ilustrasi: Arystha Pello dan Rara Watupelit |
Kami sedang berada di sebuah ruang makan
bercat putih, dengan suasana yang sangat hangat di hari Minggu pagi di bulan
Januari. Aku selalu mencintai suasana Minggu pagi di kampungku. Semua orang seperti bergerak begitu saja dalam
rentang pagi terdamai: sinar matahari Januari yang sedikit lembab dan derap
langkah orang-orang dengan baju terbaik menuju ke Gereja. Di pinggir-pinggir
jalan, aneka mawar dan dahlia terbiasa
memamerkan pakaian terindah mereka bagi puluhan pasangan mata yang kebetulan lewat. Tak ada makian atau
umpatan.
Pantang ada sesal di hari Minggu. “Sebab hari Minggu itu waktunya
bernyanyi sukaria di Gereja,” teringat pesan kakek dulu.
Harusnya
selalu begitu, Kek. Tapi
nyatanya tidak. Sungguh. Seperti saat ini.
Tuan rumah mempersilakan kami untuk
sarapan bersama. Daging anjing yang dimasak dengan banyak rempah-rempah
menggugah seleraku. RW nama makanan itu. Awalnya, pikiranku hanya terfokus pada
kelezatan makanan itu, tak sedikitpun tersambung dengan topik pembicaraan
beberapa orang dari antara kami.
Sudah
saatnya, pesan kakek dulu itu diubah.
Diputarbalikan mulut para pemakan daging anjing ini, (pelan-pelan, aku juga terseret
ke pusarannya sebab aku ikut memakannya).
Seperti anjing, kami mulai menggonggong.
“Beta pernah lihat waktu sore, dia pung
mata sama ke kucing. Katong
bakatumu
di jalan pas mau pi mata air, kira-kira seratus meter dari beta pung rumah.” Si Bapak Guru
Agama yang sedang pilek (sebab hidungnya merah tomat memelerkan cairan bening
sejak awal pertemuan kami) membuka pembicaraan. Kulihat piringnya penuh daging
RW. Orang yang sedang pilek biasanya rakus
makannya.
“Aih, memang dasar e, suanggi! Lu mati
su!” Perempuan gempal di ujung meja mulai bereaksi. Semenit yang lalu ia baru
saja mendaratkan pantatnya pada kursi,
lantas membuat sebuah tanda salib kecil. Ia berdoa.
“Ih, betul sudah, Pak. Beta ju heran
dengan dong pung isi kepala itu apa e?”
Lelaki muda yang kepalanya sedikit botak
ikut menyumbang suara. Kulihat RW di piringnya juga banyak. Dia Sang
Pengkotbah.
Ia melanjutkan, “Tadi beta su siap memang, kalo dia muncul di
Gereja langsung beta
skak dari atas mimbar.
Biar mau telinga panas ko apa, terserah! Keterlaluan sekali... manusia biadab!”
Aku sedikit tersentak, namun secepat
mungkin berusaha untuk menutup air mukaku yang berubah drastis.
Topik suanggi
di Minggu pagi. Ah, please, bukan topik yang tepat di Minggu pagi ini, bapak-bapak, ibu-ibu...
“Betul. Kalau sudah malam, katanya dia
mulai keluar. Katanya dia bisa berubah jadi kucing, kadang anjing. Mau pi bikin
susah orang. Orang macam itu tu sonde suka dengan kebahagiaan orang lain, he ko!”
Perempuan Gempal lagi-lagi berargumen.
Katanya.
Katanya. Kata siapa? Rupanya selain menjalani ritual ora
et labora, penghuni rumah ini pun
menyelinginya dengan gosip.
“Kakak, dia sudah punya rencana untuk buat
semua istri di kompleks ini jadi janda,” kata Pak Guru Agama yang sedang pilek
tadi. Hidungnya memerah. Kubayangkan ia Pinokio. Pinokio yang hidungnya panjang
jika berkata dusta.
“Ia, beta ju dengar begitu,” sambung Sang
Pengkotbah, “beta
bisa
untuk lawan dia. Ada akar satu, sakti. Kirim saja. Darat, laut, udara, semua
bisa. Kalo kena, lu matiii!”
“Ho’o
na... saya juga tahu dia punya cara. Saya bisa minta dia punya obat di saya
punya Om di kampung...,” ucap Perempuan Gempal di ujung meja tak mau kalah.
Aku
masih saja melongo. Merekam. Meski sensasi RW di lidah jauh lebih menendang
ketimbang topik pembicaraan mereka sejak tadi. Tapi diam-diam, kurekam saja.
Kelak berguna, tidak pun terserah.
“Minum kopi, Dek?” Perempuan yang lain
tiba-tiba menyentak sadarku. Ia yang ternyata sejak tadi ada di sekitar
ruangan, namun mencoba menjaga jarak. Mungkin karena topiknya yang kurang
menarik baginya. Ia menyalakan TV dan terus menikmati makanannya ditemani acara
musik pagi. Dia, Si Penjaga Jarak.
“Oh, yah Ka’e. Terima kasih. Nanti beta bikin sendiri.”
RW-ku sudah habis. Kupikir tak cocok
dengan kopi. Air putih lebih menetralkan, sedangkan kopi akan menambah perih di ulu hati, kukira
begitu. Aku menghindari supaya perutku tak menggonggong karena mulas. Jika dia
memilih menjadi sang penjaga jarak dan lainnya adalah penggonggong, maka aku
adalah penengah. Setengah menjaga jarak, setengah menggonggong, jikapun kuyakini gonggonganku benar. Meski mingggu
pagi tak melulu menawarkan kedamaian, sukacita. Aku salah selama ini.
“Dia yang suanggi Pak Samuel,” Perempuan
Gempal kembali mengeluarkan kalimat mautnya. Ia melirik padaku, memberi
keyakinan lebih dengan sorot matanya. Bukan. Ia mendamba aminku.
“Oh, ya?” Aku melongo. Untuk menghargai,
meski tak selaras dengan isi hati. Pelan-pelan, di dalam hati, aku yang kini
mulai menggonggong balik atas sikap dan pernyataan-pernyataan mereka tadi. Tapi
aku anjing yang cukup santun. Cuma berani menggonggong di dalam hati.
Takut.
“Tapi kenapa ya, orang kayak begitu
matinya lama e?” Kali ini aku mulai melempar umpan. Meski dengan perasaan
entah, apakah mereka akan meladeniku sesungguh-sungguhnya mereka mengatai janda
itu seorang suanggi. Wanita kurus
yang setiap senja tubuhnya akan berganti rupa jadi kucing. Atau gagak? Ia yang katanya akan mencari mangsa, ke
manapun. Tapi ia akan lebih beringas jika mencium aroma sukacita dari kisi-kisi
jendela. Katanya, ia membenci kebahagiaan orang.
Ia
ingin semua istri di kompleks ini menjadi janda semua, menjadi sepertinya.
“Orang begitu lama mati, karena Tuhan
masih kasih kesempatan untuk dia supaya bertobat, Dek,” tiba-tiba Sang Pejaga
Jarak nimbrung. Namun meninggalkan kesan yang berbeda di relung hati. Seakan
katanya tadi makin menebalkan temboknya sendiri dengan tembok kami. Mereka. Aku tidak.
Diam-diam aku terus menggonggong, namun
dalam hati saja. Anjing yang santun. Takut.
Perempuan Gempal melirik ke arah suara
tadi, meninggalkan sebuah kesan yang aneh.
“Hih, orang macam begitu sudah tidak ada
guna lagi... Tidak perlu kasih kesempatan!”
Sebab
mereka membutuhkan dukungan, bukan sanggahan. Kedekatan, bukan jarak.
“Tapi betul juga. Beta terlalu ingat Pak Samuel. Cuma
orang bejat seperti mereka yang harusnya dapat balasan. Keterlaluan.” Ia
seperti tidak berkotbah. Aku membenci kotbahnya saban Minggu. Tapi juga tak berarti aku
menyukai perkataannya sekarang. Sama-sama kubenci.
“Hih, dia itu sudah kurus kerempeng.
Tutup kepala terus karena kepalanya sudah botak. Mungkin gara-gara makan daging
manusia terus! Hih!” Perempuan Gempal masih saja berkicau disela kunyahan
RW-nya. Ia benar-benar sudah menjadi
anjing yang super galak.
Ia melanjutkan, “Kau tahu, giliran doa rosario
di rumahnya, sonde ada satupun tamu yang mau minum dia pung teh.”
“Beta
ada tunggu kapan dia pi Gereja. Pas dia ada baru beta akan singgung dia dari atas
mimbar!” ancam Sang Pengkotbah.
“Mamatua deng Bapatua (yang sudah almarhum),
paling kikir. Kalau ada teman guru yang bikin pesta, jangan harap dong mau
datang. Pas Pak Samuel mati saja, eh, dong kunci pintu terus pergi. Padahal Pak
Samuel dong pung tetangga yang jarak rumah mungkin sonde sampai 20 meter!”
tambah Pak Guru Agama yang sedang flu. Sungguh,
hidungnya jadi makin mirip Pinokio, umpatku sekenanya.
Akhirnya kuputuskan saja untuk duluan
pamit. Sebab untuk ikut menggongong pun aku malu-malu. Menyela pun sebatas di
dalam hati.
Takut.
Penakut.
Sang Penjaga Jarak mengantarku melewati
lorong rumah ini. Di sisi kanan kirinya adalah deretan kamar-kamar kosong, dan
di salah satu kamar di ujungnya, ada yang unik menempel di pintunya... Ah, lupakan saja.
***
“Dek, selamat malam. Maaf menganggu. Tadi
ngobrolin soal suanggi ya?”
Satu pesan singkat masuk. Dari Sang Penjaga Jarak.
“Eh, iyah, Ka’e. Selamat malam. Iya tadi pagi cuma jadi pendengar setia saja.
Topiknya memang benar, suanggi,” balasku.
“Dek, saya sudah bertugas di sini 6
tahun lamanya. Sejak awal hingga tadi pagi, ya topik pembicaraan di ruang
makan, di dapur, ya itu melulu. Kamu jangan dekat-dekat sama si A, dia itu
suanggi. Si B sama suanggi ju...*sebagian teks hilang*”
“Kirim ulang, Ka’e. Pliiss... teksnya terpotong. He-he-he...”
“Oh yah, sudah tu, saya su kirim lagi.
Maksudnya ya itu, di sini
semua orang bawaanya curiga melulu. Tapi itu jeleknya, sudah curiga, omong-omong
orang punya kejelekan orang pula. Gosip. Tapi lupa sama tugasnya, kalau memang
ada orang seperti itu, yah kan tugas kita to untuk mengembalikan ke jalan yang
benar, ‘kan?”
“Lagian, si ibu janda itu, juga anggota
kelompok doa Legio Maria. Nah, Ka’e Hil
(si Perempuan Gempal) kan ketua kelompok doa
itu. Harusnya ‘kan bisa mendekati, membimbing si ibu janda itu. Sekalian juga
membimbing perspektif orang untuk tidak melulu berprasangka buruk. Bukannya
malah ikut memperkeruh, ‘kan Dek?”
“Iya juga, sih.”
“Saya malas. Bosan. Mengubah sifat
mereka itu susah. Giliran saya omong, malah saya yang jadi sorotan, dilihat
sebelah mata. Disingkirkan.”
“Dek, di kampung saya, ada juga yang
begitu. Tinggal bagaimana kita yang waras dan katanya beriman ini yang harusnya
mendoakan mereka, mengajak mereka untuk tidak menutup diri. Pelan-pelan bikin
mereka berubah. Belum tentu juga to, kalo mereka itu suanggi! Apa buktinya?
Kan, cuma selalu—katanya, katanya...”
“Iya, sih.”
Teringat kejadian pagi tadi.
Aku melamun. Bertanya, apa iya? Kok
begitu caranya? Sebab anak si ibu janda itu, kakak kelasku dulu. Anaknya
cerdas, kita dulu biasa bertukar majalah Bobo.
Seribu
tanya mendesak-desak di sela lamunan, di emper rumah.
***
Kami sedang berada di sebuah ruang makan
bercat putih, dengan suasana yang sangat hangat di hari Minggu pagi di bulan
Januari. Aku selalu mencintai suasana Minggu pagi di kampungku. Semua orang
seperti tergerak begitu saja dalam rentang pagi terdamai: sinar matahari
Januari yang sedikit lembab dan derap langkah orang-orang dengan baju terbaik
menuju ke Gereja.
Di pinggir-pinggir jalan aneka mawar dan
dahlia terbiasa memamerkan
pakaian terindah mereka bagi puluhan pasangan mata yang kebetulan lewat. Tak ada makian atau
umpatan.
Pantang ada sesal di hari Minggu. Sebab hari Minggu itu waktunya
bernyanyi suka ria di Gereja, teringat pesan kakek dulu.
Harusnya
selalu begitu, Kek. Tapi
nyatanya tidak. Sungguh. Seperti saat ini.
Namun, berada sepuluh menit pertama di
ruang makan bercat putih ini, pelan-pelan aku merasakan auranya berubah. Hingga
waktu dua jam berlalu. Rasanya masam, menggelisahkan.
Aku memutuskan untuk duluan pamit pulang.
Akhirnya.
Sebab untuk ikut menggongong pun aku
malu-malu. Menyela pun sebatas di dalam hati. Apalagi terang-terangan menyalak?
Takut.
Penakut.
Sang Penjaga Jarak mengantarku melewati
lorong rumah ini. Di sisi kanan kirinya adalah deretan kamar-kamar kosong, dan
di salah satu kamar di ujungnya, ada yang unik. Pintunya setengah terbuka.
Ruanganya rapi, terang. Kulihat sepintas saja. Dari jendelanya, bisa terlihat
aneka mawar yang bermekaran. Angin sepoi melambaikan gorden brokat putih.
Sekali lagi kulihat sepintas saja. Di pintunya yang berwarna coklat, ada
tulisan:
“Senin, 25 Januari 2012, jam 15.00
WITA Rekoleksi dipimpin Sr. Maria Hilda, dilanjutkan misa, dipimpin Rm.
Atanasius.
Trims”
Dua manusia itu. Sang Pengkotbah dan Perempuan
Gempal.
Seperti mawar layu, dihentak sang angin
lantas berjatuhan di tanah—sia-sia. Dengan gontai aku melangkah pulang.
Akan ada seribu tanya berdesakan di sela
lamunan—nanti di emper rumah. Terus menerus mendesak, selama ingatanku belum
pudar tentangnya dalam tanda tanya besar.
Suanggi.
Adakah ia serupa kucing hitam bermata elang?
-Taubneno-SoE,
2011-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...