Catatan Perjalanan ke
Asean Literary Festival 2014 (Bagian 1)
Asean
Literary Festival. Event sastra internasional yang sebelumnya sonde ada di
dalam benak beta kalau nanti akan diundang ke sana. Sekitar dua bulan lalu, tiba-tiba
saya dimention mbak Okki Madasari (seorang novelis nasional) via twitter yang
meminta alamat email saya. Besoknya ketika saya cek email ternyata ada surel
dari seseorang bernama Layli yang menyebut dirinya program officer Asean
Literary Festival 2014. Dalam surelnya Layli menyampaikan undangan kepada saya
untuk menghadiri event sastra yang dilakukan untuk pertama kali dengan
Indonesia sebagai tuan rumahnya. Saya langsung teringat twit mbak Okki sehari
sebelumnya. Benar saja, mbak Okki yang saya kenali setahun lalu saat menghadiri
Makassar International Writers Festival (MIWF), yang telah mengundang saya.
Dalam ALF 2014 ini beliau (dan suaminya mas Abdul Khalik) adalah co-founder
dari Muara Foundation, yayasan penyelenggara ALF. Waktu itu saya memang sedang
ikut program IELTS intensif, ELTA 4 NTT, program kerjasama Pemprop NTT dan
Australia. Namun setelah cek dan ricek kalender, ahh saya putuskan ikuuuut!
Saya berpikir kesempatan seperti ini kadang sonde datang dua kali,kalau sekali
dihampiri ya sudah disambar saja hehehe...
teater besar TIM |
Jumat
21 Maret 2013 saya terbang ke Jakarta menggunakan Batik Air yang nyaman. Sampai
di Jakarta jam 10 pagi, langsung dijemput panitia lalu meluncur ke hotel Gren
Alia Cikini yang lokasinya dekat dengan main
vanue ALF yakni di kompleks Taman Izmail Marzuki. Sesampainya di hotel
sudah ada mas Wahyu Aji (external relationship manager) yang menyambut di lobi
hotel. Saya diantar ke kamar dan diberi tahu bahwa room mate saya nantinya
adalah bung Benny Arnas, cerpenis asal Sumatera Selatan. Wow, teman baru,
jejaring baru. Karena lapar dan naluri bolang saya muncul maka jalan kaki
menyusuri Cikini Raya sepertinya ide bagus. Tiba-tiba kak Olin Monteiro
mengirimkan teks ke saya, “ayo merapat ke cafe di samping kantor pos cikini.”
Kak Olin adalah aktivis perempuan, pegiat sastra dan film yang saya kenal di
MIWF tahun lalu. Beliau ini setahu saya sangat mendukung gerakan sastra
Indonesia Timur. Akhirnya kami ngopi salah satu cafe yang cukup nyaman ujung
Cikini Raya. Kak Olin banyak bercerita tentang antologi puisi perempuan menolak
kekerasan yang baru saja diluncurkan (termasuk di dalamnya puisi Diana Timoria,
penyair perempuan NTT, juga pengalaman beliau saat menghadiri Berlinale Film
Festival 2014 (pengalaman presentasi untuk mencari sponsor proyek film
dokumenternya). Banyak hal saya dapatkan dari kak Olin. Semangat berkaryanya
luar biasa. Kurang lebih dua jam ngopi, kami berpisah sejenak dan sepakat akan
ketemu lagi malamnya di teater kecil TIM. Saya pun mampir ke TIM, melihat-lihat
lokasi ALF. Sebagai orang yang baru pertama kali ke TIM, saya rasa tempat ini
keren. Saya ingat Taman Budaya Yogyakarta. Gedung teater, bioskop, aneka sangar
seni, art gallery, perpustakaan, planetarium, kios buku loak, cafe sampai
bergerombol manusia dengan sekian aktivitas: latihan nari, teater, skateboard
bla bla bla... komplit tua, muda dan anak-anak. Saya membayangkan Taman Budaya
Kupang yang terisolir, “dikuasai” sekelompok orang, bla bla... 180 derajat
bedanya!!! Atmosfernya memang beda. Dari jalan Cikini Raya yang macet, ke kompleks
TIM yang penuh dengan ruang diskusi dan apresiasi seni, IPTEK, dll-nya luar
biasa hidup. Entah kapan Kupang punya taman budaya yang komplit dan ramah untuk
semua kalangan. L
Waktu
asyik keliling TIM eh ketemu dengan Bernard Batubara dan Jamil Massa. Lagi-lagi
kedua manusia keren ini saya kenal di MIWF. Benz Bara, siapa yang sonde tahu?
Penulis produktif yang fansnya melimpah. Jamil itu penyair Gorontalo yang kini
jadi PNS dan sementara menetap di Ibukota. Setelah mengobrol sejenak, kami
akhirnya masuk ke Teater Kecil TIM. Rupanya sesi perdana ALF sudah dimulai jam
15.00 bersama daeng Krisna Pabhicara, mbak Okka Barokka dan Low Kok Wai (dosen
drama dan teater di University of Brunai Darussalam). Topiknya “Beyond Poetry
Reading”. Untuk sesi ini beta pot mbak Okka dan daeng Krisna. Dua sosok yang
kalo baca puisi itu daya sihirnya gilaaa!!! Keren maksudnya... bisa simak di Youtube sini. dan di sini. :)
Dari
TIM saya balik ke hotel karena jam 7 malamnya akan ada acara dinner bersama dan
opening night. Ternyata di kamar hotel bung Benny belum tiba.
Jadi Penullis Sonde
Boleh Sombong!
Bangga
rasanya malam pembuka itu ketemu banyak penulis hebat nasional: Okka Rusmini,
Andy Fuller, Arswendo Atmowiloto, Arafat Nur, Joko Pinurbo, Khrisna Pabichara,
Martin Aleida, Manneke Budiman, Remy Sylado, Saras Dewi, Sosiawan Leak, Tommy F
Awuy, dan Damhuri Muhammad. Penulis dan pegiat sastra asing yang hadir lengkap
dari semua negara Asean kecuali Kamboja, Thailand dan Timor Leste. Dan dari
negara luar ASEAN seperti China, Korea Selatan, Nederlan, dan Australia. Juga
hadir penulis daerah yang diundang, Ernie Aladjai (Sulawesi tengah), Benny
Arnas (Sumsel),dan Aprila Wayar (Papua).
Malam
pembuka kali ini spesial karena ada kuliah umum dari Pete Lacaba (penyair,
filmmaker dan jurnalis asal Filipina) sekaligus penyerahan penghargaan khusus
untuk Wiji Thukul, aktivis dan penyair yang hilang di akhir dekade 90an, kepada
keluarga Wiji Thukul yang diwakili kedua anaknya: Fajar Merah dan Fitri Nganti
Wani. Tema ALF ini sendiri terinspirasi dari puisi Wiji Thukul: "Anthem For The Common People". Acara malam ini makin semarak dengan tarian dari Nartana Buddhaya FIB Universitas
Indonesia.
seusai opening night, kedua anak Wiji Thukul dikerubuti hadirin untuk bersalaman |
Acara
opening night di TIM berakhir pukul 10 malam dan obrolan kami berlanjut di lobi
hotel Gren Alia. Apakah kesempatan langka dan mahal untuk ngobrol sama Jokpin,
Saras Dewi, Olin Monteiro, Oka Rusmini, Tommy F Awuy dan istri, hingga dini
hari saya sia-siakan? Tidak, saya melakukan itu. Kami mengobrol banyak hal,
tentang sastra Indonesia kini (plus curhatan-curhatannya mas Jokpin dan mbak
Oka tentang susah senangnya bersastra di Indonesia hingga ketidakjelasan
Indonesian official menuju Frankfurt Book Fair nanti secara Indonesia menjadi
tamu kehormatan). Rupanya bukan saja sepakbola tanah air yang sedang disandera
politikus busuk, sastra pun demikian! Obrolan pun sampai pada kekhawatiran mbak
Oka pada tanah kelahirnya, Bali dengan proyek reklamasi pantainya.
Di
sela obrolan mbak Oka menyelipkan kalimat ini, “Jangan sombong dek, ya, kalau
sudah penulis terkenal,” begitu pesan mbak Oka Rusmini kepada saya. “Tapi juga
jangan menyerah setelah dengar cerita saya dan Jokpin. Kami ini sudah tua,
sekarang giliran kalian. Begitulah kondisi penulis Indonesia. Tapi intinya kita
tetap kompak dan saling bantu.” Lanjut penulis Tarian Bumi ini. Orangnya baik
sekali. Dari caranya memotivasi penulis muda seperti saya ini, saya jadi ingat
hal yang sama pula yang sering dilakukan Mezra Pellondou bagi saya dan
kawan-kawan di Kupang. Suatu saat di sela acara temu sastra MPU di Banten,
bunda Mezra bilang ke saya, “Dik, masing-masing penulis ada masanya. Masanya
bunda su lewat, sekarang giliran kalian. Dan bunda punya tanggung jawab
menyampaikan ini ke kalian. Jika bosong gagal sebagai penulis, itu juga jadi
kegagalan bunda dan generasi penulis sebelum kalian!”
Kami
menutup obrolan hingga jam 2 pagi. Lobi hotel sepi. Di luar sana, Jakarta
seperti biasa tak pernah mati. ALF baru saja dimulai. Mari bicara suara akar rumput dalam sastra Asia Tenggara :) Dan bagi saya pribadi, berada di event besar ini sekaligus melebarkan sayap juga jejaring sastra saya.
Christian Dicky Senda, penggagas proyek #KanukuLeon: distribusi buku-buku sastra penulis NTT
untuk taman baca dan perpus sekolah yang tersebar di NTT. Sedang menulis buku
ketiga, #ZuidMiddenTimor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...