Rabu, 15 September 2010

Darah Garuda (DG) dan Wajah Perfilman Indonesia Hari Ini

Filmnya sih biasa saja, malah ada yang kurang ketimbang seri pertamanya Merah Putih (MP) baik kualitas akting pemain juga ceritanya. Bagi saya, di MP ceritanya yaaah lumayan mengundang rasa Nasionalisme, ketika perkenalan tokoh demi tokoh yang sangat Indonesia, sangat majemuk, Dayan yg jago memainkan pisau dari Bali, Thomas wong Celebes yg pemberani-kental dengan dialek Manadonya-seorang Kristen, Amir yg nasionalis agamis, dll, semua menarik, dengan adanya konflik krn perbedaan itu, termasuk juga pemikiran-pemikiran mendasar mereka tentang kemerdekaan karena keberagaman Indonesia, kekuatan karena multikulruralisme. Itu lumayan menarik.

Ketika di bagian kedua, DG ini, ceritanya gak terlalu kuat. Cuma sedikit menegaskan kembali karakter masing-masing, diantara beberapa konflik baru seperti pengkhianatan dr kalangan pribumi sendiri dengan menjadi kaki tangan Belanda, dan konflik antara TNI dengan sekelompok ulama dan pengikutnya yang ternyata juga memiliki perjuangan ‘bawah tanah’ tersendiri. Tentunya ada sedikit konflik menarik ketika kelompok ulama yg agamis ini berjuang nyatanya hanya untuk kelompok mereka sendiri dan menafikan kehadiran TNI. Musuh kini sebenarnya bukan saja Belanda tapi juga TNI. Mungkin ini adalah gerakan ulama dulu untuk mendirikan negara Islam. Sayang bahwa kedua plot diatas sangat kurang mendalam. Bahkan kehadiran tokoh yang diperankan aktris berbakat Atiah Hasiholan (Lastri) pun cuma sekedar tempelan aja, gak dijelaskan asal muasalnya. Mungkin karena skenarionya ditulis oleh orang asing, sineas Amerika Connor Alyn dan diterjemahkan secara lurus tanpa ada proses adaptasi yg mendalam makanya bisa kita temukan banyak sekali dialog yang kaku dan aneh untuk ukuran Indonesia pada masa itu. Dialognya terlalu Hollywood dan ke-Amerika-an he he. Memang film ini sangat Hollywood dengan aksi tembak menembak dan visual efek yg canggih untuk adegan pengeboman, ledakan gedung, dsb.

Mungkin yang patut diapresiasi adalah akting Rudi Wowor (sebagai Major Van Gaartner) sebagai kompeni yg jahat. Karena keturunan bule dan fasih berbahasa Belanda, mungkin, jadinya lumayan alamiah. Yang laiinya menurun menurut saya, misalnya Lukman Sardi (Amir) dan Donny Alamsyah (Thomas) yg dialek manadonya ilang muncul. Malah Teuku Rifnu Wikana (Dayan) yg lumayan baik. Akting yang paling aneh menurut saya yah Darius Sinatrya (Marius) dan Rahayu Saraswati (Senja), dialognya kaku dan terkesan hafalan doang. Untungnya agak sedikit terkesan saat adegan2 yg saya tahu betul itu di Gedung Lawang Sewu Semarang (memori itu datang lagi hihihi)

Yah sudahlah, paling gak film ini dan Merah Putih sebelumnya sudah menandakan sedikit kemajuan dlm perfilman Indonesia dalam hal teknis (visual effect, dll). Memang sih jatuhnya kayak film Hollywood, toh gak bisa dipungkiri krn penulis cerita dan sutradaranya plus pembuat efeknya emang asli dr negeri Paman Sam kok. Mungkin akan jadi bahan pelajaran juga sih bagi sineas lokal untuk bikin film yang lebih bagus lagi, gak hanya terpaku pada genre horor (yg sama sekali gak bikin horor) atau komedi yg hanya menampilkan unsur sensualitas dan seksualitas dengan sangat murahannya tanpa ada sense of art yang mumpuni. Saya bahkan kaget ketika membaca analisa dr pengamat film terkemuka Indonesia, JB Susanto bahwa tahun 2010 ini memang secara kuantitas produksi film menurun, dan parahnya masih didominasi oleh film komedi esek-esek yg tidak jelas arahnya itu. Sejauh ini Cuma ada beberapa film berkualitas saja kayak Tanah Air Beta, Minggu Pagi di Vicktoria Park dan Sang Pencerah. Waduh?

*ketika aktor Nicolas Saputra dan mbak Mira Lesmana memposting foto-foto mereka di Twitter ketika roadshow layar tancap di Flores (Manggarai dan Bajawa), sy kemudian terkesan krn banyak lokasi indah di Flores berhasil ditangkap kamera Nico dan mbak Mira, sy lantas berpikir, semoga saja mereka bisa membuat film dengan setting alam Flores yg indah dan unik itu. Yah, sayang jika Indonesia yg kaya itu tidak direpresentasikan dlm film2 Indonesia. Berharap bahwa film kita tidak melulu menggambarkan Jakarta dan Jakarta saja. Nia Zulkarnaen sudah membuktikan itu lewat Tanabe di Timor dan Riri Riza lewat Laskar Pelangi dr Belitung. Siapa menyusul?


Jogja, 15 September 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...