Kamis, 27 Desember 2012

Belajar Melayani Tuhan dari Umat Amarasi Timur





untuk MudaersNTT , Merry Christmas...
Belakangan ini saya mendengar banyak teman-teman saya ‘mengeluh’ tentang nuansa Natal kini yang sudah jauh berbeda dengan nuansa Natal satu atau dua dekade silam. Jelas saja berbeda , pikir saya. Mungkin juga karena pada saat sekarang teknologi semakin maju sehingga untuk mengucapkan salam damai Natal cukuplah via Twitter, BBM, SMS, dan Facebook. Atau juga karena kini kondisi masyarakat yang makin individualistis, sehingga kalaupun menghadiri misa malam Natal yah begitu-begitu saja, datang duduk, dengar, nyanyi dan pulang. Makin minim interaksi satu sama lain. Ada banyak kemudahan yang tentunya memberikan efek tersendiri bagi perilaku manusia zaman ini. Natal kini sudah terlalu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga Natal sangat erat dengan konsumsi dan konsumsi. Maka tak heran jika ketika Natal kita akan menemukan banyak sekali pernak pernik misalnya kado atau topi santa, dan tak ada hubungannya sama sekali dengan Yesus, figur utama dari perayaan Natal itu sendiri. Akh, ini menurut saya lho yaaah....

 
Jelas-jelas saya rindu akan suasana Natal seperti dekade 90-an ketika saya melewatkan masa SD di Mollo Utara. Nun jauh di ketinggian lebih dari 1000mdpl di kabupaten Timor Tengah Selatan. Saat itu paroki saya, Maria Immaculata Kapan, punya banyak stasi (sekitar belasan stasi) yang menyebar di gunung dan lembah. Dan pada saat-saat Natal atau pun Paskah, seluruh stasi akan berkumpul di pusat paroki di Kapan, lalu akan mengikuti rangkaian acara selama 3-4 hari. Nah, pada saat itulah saya merasakan kemeriahan, kedamaian dan kesederhanaan Natal terpancar. Saya masih bisa mendengar koor dengan lagu-lagu daerah (Dawan, red). Pada malam puncak, biasanya akan ada acara ramah tamah bersama yang akan diisi dengan pentas seni dari anak-anak Sekami dan OMK baik yang berasal dari Stasi maupun dari pusat Paroki. Waktu itu, makan minum, pakaian, dll boleh sederhana tapi justru lebih meriah dan membuat terkenang lama. Hingga saat ini saya bahkan masih mengingat pengalaman terlibat dalam fragmen kecil di malam Natal. Biasanya sebelum misa dimulai, ada sepasang orang dewasa yang akan berperan sebagai Maria dan Yusuf, orang tua Yesus. Peran saya kala itu adalah menjadi anak-anak gembala penjaga kandang-tempat yang sama ketika Yesus lahir. Ketika berperan sebagai gembala, tugas kami mudah. Kami hanya diminta memakai pakaian sederhana dan lusuh, dengan atribut-atribut yang mendukung bahwa kami memang anak gembala atau anak petani dan duduk di sekeliling kandang Natal sepanjang misa berlangsung. Pernah sekali saya membawa cangkul atau sabit dan seikat rerumputan ke dalam gereja. Seruuuu..... sayang fragmen seperti itu tak pernah saya jumpai lagi kini.

Bertahun lamanya saya merindukan suasana seperti itu. Dan saya temukan lagi ketika mengikuti Romo Sipri Senda, merayakan Natal bersama dengan umat stasi Noehaen di Han Ana, sebuah perkampungan di daerah Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Ada tiga wilayah yang berkumpul di Han Ana kala itu, yakni Han Ana sendiri, Noehaen dan Siuf. Dari Kupang rombongan kami 5 orang, saya, romo Sipri, kak Evi mewakili kakak-kakak dari kelompok Solidaritas dan Erik, keponakan saya dan Ina (seorang mahasiswi Stipas Kupang). 

Han Ana adalah tempat baru bagi saya. Selama di Han Ana, kami tinggal menyebar di rumah-rumah penduduk di sekitar kapela Han Ana. 

Oya, saya akan bercerita sedikit tentan kelompok Solidaritas. Kelompok ini lahir sekitar tahun 2002. Didirikan bersama-sama oleh romo Sipri dan beberapa Orang Mud Katolik paroki Katedral. Misi mereka adalah menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Menolong dari hal yang paling kecil, memberi dari kekurangan. Dengan iuran wajib Rp. 10.000 per anggota per bulan gerakan sederhana ini dimulai. Dan hingga kini, boleh dibilang Noehaen dan sekitarnya adalah wilayah binaan kelompok Solidaritas. Sasaran utamanya jelas, yakni pendidikan anak dan pemberdayaan kaum muda. Kemudian lahirlah PAUD, taman baca, dll di Noehaen dan Han Ana. Berkat bantuan sosial media, seperti milis, Facebook dan BBM, program ini berjalan baik. Sahabat-sahabat Solidaritas dari luar Kupang bisa turut membantu warga Noehaen, dan sekitarnya. Beberapa waktu lalu mereka merealisasikannya dengan mengirimkan hampir 17 karung buku bacaan juga sejumlah uang untuk pembangunan gedung PAUD dan taman baca. Uang dari donatur dan iuran bulanan anggota Solidaritas, dipakai juga untuk membayar upah bagi guru PAUD. Luar biasa. 
Gedung kapela di Han Ana

Kembali lagi ke suasana Natal pertama di Han Ana. Tanggal 24 Desember, saya dan kak Evi menyusuli Erik, Ina dan Romo Sipri yang sudah duluan ke Han Ana 2 hari sebelumnya. Dari Oeba kami menumpang angkot menuju terminal Kabupaten Kupang lalu berganti angkot lagi menuju Oesao. Dari Oesao kami menumpang colt menuju ke Han Ana. Di Oesao kami harus menunggu hingga 2 jam lamanya hingga akhirnya berangkat. Saking lamanya menunggu, eh, tas pakaian saya malah tertinggal di Oesao (ngeles aja hehehe). Untunglah ada kenalan di sekitar Oesao yang berbaik hari mengecek keberadaan tas saya di lokasi dan syukurnya ditemukan. Tas itu akhirnya menyusul kami ke Han Ana. 
Kami tiba di Han Ana sekitar jam 4 sore. Beberapa OMK dan OTK (orang Tua Katolik) nampak sedang membereskan kapela. Misa malam Natal dimulai tepat jam 7. Karena kecapean dan lapar, alhasil saya melewati misa malam Natal dengan kaki gemetar dan kantong mata yang serasa berat 5 ton! (horeee saya lebaay hahahah). Oh ya, seperti yang saya bilang, kerinduan untuk merayakan misa Natal seperti dulu terobati. Misa dimulai dengan sebuah fragmen singkat tentang kisah perjalanan Maria dan Yosef di jam terakhir (mungkin lho ya) sebelum kelahiran Yesus. Bagaimana mereka mencari tumpangan namun ditolak hingga akhirnya menemukan kandang hewan dan lahirlah Yesus di sana. Uniknya, seluruh fragmen tersebut di bawakan dengan nyanyian berbahasa Dawan! Wuiih. Suasana tersebut didukung dengan kesunyian yang ada apalagi bahwa selama hamir 45 menit (hingga lagu Kemuliaan) seluruh lampu dimatikan. Bahkan setelah sekian bulan mereka menunggu datangnya hujan, tepat di malam Natal itu, hujan pun turun di Han Ana.  Woow. Inilah Natal yang sebenarnya. 
Selesai misa, kami makan malam dan saya duluan pamit untuk tidur. Sedangkan yang lain masih duduk bercengkrama, main kartu, mengobrol dan berdoa di depan kandang Natal hingga jam 1 dini hari. Selama di Han Ana saya menginap di rumah Om Anton, yang asli Kefa, menikah dengan istri asal Han Ana, punya seorang menantu dari Detusoko. Putra sulung om Anton, kak Gaby adalah OMK yang cukup aktif melayani di kapela. Luar biasa. 
suasana misa Natal di Han Ana
Romo menginap di ruang kepsek di SDK milik Yaswari, kak Evi dan Ia menginap di rumah keluarga guru pendiri SDK Han Ana. Sedangkan Erik menginap di Pastoran di Noehaen sekitar 1 km dari Han Ana.
Kurang lebih 3 hari kami dilayani dengan baik oleh warga setempat. Setelah misa hari Natal, 25 Desember, romo Sipri meminta kak Evi, saya, Erik dan Ina untk membuat sebuah kegiatan kecil bagi anak-anak Sekami. Tak lupa pula sudah disiapkan segelas Tehkita dan 3 bungkus wafer bagi setiap anak sebagai hadiah Natal. (Bagi orang tua, romo memberikan kartu doa Koronka / novena kerahiman). Acara dadakan bagi Sekami pun lumayan berhasil. Secara spontas saya ajak untuk bermain game dan menyanyi sambil juga diselipkan kata-kata bijak atau pelajaran bahasa Inggris. 
sepasang pasutri minta diberkati
Malam harinya, disepakati untuk diadakan acara syukuran sederhana bersama seluruh umat tepat jam 7. Sayang, karena sejak siang sudah turun hujan lebat sehingga malamnya sungai yang memisahkan Noehaen dan Han Ana meluap. Akibatnya warga dari Noehaen tak bisa menyebrang ke Han Ana untuk merayakan syukuran Natal bersama. Akhirnya acara di mulai jam 9 malam, denga hanya dihadiri umat dari Han Ana dan Siuf. Dengan segelas kopi, donat dan pisang goreng kami lewati dengan sukacita. Mengobrol, tertawa dan menari bersama hingga jam 12 malam. Lalu bubar karena esoknya jam 8 akan ada misa Natal kedua.
Esoknya misa Natal kedua dimulai tepat waktu. Setelah misa, romo langsung mengajak kami ke Noehaen lalu ke Pantai Batu Merah. Dengan Katana, kami ber-12 (5 dewasa, 7 anak-anak)menuju pantai yang jaraknya sekitar 5 km dengan kondisi jalan yang ‘aduhai’. Bagi orang Jepun yang membuat mobil jelas ini menyalahi prosedur, tapi sudahlah hahahaha... kami tiba dengan selamat di pantai Batu Merah. Kondisinya semi landai (sebab ini laut selatan) dengan sedikit topografi lengkungan yang menyerupai teluk sehingga ada hamparan pasir coklat muda dan sekawanan burung putih leher panjang yang mungkin bermigrasi dari Australia, menyebrangi ganasnya laut Timor untuk mencari ikan. 
ngatri kado Natal: segelas tehkita dan wafer
15 menit saja kami berada di pantai lalu kembali ke Noehaen. Di sana sudah berkumpul anak-anak sekami yang memang biasanya datang ke pastoran yang menyediakan banyak buku bacaan sumbangan dari kelompok Solidaritas. Saya bisa melihat begitu besar semangat anak-anak Noehaen untuk menimba ilmu baru dari buku bacaan di tangan mereka. Mereka membaca dengan antusias. Saya kira semangat itu yang perlu dijaga dan dikembangkan. Satu dua dekade ke depan, mereka akan menjadi generasi baru Amarasi Timur yang berdaya bagi diri mereka sendiri dan lingkungan mereka, tanah Amarasi. Semoga.
Setelah makan siang kami langsung pulang ke Han Ana berpamitan dan pulang ke Kupang. Kami harus cepat, sebab jika hujan keburu turun di perbukitan sana, bisa dipastikan beberapa waktu kemudian, banjir kiriman akan sampai ke Noehaen dan Han Ana. Artinya kami tak akan kembali ke Kupang. (eh buat bapak Gubernur NTT dan Bupati Kupang, tolong dong dibangun jembatan di beberapa titik di Amarasi Timur.).
Akhirnya kami benar-benar pamit. Umat Han Ana dan Noehaen juga Siuf melepas kami dengan sebuah harapan, “jangan bosan-bosan untuk datang kemari. Kami tunggu di Paskah tahun depan...”. ada perasaan bangga dengan perjuangan umat Katolik di Amarasi Timur. Sebab saya melihat pelayanan mereka bagi gereja yang luar biasa. Kami pulang dengan berhimpitan di dalam Katana, berbagi tempat dengan sekarung jagung, 3 ekor ayam, pisang, bose, ayam panggang, dll oleh-oleh dari umat Amarasi Timur. Oh, Tuhaan.... kiranya banyak berkat untuk mereka yang sudah melayanimu dengan tulus.
Ingat Dicky... melayani, melayani dengan tulus.

4 speaker cukup untuk menemani umat menari

Natalis, dkk, masa depan gereja Amarasi Timur
suasana setelah misa Natal 25 Desember 2012
kapela Han Ana yang lama
Romo Sipri sedang memimpin senam di malam Natal hehee

rumah Om Anton, tempat saya menginap

Anak-anak Amarasi Timur
Bapak ketua wilayah, keturunan langsung dari 7 orang Amarasi Timur pertama yang dibaptis menjadi Katolik
ini sih kelihatan cm 2 orang di dalam Katana, masih ada 10 yang tak kelihatan! LOL
warga sedang menanam jagung

Games di bawah pohon Asam

ada warga Han Ana yang mirip bule, padahal ortunya tipikal orang Timor biasa. Mungkin nenek moyangnya bule? siapa tahu...
Gedung kapela Noehaen

Pantai Batu Merah dari dalam Katana
Pantai Batu Merah Amarasi Timur

Kacapatri di ruang makan pastoran Noehaen
mencari buku bacaan

mari membaca

mencoba teknik levitasi di pantai Batu Merah Amarasi, not bad...
menyerbu pantai
difoto kak Evi

Berniat ikut menyumbang buku ataupun uang untuk pembangunan PAUD dan taman baca di Noehaen dan Han Ana, ayooo nanti saya sambungkan Anda dengan kak Evi dari Solidaritas.
Taman Baca pertama di Amarasi Timur, sementara masih meminjam teras pastoran Noehaen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...