Jumat, 26 April 2013

Namanya Laura


Catatan aksi gerakan seribu SMPK St. Theresia Kupang untuk pengungsi Rokatenda


Namanya Laura. Laura Kennenbudi. Siswi kelas VII D SMPK St. Theresia Kupang. Sosok yang easy going dan super komunikatif, begitu kesan pertama saya berkenalan dengan Laura. Laura cerdas dan aktif mengikuti hampir semua kegiatan di sekolah. Dia juga pemusik yang handal. Setiap kali sekolah mendapat jadwal koor di Katedral Kristus Raja Kupang, Laura biasanya juga akan duduk di kursi pianis. 
Laura (dengan tanda lingkar) bersama kru Jurnalisme Pelajar Speqsanthers
Awal tahun 2013 lalu, karena melihat banyak potensi unggul di dalam dirinya, saya mulai sering mengajaknya mengikuti kegiatan-kegiatan yang saya prakarsai di sekolah. Salah satunya kelompok jurnalisme pelajar, Speqsanthers+. Kelompok ini saya percayakan mengelola majalah dinding dan blog juga majalah elektroniknya (meski kini akan tersendat-sendat). Tetapi selalu ada usaha baik dari mereka, termasuk Laura. 
Pada saat momen Valentine, kami bikin film pendek nan sederhana, Sang Pengelana, kami garap dengan menggunakan tablet S*msung milik Laura. Hasilnya lumayan. Selalu saya tanamkan ke mereka adalah proses kreatif itu sendiri, hasilnya mungkin saja subjektif terkait kadar baik buruknya tapi sekali lagi yang namanya proses, itu tak ternilai dan kaya makna. 

Bersama mereka, saya paling suka melempar ide dan gagasan. Lantas membiarkan mereka berpikir dan berimajinasi atas perkataan saya. Dan kalau sudah ada kata-kata yang keluar dari mulut mereka, “Ayok Pak... begini saja pak, hmm bagusnya begitu....” Ahh, rasanya senang sekali. Artinya mereka sudah turut berpikir, berimajinasi dan larut dalam proses kreatif itu. 
Laura biasanya sangat antusias dengan ide yang saya lemparkan. Ia selalu cekatan menangkap ide saya, lalu mengolahnya dengan cara Laura sendiri. Hasilnya selalu baik. Hanya saja ide kita untuk foto levitasi belum terlaksana yah, Laura. Segera. Juga ide membentuk kelompok teater sekolah. Berani malu? Maksud saya sudah pede? Mari kita mulai.

Beberapa waktu lalu, ketika aksi solidaritas untuk pengungsi Rokatenda bergulir dimana-mana, dalam dunia nyata maupun maya, Laura termasuk yang begitu peduli dan menyambut baik ide saya untuk melakukan gerakan seribu rupiah di sekolah. Malam itu secara medadak saya mention ke akun twitter Laura, Ria Ludony dan Ivanna Fulbertus, tiga sosok siswi yang saya tahu betul reputasi  dan semangat juang mereka. Saya bilang, yuk, jangan mau kalah sama yang lain. Kita bikin aksi gerakan seribu rupiah (geser) di sekolah besok. Siap? Mereka selalu siap.

Saya kirim SMS ke Laura, “tolong cetak tulisan ‘geser dari speqsanthers untuk #rokatenda’ dan ‘mana seribu rupiahmu untuk #rokatenda?”. Laura selalu cekatan dalam segala hal. yang genting sekalipun. Besok pagi-pagi, ia sudah muncul di ruangan saya dengan 4 lembar tulisan permintaan saya. 
Pagi itu kotak amal dengan segera saya bikin, lem, taaadaaaa... jadilah kotak amal yang sehari itu bergeser dari satu kelas ke kelas yang lain, dari kanting sekolah hingga ke kanting kampus Unwira tetangga SMPK St Theresia. Laura dan Tara, dibantu Stevy, Benyamin dan Hanny, hari itu menjadi murid saya yang paling luar biasa. Sejenak saya melihat ada gurat malu-malu, mungkin dalam benak mereka ada pikiran seperti ini: ‘ih kok begini sih rasanya’, tapi itu sejenak saja. Sejurus kemudian semua menjadi sangat bersemangat dan tanpa ada bebas apapun, apalagi rasa sungkan dan gengsi. Satu ujian mental nan kecil telah mereka lampaui. Saya bangga. Kesempatan ini jelas telah melatih sensivitas afeksi mereka, hati dan budi mereka. Kalian lulus.
Ketika hasil geser akan dikirim ke posko Flobamora Community di Ende, Laura datang ke ruangan saya dan bilang, “Pak, boleh sonde beta ju buat kotak amal di beta pung toko?”
Saya jawab, “Awii Lauraaaa, bisa sekali itu. Pokoknya lu buat saja. Pak percaya lu bisa tangani semua... intinya lu su awali dengan niat baik, pasti jalannya juga baik.”
“Oke paaak...” Laura berlalu dengan senyum sumringah.
Besoknya, Laura mengirim twitpic ke twitter saya, “Pak ini model kardus amalnya. Saya buat agak buru-buru jadi kurang rapi. Sudah saya taruh di toko saya.” FYI, Laura punya toko elektronik, namanya Bidcab di daerah Kuanino.
Laura sedang beraksi di kelas IX B Speqsanthers
Tak hanya itu saja, rupanya semangat anak ini luar biasa. Laura masih sempat mention saya katanya, ‘Pak, katong ju bawa ini kotak amal keluar ke jalanan Kuanino.”
 OMG! Saya apresiasi usahamu, Laura. Saya membalas mentionnya dengan senyum penuh makna.

Dua minggu berlalu, saya pun hampir lupa dengan aksinya di Bidcab. Laura memberi tahu saya, “Pak, besok kotak amalnya saya bongkar sudah e? Nanti pak tolong kirim ke Ende..”
Dan hari ini, ia datang ke ruangan saya membawa sebuah amplop berwarna putih, katanya, “Pak, ini hasil geser di toko saya. Ada Rp. 500.000,..” saya dan ibu Ana rekan guru BK cuma saling berpandangan dan tersenyum.
‘Trus lu kenapa lai su pake gaya angkat naek itu poni ke atas? Kastunjuk lu pung testa lebar ko?” ejek saya.
“Hahahaha, pak dooo... ini kan testa (baca: jidat) orang pintar hang??!!” katanya membela diri. Oh, okelah. Yang pasti saya bangga punya murid yang aktif dan komunikatif sepertimu.
“Eh pak, kapan rencana buat film untuk perpisahan dengan kakak kelas 9?”
Nah!
Ide ini memang pernah kami bahas. Adik-adik kelas ini pengen mengedit sebuah video berisi foto-foto dan mungkin sedikit dokumentasi aktivitas siswa kelas 9.
“Oke, segera, Laura. Terima kasih sudah mengingatkan.”
Ah, anak ini, membuat hidup selalu berwarna.  Ia berhasil mengumpulkan Rp.500.000, katanya, “ini untuk saudara-saudara saya di Rokatenda...” 
Namanya Laura. Baru kelas VII D.


Christian Dicky Senda. Blogger, penikmat sastra, film dan kuliner. Menulis buku puisi Cerah Hati (2011) dan segera menerbitkan buku kumpulan cerita Kanuku Leon dengan sistem crowd-funding untuk leboh dari 200 perpustakaan dan rumah baca di NTT, gratis. Twitted @dickysenda.

2 komentar:

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...