Suatu sore yang kelabu tanpa suara
senja kecuali gigi-gigi halus hujan
Kita datang menyusun diri di
tangga-tangga taman kota dan menasbihkan diri sebagai sang terang
Adakah benar taman tempat jiwa
rapuh siapapun tertawan
demi sebuah upaya mekar kembali?
Oh, aku ketinggalan kereta
(tadinya)
Sebab katanya berkereta saat senja
sama saja dengan membiarkan dualisme rasa menampar
Senyum tipis orang terkasihmu
karena akan ada rasa ketika saat kau
datang diam-diam ia sudah menumbuhkan sebatang pohon kesepian bahwa ia tak
memikirkan kedatanganmu, ia sudah meraba kepergianmu kelak
Sedini itu rasa kehilangan membunuh
senyum yang tak sempat mengembang
Oh, meski akhirnya aku sampai ke
taman itu
Tanpa kereta senja.
Hanya dengan menyusun kembali ruas-ruas
jalan pulang yang pernah aku bungkus dalam tas bermotifkan ikat suku Mollo.
Kalian
Aku menangkap terang itu panjang
panjang bersinar dari hati kalian
Dan sejam kemudian, oh, aku si anak
bawang ini tertawan juga
Kita harusnya segera bernama
Saat nadi kita berada pada satu
irama
Kelak yang kita inginkan adalah
punya warna
Maka hanya mungkin terjadi jika sua
dan jerit puisi kita punya gema
tentang bagaimana seharusnya
nuarani menyelaraskan perca perca kemanusiaan
aku kembali
dan taman ini telah menampakkan
senyum tipis serupa batang pohon kesepian itu
begitukah caranya semesta bekerja?
Mendadak korneaku benderang
-Liliba,
21 Maret 2012-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...