untuk MudaersNTT , Merry Christmas...
Belakangan ini saya mendengar banyak
teman-teman saya ‘mengeluh’ tentang nuansa Natal kini yang sudah jauh berbeda
dengan nuansa Natal satu atau dua dekade silam. Jelas saja berbeda , pikir
saya. Mungkin juga karena pada saat sekarang teknologi semakin maju sehingga
untuk mengucapkan salam damai Natal cukuplah via Twitter, BBM, SMS, dan
Facebook. Atau juga karena kini kondisi masyarakat yang makin individualistis,
sehingga kalaupun menghadiri misa malam Natal yah begitu-begitu saja, datang
duduk, dengar, nyanyi dan pulang. Makin minim interaksi satu sama lain. Ada
banyak kemudahan yang tentunya memberikan efek tersendiri bagi perilaku manusia
zaman ini. Natal kini sudah terlalu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga Natal
sangat erat dengan konsumsi dan konsumsi. Maka tak heran jika ketika Natal kita
akan menemukan banyak sekali pernak pernik misalnya kado atau topi santa, dan
tak ada hubungannya sama sekali dengan Yesus, figur utama dari perayaan Natal
itu sendiri. Akh, ini menurut saya lho yaaah....
Jelas-jelas saya rindu akan suasana Natal
seperti dekade 90-an ketika saya melewatkan masa SD di Mollo Utara. Nun jauh di
ketinggian lebih dari 1000mdpl di kabupaten Timor Tengah Selatan. Saat itu
paroki saya, Maria Immaculata Kapan, punya banyak stasi (sekitar belasan stasi)
yang menyebar di gunung dan lembah. Dan pada saat-saat Natal atau pun Paskah,
seluruh stasi akan berkumpul di pusat paroki di Kapan, lalu akan mengikuti
rangkaian acara selama 3-4 hari. Nah, pada saat itulah saya merasakan
kemeriahan, kedamaian dan kesederhanaan Natal terpancar. Saya masih bisa
mendengar koor dengan lagu-lagu daerah (Dawan, red). Pada malam puncak,
biasanya akan ada acara ramah tamah bersama yang akan diisi dengan pentas seni
dari anak-anak Sekami dan OMK baik yang berasal dari Stasi maupun dari pusat
Paroki. Waktu itu, makan minum, pakaian, dll boleh sederhana tapi justru lebih
meriah dan membuat terkenang lama. Hingga saat ini saya bahkan masih mengingat
pengalaman terlibat dalam fragmen kecil di malam Natal. Biasanya sebelum misa
dimulai, ada sepasang orang dewasa yang akan berperan sebagai Maria dan Yusuf,
orang tua Yesus. Peran saya kala itu adalah menjadi anak-anak gembala penjaga
kandang-tempat yang sama ketika Yesus lahir. Ketika berperan sebagai gembala,
tugas kami mudah. Kami hanya diminta memakai pakaian sederhana dan lusuh,
dengan atribut-atribut yang mendukung bahwa kami memang anak gembala atau anak
petani dan duduk di sekeliling kandang Natal sepanjang misa berlangsung. Pernah
sekali saya membawa cangkul atau sabit dan seikat rerumputan ke dalam gereja.
Seruuuu..... sayang fragmen seperti itu tak pernah saya jumpai lagi kini.
Bertahun lamanya saya merindukan suasana
seperti itu. Dan saya temukan lagi ketika mengikuti Romo Sipri Senda, merayakan
Natal bersama dengan umat stasi Noehaen di Han Ana, sebuah perkampungan di
daerah Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Ada tiga wilayah yang berkumpul di Han
Ana kala itu, yakni Han Ana sendiri, Noehaen dan Siuf. Dari Kupang rombongan
kami 5 orang, saya, romo Sipri, kak Evi mewakili kakak-kakak dari kelompok
Solidaritas dan Erik, keponakan saya dan Ina (seorang mahasiswi Stipas Kupang).
Han Ana adalah tempat baru bagi saya. Selama
di Han Ana, kami tinggal menyebar di rumah-rumah penduduk di sekitar kapela Han
Ana.
Oya, saya akan bercerita sedikit tentan
kelompok Solidaritas. Kelompok ini lahir sekitar tahun 2002. Didirikan
bersama-sama oleh romo Sipri dan beberapa Orang Mud Katolik paroki Katedral.
Misi mereka adalah menolong sesama yang membutuhkan bantuan. Menolong dari hal
yang paling kecil, memberi dari kekurangan. Dengan iuran wajib Rp. 10.000 per
anggota per bulan gerakan sederhana ini dimulai. Dan hingga kini, boleh
dibilang Noehaen dan sekitarnya adalah wilayah binaan kelompok Solidaritas.
Sasaran utamanya jelas, yakni pendidikan anak dan pemberdayaan kaum muda. Kemudian
lahirlah PAUD, taman baca, dll di Noehaen dan Han Ana. Berkat bantuan sosial
media, seperti milis, Facebook dan BBM, program ini berjalan baik. Sahabat-sahabat
Solidaritas dari luar Kupang bisa turut membantu warga Noehaen, dan sekitarnya.
Beberapa waktu lalu mereka merealisasikannya dengan mengirimkan hampir 17
karung buku bacaan juga sejumlah uang untuk pembangunan gedung PAUD dan taman
baca. Uang dari donatur dan iuran bulanan anggota Solidaritas, dipakai juga
untuk membayar upah bagi guru PAUD. Luar biasa.
|
Gedung kapela di Han Ana |
Kembali lagi ke suasana Natal pertama di Han
Ana. Tanggal 24 Desember, saya dan kak Evi menyusuli Erik, Ina dan Romo Sipri
yang sudah duluan ke Han Ana 2 hari sebelumnya. Dari Oeba kami menumpang angkot
menuju terminal Kabupaten Kupang lalu berganti angkot lagi menuju Oesao. Dari
Oesao kami menumpang colt menuju ke Han Ana. Di Oesao kami harus menunggu
hingga 2 jam lamanya hingga akhirnya berangkat. Saking lamanya menunggu, eh, tas pakaian saya malah tertinggal di Oesao (ngeles
aja hehehe). Untunglah ada
kenalan di sekitar Oesao yang berbaik hari mengecek keberadaan tas saya di
lokasi dan syukurnya ditemukan. Tas itu akhirnya menyusul kami ke Han Ana.
Kami tiba di Han Ana sekitar jam 4 sore.
Beberapa OMK dan OTK (orang Tua Katolik) nampak sedang membereskan kapela. Misa
malam Natal dimulai tepat jam 7. Karena kecapean dan lapar, alhasil saya
melewati misa malam Natal dengan kaki gemetar dan kantong mata yang serasa
berat 5 ton! (horeee saya lebaay hahahah). Oh ya, seperti yang saya bilang,
kerinduan untuk merayakan misa Natal seperti dulu terobati. Misa dimulai dengan
sebuah fragmen singkat tentang kisah perjalanan Maria dan Yosef di jam terakhir
(mungkin lho ya) sebelum kelahiran Yesus. Bagaimana mereka mencari tumpangan
namun ditolak hingga akhirnya menemukan kandang hewan dan lahirlah Yesus di
sana. Uniknya, seluruh fragmen tersebut di bawakan dengan nyanyian berbahasa
Dawan! Wuiih. Suasana tersebut didukung dengan kesunyian yang ada apalagi bahwa
selama hamir 45 menit (hingga lagu Kemuliaan) seluruh lampu dimatikan. Bahkan
setelah sekian bulan mereka menunggu datangnya hujan, tepat di malam Natal itu,
hujan pun turun di Han Ana. Woow. Inilah
Natal yang sebenarnya.
Selesai misa, kami makan malam dan saya duluan
pamit untuk tidur. Sedangkan yang lain masih duduk bercengkrama, main kartu,
mengobrol dan berdoa di depan kandang Natal hingga jam 1 dini hari. Selama di
Han Ana saya menginap di rumah Om Anton, yang asli Kefa, menikah dengan istri
asal Han Ana, punya seorang menantu dari Detusoko. Putra sulung om Anton, kak
Gaby adalah OMK yang cukup aktif melayani di kapela. Luar biasa.
|
suasana misa Natal di Han Ana |
Romo menginap di ruang kepsek di SDK milik
Yaswari, kak Evi dan Ia menginap di rumah keluarga guru pendiri SDK Han Ana.
Sedangkan Erik menginap di Pastoran di Noehaen sekitar 1 km dari Han Ana.
Kurang lebih 3 hari kami dilayani dengan baik
oleh warga setempat. Setelah misa hari Natal, 25 Desember, romo Sipri meminta
kak Evi, saya, Erik dan Ina untk membuat sebuah kegiatan kecil bagi anak-anak
Sekami. Tak lupa pula sudah disiapkan segelas Tehkita dan 3 bungkus wafer bagi
setiap anak sebagai hadiah Natal. (Bagi orang tua, romo memberikan kartu doa
Koronka / novena kerahiman). Acara dadakan bagi Sekami pun lumayan berhasil.
Secara spontas saya ajak untuk bermain game dan menyanyi sambil juga diselipkan
kata-kata bijak atau pelajaran bahasa Inggris.
|
sepasang pasutri minta diberkati |
Malam harinya, disepakati untuk diadakan acara
syukuran sederhana bersama seluruh umat tepat jam 7. Sayang, karena sejak siang
sudah turun hujan lebat sehingga malamnya sungai yang memisahkan Noehaen dan
Han Ana meluap. Akibatnya warga dari Noehaen tak bisa menyebrang ke Han Ana
untuk merayakan syukuran Natal bersama. Akhirnya acara di mulai jam 9 malam,
denga hanya dihadiri umat dari Han Ana dan Siuf. Dengan segelas kopi, donat dan
pisang goreng kami lewati dengan sukacita. Mengobrol, tertawa dan menari
bersama hingga jam 12 malam. Lalu bubar karena esoknya jam 8 akan ada misa Natal
kedua.
Esoknya misa Natal kedua dimulai tepat waktu. Setelah
misa, romo langsung mengajak kami ke Noehaen lalu ke Pantai Batu Merah. Dengan
Katana, kami ber-12 (5 dewasa, 7 anak-anak)menuju pantai yang jaraknya sekitar
5 km dengan kondisi jalan yang ‘aduhai’. Bagi orang Jepun yang membuat mobil
jelas ini menyalahi prosedur, tapi sudahlah hahahaha... kami tiba dengan
selamat di pantai Batu Merah. Kondisinya semi landai (sebab ini laut selatan)
dengan sedikit topografi lengkungan yang menyerupai teluk sehingga ada hamparan
pasir coklat muda dan sekawanan burung putih leher panjang yang mungkin
bermigrasi dari Australia, menyebrangi ganasnya laut Timor untuk mencari ikan.
|
ngatri kado Natal: segelas tehkita dan wafer |
15 menit saja kami berada di pantai lalu
kembali ke Noehaen. Di sana sudah berkumpul anak-anak sekami yang memang
biasanya datang ke pastoran yang menyediakan banyak buku bacaan sumbangan dari
kelompok Solidaritas. Saya bisa melihat begitu besar semangat anak-anak Noehaen
untuk menimba ilmu baru dari buku bacaan di tangan mereka. Mereka membaca
dengan antusias. Saya kira semangat itu yang perlu dijaga dan dikembangkan.
Satu dua dekade ke depan, mereka akan menjadi generasi baru Amarasi Timur yang
berdaya bagi diri mereka sendiri dan lingkungan mereka, tanah Amarasi. Semoga.
Setelah makan siang kami langsung pulang ke
Han Ana berpamitan dan pulang ke Kupang. Kami harus cepat, sebab jika hujan
keburu turun di perbukitan sana, bisa dipastikan beberapa waktu kemudian,
banjir kiriman akan sampai ke Noehaen dan Han Ana. Artinya kami tak akan kembali
ke Kupang. (eh buat bapak Gubernur NTT dan Bupati Kupang, tolong dong dibangun
jembatan di beberapa titik di Amarasi Timur.).
Akhirnya kami benar-benar pamit. Umat Han Ana
dan Noehaen juga Siuf melepas kami dengan sebuah harapan, “jangan bosan-bosan untuk
datang kemari. Kami tunggu di Paskah tahun depan...”. ada perasaan bangga
dengan perjuangan umat Katolik di Amarasi Timur. Sebab saya melihat pelayanan
mereka bagi gereja yang luar biasa. Kami pulang dengan berhimpitan di dalam
Katana, berbagi tempat dengan sekarung jagung, 3 ekor ayam, pisang, bose, ayam
panggang, dll oleh-oleh dari umat Amarasi Timur. Oh, Tuhaan.... kiranya banyak
berkat untuk mereka yang sudah melayanimu dengan tulus.
Ingat Dicky... melayani, melayani dengan
tulus.
|
4 speaker cukup untuk menemani umat menari |
|
Natalis, dkk, masa depan gereja Amarasi Timur |
|
suasana setelah misa Natal 25 Desember 2012 |
|
kapela Han Ana yang lama |
|
Romo Sipri sedang memimpin senam di malam Natal hehee |
|
rumah Om Anton, tempat saya menginap |
|
Anak-anak Amarasi Timur |
|
|
Bapak ketua wilayah, keturunan langsung dari 7 orang Amarasi Timur pertama yang dibaptis menjadi Katolik |
|
ini sih kelihatan cm 2 orang di dalam Katana, masih ada 10 yang tak kelihatan! LOL |
|
warga sedang menanam jagung |
|
Games di bawah pohon Asam |
|
ada warga Han Ana yang mirip bule, padahal ortunya tipikal orang Timor biasa. Mungkin nenek moyangnya bule? siapa tahu... |
|
Gedung kapela Noehaen |
|
Pantai Batu Merah dari dalam Katana |
|
Pantai Batu Merah Amarasi Timur |
|
Kacapatri di ruang makan pastoran Noehaen |
|
mencari buku bacaan |
|
mari membaca |
|
mencoba teknik levitasi di pantai Batu Merah Amarasi, not bad... |
|
menyerbu pantai |
|
difoto kak Evi |
Berniat ikut menyumbang buku ataupun uang untuk pembangunan PAUD dan taman baca di Noehaen dan Han Ana, ayooo nanti saya sambungkan Anda dengan kak Evi dari Solidaritas.
|
Taman Baca pertama di Amarasi Timur, sementara masih meminjam teras pastoran Noehaen |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...