Sabtu, 26 Oktober 2013

Lima Tempat Persinggahan Abu-abu



Puisi Christian Dicky Senda


/1/ Ende: 

Bumi sedang berputar dan aku Januari
Rokatenda meletus dan tubuhku bermandikan abu
Suatu malam rintik menuai resah
Aku dan segerombolan anak muda setia dalam harap
Di sebuah taman kota (dengan kanuku leon besar di tengah!)
Hujan memang mampir sebentar saja
Karena ada yang memikirkan hujan
Membilang hujan dan ingin kawin dengan hujan
Malam di taman tetap penuh sorak sorai
Hingga puisi tentang cinta dan tali jemuran
Usai dibacakan, diam-diam gadis berjilbab itu menangis
Di bawah beringin yang sendu
(ia ingat, ia sedang kasmaran)
Tiada bulan, sedikit saja gemintang
Pesta pun usai dengan tawa,
 lagu selamat ulang tahun yang kepanjangan
dan sesi foto yang tak ada dalam jadwal
tak lupa, mengembalikan berpot-pot adenium pinjaman
Bumi sedang berputar dan aku Januari
Rokatenda meletus dan tubuhku bermandikan abu
Jeritan dimulai, lalu mejadi abuabu: aku ende.


Ghost City by Atilla Kurt (www.3dm3.com)


/2/ Solo: 

Selamat malam
Waktu memang sengaja diperlambat di sini
Di kota yang dengan mudah kau temukan imaji
Dan punakawan
Dan aku sendiri, bulan Mei
Ratusan anak muda dikumpulkan penguasa
Diinapkan di hotel mewah, dijejali makanan enak
Ketidakpastian atau masa bodohlah dengan dirimu
Meragu atau mampuslah gengsi
Satu dua jam didudukkan, bersama-sama memutar jarum jam
Menjadikan sedikit bermakna di wujud jendela dunia
Ah, tulis saja: kamilah topik paling tren dan terkeren saat ini
Lalu minum kopi, luapkan sisa ragu pada ampasnya
Yang mengakar di pantat cangkir
Seolah ingin bilang: jangan ngeluh pada pemerintah!
Memang kamu saja mau dibodohi pemerintah.
Acara ini memang akan usai.
Dan Solo berada di lembaran kenangan yang berbeda
Selamat malam
Waktu memang sengaja diperlambat di sini
Di kota yang dengan mudah kau temukan imaji
Dan punakawan
(kau mengulanginya tanpa ragu)
Dan aku sendiri, bulan Mei
Menari dalam nikmat yang syahdu
di pelataran pura Mangkunegaran
Jeritan masih berlanjut, lalu mejadi abuabu: aku Ende
Aku Solo
Aku abu


/3/ Makassar: 

Kutulis dan kuingat Soleman
Kakekku yang setengah jahat, setengah malaikat
Kutulis dan kuingat gugur sepe di Usapi Sobai
Kampungku yang setengah hati aku cintai,
Setengahnya berwujud lidahlidah api
Kutulis yang jahat jadi malaikat tanpa setitik cinta
Dan jadilah ia seperti lidah seperti api
Yang menerbangkan mimpi dan jatuh di sudut Fort Roterdam
                        Aku rindu bau laut
                        Asin dan anak-anak nelayan berenang
                        Tiada lagi senja yang asin, amis
                        Kakikaki mungil mengejar angin
                        Yang biasa kulihat dari puncak benteng ini
                        Seratus tahun silam
Sejak pagi orang-orang datang membawa huruf M
Bahkan ada yang menulis huruf M tersebut di dada dan jidat
Lalu aku bertanya, kenapa M bukan K?
Mereka diam. Dan aku tahu itu jawabannya.
Diam itu kusimpan, lalu beranaklah ia dalam hatiku:
Dari kota ini, pesan budaya disiarkan ke seluruh ruas-ruas pantai
Anakanak nusa yang membujur ke timur
            Kutulis dan kuingat Soleman
Kakekku yang setengah jahat, setengah malaikat
Kutulis dan kuingat gugur sepe di Usapi Sobai
Kampungku yang setengah hati aku cintai,
Setengahnya berwujud lidahlidah api, aku
Makassar aku
Aku Makassar
Jerita berlanjut, hampir jadi abuabu lagi

/4/ Noehaen:

Krisma di sini
Dua tiga kali datang
Membiarkan hati tertawan
Pada kesederhanaan yang menyala
Dari tungku-tungku
Tempat segala sesah dan doa di simpan
Lantas di baca Allah
Noehaen jadilah,
Ya Allah, jawabnya
Jawabku: Noehaen, aku
Juli aku.
Krisma di sini
Dua tiga kali datang
Empat kali cinta dan tak ingin pulang
Jadi abu





/5/ Atambua:

Lupakan tiga puluh sembilan derajatmu
Lupakan rumah dan tanah ungsianmu
Lupakan merah
Lupakan aku: hiv/aids, kdrt, perdagangan manusia, aborsi
Lupakan aku yang bersuara: “kak, di sini sudah biasa,
Kami tidur dengan pacar, besoknya putus dan tidur lagi
Dengan pacar baru. Kak, kami biasa berganti-ganti teman.
Teman sekelas, jugalah teman tidur.“
Lupakan aku yang bersuara: “kak...”
Aku melupakan ia yang tanpa malu mengungkapkan itu
Lupakan tiga puluh sembilan derajatmu
Lupakan rumah dan tanah ungsianmu
Lupakan kemerdekaan yang kita pilih
Jeritanku: aku Agustus, (tanpa kata merdeka!)
Lupakan aku yang adalah kebengisan yang harus kita tanggalkan!
Abu yang harus kita cuci

Di Ende, Solo, Makassar, Noehaen, Atambua: aku,
abu-abu yang mesti
Aku cuci sendiri malam ini juga

            Pasir Panjang, 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...