Kamis, 31 Maret 2011

Hujan adalah kawan, adalah indah...

sebuah cerita mini 
Untuk mudaers NTT menulis

Entah mengapa kini aku sangat menyukai hujan. Aku memikirkan hujan, aku melakukan banyak hal ditemani hujan, aku mengingat lagi masa laluku disaat hujan atau karena berkali-kali aku sakit juga karena hujan. Mungkin itu alasannya. Tak heran pula akhirnya aku banyak menulis tentang hujan. Semangat hidup seperti derasnya air hujan yang menimpa atap kamarku. Dan ketika sedang berjalan di bawah gerimis tipis, aku berpikir untuk menulis ini secepat mungkin jika aku sampai di kamarku. Aku sedang jatuh cinta pada hujan.

Setahun lalu aku membaca sebuah berita besar di salah satu koran nasional. Topiknya adalah hujan. Dan aku menyukai itu. Mulai dari kerjaan para pawang hujan yang laris manis hingga masyarakat agraris yang menangis karena hujan tak mau lagi diatur oleh sistem penanggalan pertanian. Hujan mungkin bersedih, mungkin pula sedang protes. Aku ingat juga, foto besar yang terpampang di halaman koran itu. Sebuah kota metropolitan yang mati kutu di bawah rimbunnya awan-awan hitam lagi tebal yang kadang-kadang menyimpan kejutan-kejutan listrik raksasa bernama petir dibaliknya!

Aku lantas mengingat untuk ditulis kembali, pengamalamanku tentang hujan saat aku kecil dulu. Ini tak terjadi di kota hujan. Mungkin tepatnya kampung hujan. Meski hujan tak datang sepanjang tahun, tapi jika terjadi hujan, kampungku akan sangat indah sekali. Orang-orang yang datang pun menyukainya. Kampung yang indah permai saat hujan dan setelah hujan. Aku bersyukur bahwa orang-orang di kampungku masih menjaga hutan sehingga air hujan bisa tersimpan dengan aman disana. Suatu saat ketika sudah berada di kota Jogjakarta, seorang teman mengirim dua foto tentang hujan di kampungku, ketika hutan-hutan kasuari nampak hijau rupawan kontras dengan kabut tipis. Titik-titik air hujan yang super tipis. Dalam foto berikutnya, tergambar sekelompok orang dengan sarung-sarung tebal motif pelangi dengan dominasi merah, rasanya cukup untuk menghalau dinginnya udara setelah hujan. Hujan membuat segala sesuatu indah.
Mungkin juga harus aku kaitkan lagi dengan pengalaman lainku tentang hujan. Aku ingat betul di kampungku dulu, kampung hujan, beberapa kali terjadi hujan es! Yang paling kuingat dari momen saat itu, ketika kami sedang sibuk-sibuknya bersiap menyambut kedatangan uskup dan akirnya ritus penyambutan sempat gagal karena hujan keburu datang. Bahkan hujan berbentuk es sebesar kacang atom! Itu terjadi di bulan November saat aku masih kelas empat sekolah dasar. Tahun-tahun berikutnya, aku lagi-lagi mengalami hal yang sama. Meski tak setiap tahunnya. Kadang baru muncul dua tahun kemudian, kadang bisa tiga atau empat tahun berikutnya. Aku pernah menanyai ayahku soal ini, katanya sudah enam atau tujuh tahun belakangan ini tak pernah lagi turun hujan es. Yang terjadi kini adalah sebuah rutinitas hujan yang kian kacau sehingga memusikan ayahku dan sekian petani lainnya. Sebuah masalah besar yang aku rasa juga dialami sekian juta masyarakat agraris di planet bumi ini. Salah siapa?

Hujan sejatinya indah. Kadang kala menyeramkan. Seringnya membuat hati kalut. Bikin pikiran terbuai lamunan panjang hingga masuk angin dan sakit. Kini, hujan memberi banyak inspirasi untuk menulis. Hujan adalah kawan. Kawan yang indah…

Jogjakarta, 27 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...