Sabtu 25 Januari 2013 saya bersama penyair Mario F Lawi, Doddy Doohan Kudji Lede, Ragil Sukriwul, Abdul M Djou dan Januario Gonzaga hadir di STIBA CNK Kupang. Kami diundang oleh kak Lanny Koroh seorang dosen sastra Inggris CNK sekaligus pegiat sastra di Kupang untuk hadir di CNK dan berdiskusi tentang sastra di NTT kini dan ke depan. Dan bagaimana iklim kritik sastra itu bertumbuh di kalangan akademisi khusunya fakultas sastra Inggris di CNK ini.
Agak jarang memang kami diundang ke kampus. Tapi ini awal yang baik. Saya kira kami sama-sama sedang ingin membangun sastra NTT menjadi lebih baik dan terus berkembang. Tentu kebangkitan sastra di NTT yang katanya sedang puber atau seperti matahari yang baru terbit itu patut kita rayakan, tapi apakah pegiat dan sastrawannya sudah jujur dalam berkarya, konsisten dan berproses dengan baik? Mari kita lihat.
Saya senang jika semakin banyak anak muda (ya anak muda!) kemudian sudah banyak yang tahu tentang perkembangan sastra NTT terkini. Dan yang lebih penting, tidak sekedar tahu tapi juga membaca. Ini penting juga.
Obrolan kami siang itu berlangsung hingga 3 jam. Setelahnya kami diundang lagi ke SMAK Giovanni. Romo Amanche Frank Oe Ninu selaku pembina komunitas sastra (kontass) Givans meminta kami untuk bertemu dengan para personel Kontass Givans dan berdiskusi dengan mereka. Menarik ketika sastra di NTT kini sudah masuk ke sekolah. (meski tidak semua sekolah di NTT sudah melakukannya, tetapi jika ada sekolah yang secara serius dan konsisten sudah menggalakkan itu, syukurlah. Itu keren sekali. SMAK Giovanni salah satunya.).
Satu hal yang membuat saya tertarik lebih dalam adalah bahwa Romo Amanche sebagai pembina membawa koleksi buku-buku sastra dalam dan luar negeri, lokal dan nasional ke sekolah. Mereka bikin kegiatan namanya pojok sastra, yakni sebuah spot kecil di pojok sekolah yang menjadi markas Kontas Givans untuk bertemu di kala istirahat, berdiskusi dan membaca beraneka karya sastra yang tersedia. Jika perlu mereka akan bertanya langsung ke Romo Amanche sebagai pembinanya. Luar biasa!!!
Iklim seperti ini yang penting dan patut dilahirkan di sekolah. Tapi masalahnya apakah guru bahasanya paham dan gemar juga sonde??? Masalah yang umum yang sering beta temui adalah bahwa minat sastra justru ditumbuhkan oleh orang lain (entah guru atau bukan guru) dari latar belakang pendidikan non sastra/non guru bahasa.
dokter Sandra, cerpenis asal SoE di Malam Babasa (copyright: Ferry Latief) |
Tapi jujur saja saya menikmati obrolan kami siang hingga sore itu. Mereka tentu sudah dimudahkan dengan pelbagai referensi yang sudah ditawarkan Romo Amanche. Dulu ketika saya SMA, saya harus antri untuk membaca Saman-nya Ayu Utami. Dan saat itu akses untuk buku sastra sangat minim. Mereka harusnya akan menjadi lebih baik dari saya.
Dan ketika malamnya saya harus mengakhiri dengan diskusi sastra ((lagi dan lagi) di Alpi Cafe yang kebetulan sedang menyelenggarkan Babasa (babaca dan baomong sastra) kerjasama lintas komunitas sastra dan non sastra di kota Kupang yang secara reguler sebulan sekali mengadakan even Babasa ini. Khusus malam itu, Babasa meluncurkan buku cerpen Djho Izmail, Lelaki Capung dan Gadis di Telaga. Lengkap sudah hari saya. Rasa-rasa ke kentut sa ju bau sastra!
Tapi beta senang...
Semakin banyak yang peduli dengan hal ini, tentu sastra di NTT akan lebih berkualitas....
konto ju bau sastra na... heheehehe semangat terus para sastrawan NTT
BalasHapus