Minggu, 06 April 2014

ALF 2014 dan Jejaring Sastra

Catatan Perjalanan ke Asean Literary Festival 2014 (Bagian 1)


Asean Literary Festival. Event sastra internasional yang sebelumnya sonde ada di dalam benak beta kalau nanti akan diundang ke sana. Sekitar dua bulan lalu, tiba-tiba saya dimention mbak Okki Madasari (seorang novelis nasional) via twitter yang meminta alamat email saya. Besoknya ketika saya cek email ternyata ada surel dari seseorang bernama Layli yang menyebut dirinya program officer Asean Literary Festival 2014. Dalam surelnya Layli menyampaikan undangan kepada saya untuk menghadiri event sastra yang dilakukan untuk pertama kali dengan Indonesia sebagai tuan rumahnya. Saya langsung teringat twit mbak Okki sehari sebelumnya. Benar saja, mbak Okki yang saya kenali setahun lalu saat menghadiri Makassar International Writers Festival (MIWF), yang telah mengundang saya. Dalam ALF 2014 ini beliau (dan suaminya mas Abdul Khalik) adalah co-founder dari Muara Foundation, yayasan penyelenggara ALF. Waktu itu saya memang sedang ikut program IELTS intensif, ELTA 4 NTT, program kerjasama Pemprop NTT dan Australia. Namun setelah cek dan ricek kalender, ahh saya putuskan ikuuuut! Saya berpikir kesempatan seperti ini kadang sonde datang dua kali,kalau sekali dihampiri ya sudah disambar saja hehehe...
teater besar TIM
Jumat 21 Maret 2013 saya terbang ke Jakarta menggunakan Batik Air yang nyaman. Sampai di Jakarta jam 10 pagi, langsung dijemput panitia lalu meluncur ke hotel Gren Alia Cikini yang lokasinya dekat dengan main vanue ALF yakni di kompleks Taman Izmail Marzuki. Sesampainya di hotel sudah ada mas Wahyu Aji (external relationship manager) yang menyambut di lobi hotel. Saya diantar ke kamar dan diberi tahu bahwa room mate saya nantinya adalah bung Benny Arnas, cerpenis asal Sumatera Selatan. Wow, teman baru, jejaring baru. Karena lapar dan naluri bolang saya muncul maka jalan kaki menyusuri Cikini Raya sepertinya ide bagus. Tiba-tiba kak Olin Monteiro mengirimkan teks ke saya, “ayo merapat ke cafe di samping kantor pos cikini.” Kak Olin adalah aktivis perempuan, pegiat sastra dan film yang saya kenal di MIWF tahun lalu. Beliau ini setahu saya sangat mendukung gerakan sastra Indonesia Timur. Akhirnya kami ngopi salah satu cafe yang cukup nyaman ujung Cikini Raya. Kak Olin banyak bercerita tentang antologi puisi perempuan menolak kekerasan yang baru saja diluncurkan (termasuk di dalamnya puisi Diana Timoria, penyair perempuan NTT, juga pengalaman beliau saat menghadiri Berlinale Film Festival 2014 (pengalaman presentasi untuk mencari sponsor proyek film dokumenternya). Banyak hal saya dapatkan dari kak Olin. Semangat berkaryanya luar biasa. Kurang lebih dua jam ngopi, kami berpisah sejenak dan sepakat akan ketemu lagi malamnya di teater kecil TIM. Saya pun mampir ke TIM, melihat-lihat lokasi ALF. Sebagai orang yang baru pertama kali ke TIM, saya rasa tempat ini keren. Saya ingat Taman Budaya Yogyakarta. Gedung teater, bioskop, aneka sangar seni, art gallery, perpustakaan, planetarium, kios buku loak, cafe sampai bergerombol manusia dengan sekian aktivitas: latihan nari, teater, skateboard bla bla bla... komplit tua, muda dan anak-anak. Saya membayangkan Taman Budaya Kupang yang terisolir, “dikuasai” sekelompok orang, bla bla... 180 derajat bedanya!!! Atmosfernya memang beda. Dari jalan Cikini Raya yang macet, ke kompleks TIM yang penuh dengan ruang diskusi dan apresiasi seni, IPTEK, dll-nya luar biasa hidup. Entah kapan Kupang punya taman budaya yang komplit dan ramah untuk semua kalangan. L
Waktu asyik keliling TIM eh ketemu dengan Bernard Batubara dan Jamil Massa. Lagi-lagi kedua manusia keren ini saya kenal di MIWF. Benz Bara, siapa yang sonde tahu? Penulis produktif yang fansnya melimpah. Jamil itu penyair Gorontalo yang kini jadi PNS dan sementara menetap di Ibukota. Setelah mengobrol sejenak, kami akhirnya masuk ke Teater Kecil TIM. Rupanya sesi perdana ALF sudah dimulai jam 15.00 bersama daeng Krisna Pabhicara, mbak Okka Barokka dan Low Kok Wai (dosen drama dan teater di University of Brunai Darussalam). Topiknya “Beyond Poetry Reading”. Untuk sesi ini beta pot mbak Okka dan daeng Krisna. Dua sosok yang kalo baca puisi itu daya sihirnya gilaaa!!! Keren maksudnya... bisa simak di Youtube sini. dan di sini. :)
Dari TIM saya balik ke hotel karena jam 7 malamnya akan ada acara dinner bersama dan opening night. Ternyata di kamar hotel bung Benny belum tiba.

Jadi Penullis Sonde Boleh Sombong!
Bangga rasanya malam pembuka itu ketemu banyak penulis hebat nasional: Okka Rusmini, Andy Fuller, Arswendo Atmowiloto, Arafat Nur, Joko Pinurbo, Khrisna Pabichara, Martin Aleida, Manneke Budiman, Remy Sylado, Saras Dewi, Sosiawan Leak, Tommy F Awuy, dan Damhuri Muhammad. Penulis dan pegiat sastra asing yang hadir lengkap dari semua negara Asean kecuali Kamboja, Thailand dan Timor Leste. Dan dari negara luar ASEAN seperti China, Korea Selatan, Nederlan, dan Australia. Juga hadir penulis daerah yang diundang, Ernie Aladjai (Sulawesi tengah), Benny Arnas (Sumsel),dan  Aprila Wayar (Papua).
Malam pembuka kali ini spesial karena ada kuliah umum dari Pete Lacaba (penyair, filmmaker dan jurnalis asal Filipina) sekaligus penyerahan penghargaan khusus untuk Wiji Thukul, aktivis dan penyair yang hilang di akhir dekade 90an, kepada keluarga Wiji Thukul yang diwakili kedua anaknya: Fajar Merah dan Fitri Nganti Wani. Tema ALF ini sendiri terinspirasi dari puisi Wiji Thukul: "Anthem For The Common People". Acara malam ini makin semarak dengan tarian dari Nartana Buddhaya FIB Universitas Indonesia. 

seusai opening night, kedua anak Wiji Thukul dikerubuti hadirin untuk bersalaman

Acara opening night di TIM berakhir pukul 10 malam dan obrolan kami berlanjut di lobi hotel Gren Alia. Apakah kesempatan langka dan mahal untuk ngobrol sama Jokpin, Saras Dewi, Olin Monteiro, Oka Rusmini, Tommy F Awuy dan istri, hingga dini hari saya sia-siakan? Tidak, saya melakukan itu. Kami mengobrol banyak hal, tentang sastra Indonesia kini (plus curhatan-curhatannya mas Jokpin dan mbak Oka tentang susah senangnya bersastra di Indonesia hingga ketidakjelasan Indonesian official menuju Frankfurt Book Fair nanti secara Indonesia menjadi tamu kehormatan). Rupanya bukan saja sepakbola tanah air yang sedang disandera politikus busuk, sastra pun demikian! Obrolan pun sampai pada kekhawatiran mbak Oka pada tanah kelahirnya, Bali dengan proyek reklamasi pantainya.
Di sela obrolan mbak Oka menyelipkan kalimat ini, “Jangan sombong dek, ya, kalau sudah penulis terkenal,” begitu pesan mbak Oka Rusmini kepada saya. “Tapi juga jangan menyerah setelah dengar cerita saya dan Jokpin. Kami ini sudah tua, sekarang giliran kalian. Begitulah kondisi penulis Indonesia. Tapi intinya kita tetap kompak dan saling bantu.” Lanjut penulis Tarian Bumi ini. Orangnya baik sekali. Dari caranya memotivasi penulis muda seperti saya ini, saya jadi ingat hal yang sama pula yang sering dilakukan Mezra Pellondou bagi saya dan kawan-kawan di Kupang. Suatu saat di sela acara temu sastra MPU di Banten, bunda Mezra bilang ke saya, “Dik, masing-masing penulis ada masanya. Masanya bunda su lewat, sekarang giliran kalian. Dan bunda punya tanggung jawab menyampaikan ini ke kalian. Jika bosong gagal sebagai penulis, itu juga jadi kegagalan bunda dan generasi penulis sebelum kalian!”
Kami menutup obrolan hingga jam 2 pagi. Lobi hotel sepi. Di luar sana, Jakarta seperti biasa tak pernah mati. ALF baru saja dimulai. Mari bicara suara akar rumput dalam sastra Asia Tenggara :) Dan bagi saya pribadi, berada di event besar ini sekaligus melebarkan sayap juga jejaring sastra saya. 


Christian Dicky Senda, penggagas proyek #KanukuLeon: distribusi buku-buku sastra penulis NTT untuk taman baca dan perpus sekolah yang tersebar di NTT. Sedang menulis buku ketiga, #ZuidMiddenTimor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...