Besok aku gajian, yuk kita bikin pizza. Ia membuka lagi
pembicaraan yang sudah kaku sejak dua puluh menit belakangan.
Emang kamu bisa bikin pizza? Wajah sangsi itu terbit jua.
Hei, apa gunanya mengisi pulsa modem lantas lupa keberadaan
mesin pintar bernama Google?
Coba buktikan, katanya.
Esok malamnya ia sendirian di dapur.
Menguleni roti hingga kalis. Menyanyi dengan suara tipis
agar tak menganggu tetangga.
Emang kamu bisa bikin
pizza? Ia membayangkan wajah sangsi itu
berkali-kali.
Malam kian larut, ia masih setia di dapur:
Sebuah lingkaran dari adonan roti.
Ditumpahinya saus tomat dengan harum oregano dan basil.
Merah.
Lantas ia menaruh irisan daging asap, nanas, jagung manis,
dan jamur kancing
Irisan sosis dan keju mozzarella (sudah ia parut, sambil
membayangkan wajah Isabela mantan pacarnya)
Ia menaburnya dengan irisan paprika hijau merah. Juga irisan
bawang bombay.
Ia tersenyum dan mulai memanggang
Setengah jam ia menunggu dan pelan-pelang mulai terkulai di
meja makan.
Ia tertidur. Lantas mati.
Ia mendapati tubuhnya hangus di dapur.
Ia menangis. Ia berlari menjauh. Ia terbangun
“Mas, pizza pesanannya sudah tiba…”
Liurnya menetes di meja makan.
Soe, Maret 2012
Liurnya menetes di meja makan.
Soe, Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...