Secara mengejutkan (bagi saya yg terhitung ‘baru’) si pemimpin misa marah-marah sambil mengungkapkan sebarek rasa kecewanya (beberapa poin saja saya rasa namun diulang berkali-kali dan makin terkesan ‘berle’, itulah kenapa saya bosan dengan misa pagi ini). Bahkan butuh ekstra waktu 45 menit untuk mendengar beliau berbicara panjang, mengulang bahkan melebar kemana-mana. Pada dasarnya, beliau kecewa krn masih banyak umat yg dengan berbagai alasan tentunya hingga saat ini belum ikut terlibat dalam sebuah proyek pembangunan taman doa di Oebelo-Kupang, yakni sebuah proyek yg diinisiatif melibatkan seluruh umat di keuskupan Agung Kupang, baik dalam pendanaan hingga pengerjaanya, masing-masing paroki sudah punya bagian tugasnya masing-masing. Menurut si pemimpin misa, tugasnya paroki ini hampir mendekati gagal krn minim dana, iuran dari umat kurang, bahkan beberapa kelompok umat masih mengulur-ulur waktu untuk menyumbang dana wajibnya (nb: semua wajib menyumbang hanya saja besar dan jenis sumbangan terserah sang penyumbang). Lebih dari itu yang membuat pemimpin ini marah besar, beberapa kali pengerjaan, umat yang terlibat sedikit sehingga terpaksa pemimpin ini pun harus bekerja ekstra dan pegal-pegal, begitu pengakuannya berkali-kali saat misa berlangsung.
Sebagai orang yg baru dua kali mengikuti misa bapak pemimpin ini, saya cukup kaget, bukan saja krn durasi kemarahannya panjang, dengan kalimat yang memanjang dan melebar bahkan cenderung mengulang-ulang, tapi juga isi dari pembicaraannya yg…..ahhh kurang pantas. Oke, mungkin ini cuma penilaian subjektif saya yg notabene baru 2 kali bertemu dengan si pemimpin ini. Saya menyimak ada dua kali ‘ancaman’, jika partisipasi umat akan dihitung, kira-kira begitu, yang tidak berpartisipasi akan dicoret dari pelayanan gereja (disebutkan oleh beliau, misalnya, jika anak yang bersangkutan akan sambut baru atau krisma maka akan dicoret, jika meninggal dunia makan gak akan dilayani spt layaknya gereja melayani umat berkaitan dengan kematian). Saya kaget. Waduuuh! selain 'ancaman' akan melaporkan ke uskup. Masalah pertama.
Itu ‘ancaman’? entah. Kedua, mungkin utk alasan memotivasi umat atau apalah, beliau membanding-bandingkan, dan banyak sekali perbandingan yg pada akhirnya menurut saya gak pas karena situasi dan kondisi berbeda-beda. Saya tahu, dua minggu misa, beliau banyak menagih umat yg belum menyumbang utk menyumbang, yang sudah menyumbang marilah menyumbang lebih lagi krn memang faktanya kebutuhan pembangunan itu membutuhkan dana gak sedikit. Ini soal materi yah, bukan soal tenaga spt diatas tadi. Hal itu yang membuat beliau ‘terpaksa’ menodong umat: misalnya ayoo yang PNS tambah semen masing-masing 1 sak, ayooo yang pengusaha mana? Demikian agar materil bangunan segera ada dan bisa dibangun bagian kecil taman doa tsb. Ini masalah yang kedua. Masalah pertama dan kedua yg dibahas berulang-ulang, dengan nada keras, sedikit mengancam hingga melebar, yang mungkin sebuah curhat colongan he he karena momenya juga pas yah sudah sekalian saja isi dihati yg terbendung selama ini dikeluarkan saja. dari proyek pengerjaan rumah pastoran yg terbengkalai, umat yang terlalu ‘perhitungan’-pemimpin yang tak digaji, uang stipendium yang nihil bla…bla…bla…(dalam hati saya tersenyum geli*)
Dari kedua poin diatas, saya juga belum tahu pasti pola komunikasi, relasi, kerjasama,dll antara pemimpin dan umat selama ini seperti apa jalinannya. Apa dengan pola yg hampir mirip frontal, blak-blakan, dan cenderung represif spt ini dari pemimpin ke umatnya? Entahlah, saya pun gak berani mengambil kesimpulan lebih selain bahwa: mungkinkah reaksi partisipatif umat yang melempem spt ini juga krn ketiadaan harmonisasi komunikasi antar umat dan si pemimpin? Krn bisa jadi tipe umat lebih manjur kalo pendekatannya lebih personal bukan dengan kalimat keras di mimbar saban minggu. Mungkin mereka akan terbuka dan jujur dengan diri mereka kalo pemimpinnya juga paham berbagai karakter personal umatnya bukan juga dengan membanding-bandingkan kegagalan umat dengan keberhasilan umat di tempat lain. Sehingga gak perlu ada kemarahan dan kalimat kasar di atas mimbar setiap minggunya. Sekali lagi ini Cuma dugaan saya. Bisa jadi bahwa semakin represif pemimpin (atau terlalu frontal), maka umat akan makin difens dan membentuk benteng pertahanan dirinya dari sang pemimpin, sehingga setiap perkataan pemimpin cenderung kurang disambut baik atau direspon baik oleh umat? Jangan sampai pemimpin terlalu menuntut banyak tp juga gak mau mendengar umat, terlalu represif dan umat makin menutup diri…
Mungkinkah jika hal ini adalah buah dari sebuah relasi atau pola hubungan antar pemimpin dan umat yang selama ini memang gak sehat sejak awal? Dan sebenarnya, umatpun juga harusnya belajar untuk bisa berdampingan dengan berbagai karakter pemimpin gereja yang berganti saban lima tahun.
Atau mungkin ini hanya sebatas ke’berle’bihan saya…
Ahh…
Salam damai sejahtera
(untuk NAKED TIMOR dan MUDAers NTT MENULIS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...