Dalam sebuah sesi diskusi tumbuh kembang anak baru-baru ini, orang tua datang dengan sedikit problem mengenai penggunaan tangan kiri yang lebih sering digunakan ketimbang tangan kanan. Maksudnya bahwa si anak kelihatan lebih nyaman beraktivitas dengan tangan kiri, namun kelebihannya adalah si anak yang masih di kelas Playgroup B itu sudah ngerti kapan harus memakai tangan kanan, misalnya saat bersalaman dengan orang. Dalam percakapan kami, nampak si ibu lebih demokratis dengan ungkapan ‘tangan kanan atau kiri sama saja, senyamannya anak’, sedangkan si ayah lebih khawatir mengenai efek penggunaan tangan kiri ketika akan belajar menulis. ‘Takutnya menulis terbalik atau gak rapi’ ungkap si ayah.
***
Jika di belahan bumi Barat, masyarakat cenderung fleksibel dan demokratis soal penggunaan tangan, maka berbeda dengan orang Timur, terutama di Indonesia yg cenderung masih beranggapan bahwa ‘tangan kanan lebih baik/sopan daripada tangan kiri’. Lihat saja ketika anak memberi atau menerima dengan tangan kiri, sontak hal tersebut akan menimbulkan komentar orang-orang disekitar, ‘adeek, pake tangan yang OKE dong…’ atau ‘tangan manisnya mana?’. Mungkin kalimat itu dari orang tua sendiri tapi bisa juga orang tua gak mempermasalahkan hal tersebut tp lingkungannya saja yg masih beranggapan itu sebuah masalah. Lagi-lagi ukuran nilai kesopanan nyatanya memang berbeda-beda dalam sebuah kelompok masyarakat. Artinya, karena nilai ini sebenarnya hanya merupakan consensus masyarakat, sebuah produk masyarakat bukan sesuatu yg kodrati atau turun langsung dari langit bahwa semua manusia di muka bumi harus memakai tangan kanan, kalau gak akan masuk neraka krn sudah tidak sopan sama orang. Kan gak ada aturan itu. So, ketika menghadapi hal ini, sikap bijak dan demokratislah yg perlu dipegang orang tua.
***
Dari pengamatan saya sendiri, internalisasi nilai-nilai social semacam ini memang kuat sekali didoktrin ke anak ketika di sekolah atau di masyarakat, dan cenderung fleksibel dalam lingkup keluarga. Berbicara nilai masyarakat,
agak susah juga misalnya kita tetap bersikukuh untuk saklek dengan nilai kita jika itu berbeda. Karena tak bisa dinafikan bahwa seorang anak akan besar dan berinteraksi dengan dunia luar, jangan sampai gara-gara lebih nyaman memakai tangan kiri (meski faktanya bukan kidal) si anak bisa ditolak oleh lingkungannya. Saya rasa contoh kasus diatas adalah solusi terbaik ketika si ibu menerapkan aturan kiri atau kanan sama saja sekaligus mendidik anak untuk mengerti juga jika berhadapan dengan orang lain, terutama orang yg lebih tua, ukuran kesopanan adalah dengan misalnya memberi atau menerima dengan tangan kanan, bersalaman dengan tangan kanan. Di luar dari kondisi tersebut, si anak bebas memakai tangan apa saja yg paling nyaman, misalnya menulis, bekerja, dll.
Bagi saya, sekidal-kidalnya orang mereka toh bisa sadar lingkungan juga, misalnya ketika bertemu orang serta merta tangan kanan yg diajukan untuk bersalaman bukan tangan kiri, meski faktanya sehari-hari mereka memakai tangan kiri. Itulah manusia, sekompleks apapun masalahnya, kita masih bisa berpikir dan bertindak bijak untuk diri kita dan untuk orang lain. Ada hak asasi manusia untuk berkembang dengan nilai persoanlnya, yg perlu diimbangkan juga dengan kewajiban untuk menghargai orang lain, nilai orang lain, nilai masyarakat.
Sehingga hal-hal semacam ini sebenarnya tidak perlu diributkan atau dicemaskan juga (by Christian Senda @ CERAH HATI http://www.naked-timor.blogspot.com/
Jogjakarta, 27 Agustus 2010
Sumber Gambar: http://www.geekologie.com/2007/07/08-week/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...