Kamis, 09 September 2010

Krisis Indonesia-Malaysia dan Mawas Diri

Kota Kinabalu akhirnya menjadi tempat pilihan Indonesia-Malaysia dalam berdiplomasi membahas permasalahan yg belakangan ini memperburuk hubungan Malaysia-Indonesia. Meskipun banyak orang, termasuk saya pesimis dengan pembahasan tsb. Dan hasilnya memang demikian kan? Kita yang meminta maaf dan pembahasannya jauh melenceng dr sebatas membahas kejelasan wilayah masing2. Saya melihat dalam berdiplomasi, kita masih terlalu lemah. Dan Malaysia sendiri saya rasa dewasa ini sudah memiliki psosisi tawar yg lebih tinggi, bahwa sebenarnya kita sudah begitu ‘tergantungnya’ dengan mereka. Okelah, dimana-mana seruan ‘ganyang Malaysia’ menyeruak kembali, tapi kita gak boleh lupa, kita punya 2 juta TKI disana, kita punya 600 ribu pelajar di Malaysia. Gak imbang sih dengan artis-artis Malaysia semacan Ashraf Sincalir yg getol mengadu nasib di tanah air, atau 300 ribu pelajar yg sedang menuntut ilmu di Indonesia.

***
Dalam perdagangan, katanya sih Malaysia itu tergolong 5 besar pemodal di tanah air. Itu baru sebagian hitung-hitungan, yg jelas menunjukan mereka sudah diatas angin dan gak usah kaget juga misalnya mereka kemudian menjadi arogan dan sombong. Beberapa waktu lalu sy membaca majalah Newsweek yg secara khsusus membahas negara2 yg paling berpengaruh di dunia, baik itu dalam bidang ekonomi, pendidikan, hankam, politik, paling nyaman untuk ditinggali, pokoknya negara yg paling2 dan ter-ter deh, Malaysia sendiri nangkring di posisi 37 besar ketimbang Indonesia yg puas di deretan 60an atau 70an. Tergolong kondusif, peningkatan mutu pendidikan makin hari makin meningkat (bayangkan deh jika dulu mereka memasok guru-guru dari Indonesia atau mengirimkan banyak pelajarnya ke Indonesia, kini semua terbalik). Secara ekonomi juga mereka maju, tata kota baik, pembangunan merata (bandingkan juga dengan ketimpangan pembangunan di Indonesia kini). Itu mungkin satu hal juga yg mendorong mereka begitu pede dalam segala hal, termasuk pede mengakui bahwa mereka ‘the truly Asia’.

***

Kenapa mereka pede, yah karena mereka merasa mereka maju, berkembang, mereka berhasil, meski disisi lain sifat tamat dan sombong pun beriringan datang. Tapi gak bisa dipungkiri kan kalau mereka punya nilai tawar yg lebih tinggi dari kita? Dengan ‘kelebihan-kelebihan’ itulah makanya gak heran juga misalnya mereka terus-terusan menghindar untuk melakukan perundingan tentang batas wilayah, dengan alasan masih fokus mengurus masalah perbatasan dengan Singapura dulu. Selalu saja menghindar, namun disisi lain sering melakukan aksi arogansi, menyerang, klaim sana sini, curi sana sini, sampai mencabut patok di hutan Kalimantan hingga berkilometer agar kayunya bisa ditebang.

***

Itu mereka, dengan kejayaanya kini.
Bagaimana dengan kita?
Atas nama harga diri kita berteriak, kita marah, sampai melempar kotoran manusia ke kantor diplomat, membakar bendera. Kita, rakyatlah yg biasa cepat bereaksi. Pemimpin kita? Boro-boro berlaku tegas, makin hari makin menunjukan ketidakpedean berdiplomasi, makin kerdil dan inferior. Okelah, pemerintah berhati-hati karena banyak pertimbangan terkait tingginya daya tawar mereka. Tapi sayang juga jika kehati-hatian pemerintah dibaca rakyat sebagai lamban dan akhirnya rakyat mengambil tindakan sendiri—sendiri, itu juga gak bagus.

***

Bagi saya semua kembali pada kita. Ambil hikmahnya. Kenapa kita bisa begini? Kenapa kita punya daya tawar yg minim? Kenapa ada 2 juta TKI di sana? Kenapa orang luar cenderung lebih mencintai budaya kita ketimbang kita sendiri? Ketika Malaysia mengklaim Batik, saya justru malu sebagai anak muda Indonesia krn gak bisa membantik! Ketika lagu Rasa Sayange dicaplok, saya justru malu krn saya terlalu keenakan mendendangkan lagu2 pop Amerika ketimbang mau tau kalau disini punya sejuta seni musik.

***

Saya lantas bertanya kepada hati saya, kenapa sama saudara kita di pedalaman Kalimantan lebih merasa hidup sebagai orang Malaysia ketimbang orang Indonesia? Mereka butuh sekolah, makan dan kesehatan, dan dari Malaysialah mereka dapatkan, bukan dari pemerintah sendiri, lanntas saya harus bilang mereka salah, mereka gak Nasionalis? Stop bicara Nasionalis kalo masih ada jutaan saudara kita sendiri yg gak tau mau makan apa hari ini, gak tau kapan anak2nya bisa sekolah, gak tau kapan bisa dapat pengobatan gratis?

***

Kata orang, Gajah di pelupuk mata gak kelihatan, tapi kuman di seberang lautan kok bisa kelihatan yah? Sampai kapan kita bisa bebas dr konflik2 ini? Jawabannya sampai kita benar-benar sejahtera dan kuat seperti mereka, Malaysia. Kuat ekonominya, pendidikannya, kesehatannya, hankamnya, politiknya, hukumnya, sosial budayanya, merata pembangunannya, luas lapangan kerja dalam negeri, mandiri, dll. Kapan kita kuat kalau pemimpin kita masih lemah? Elit2 politik sukanya ngibul, korupsi. Gimana mau dihargai negara lain kalau sama rakyat sendiri saja masih suka menginjak-injak. Gimana mau ngomong martabat bangsa kalau sesama warga negara masih suka berkonflik, pemimpin mencuri uang rakyatnya, pemimpin menipu rakyatnya. Omong kosong deh soal harga diri, kalo pemimpinnya suka menipu dan menciderai nurani rakyatnya? Selama itu belum termanajemen dengan baik, sampe lebaran monyet juga kita masih aja kalah sama Malaysia, boro2 ngomong perang, soal harga diri, martabat, dll saja baru start kita sudah kalah jauh. Ini tugas pemerintah untuk mengembalikan rasa percaya diri rakyatnya, pertama-tama adalah dengan menghargai rakyatnya sendiri dulu. Gak suka menipu rakyatnya, mencuri uang milik rakyatnya dulu. Hadoooh….

Jogja, September 2010
sumber gambar: id.news.yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...